Hutan Alas Pala dengan flora yang menjulang tinggi menjadi rumah bagi ratusan monyet ekor panjang yang menghuninya. Sebuah ikon wisata yang menggaet pelancong untuk berkunjung ke Sangeh Monkey Forest.
Pariwisata Berkelanjutan atau Sustainable Tourism merupakan suatu konsep yang sebenarnya telah digagas sejak tahun 2015 oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sejalan dengan dengan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 14 Tahun 2016, mengenai Pedoman Destinasi Wisata Berkelanjutan. Konsep ini memastikan bahwa kegiatan pariwisata tidak hanya menguntungkan dari aspek ekonomi, tetapi juga menjaga keberlangsungan dan kelestarian lingkungan serta mendukung kesejahteraan masyarakat secara bertahap.
Dalam konsep ini, terdapat 4 pilar yang menjadi fokus pelaksanaan kepariwisataan yaitu pengelolaan yang berkelanjutan (bisnis pariwisata), ekonomi berkelanjutan (sosio ekonomi), keberlanjutan budaya (sustainable culture), dan keberlanjutan aspek lingkungan (environment sustainability). Pandemi covid-19 dapat dikatakan sebagai titik awal pesatnya pengembangan pariwisata berkelanjutan di Indonesia, mengingat pada periode tersebut para wisatawan lebih memperhatikan protokol-protokol wisata yang berkaitan dengan kesehatan, kenyamanan dan kelestarian lingkungan wisata. Meski begitu, hingga saat ini konsep tersebut semakin eksis, terlebih dengan berbagai manfaat dan kelebihan yang berdampak besar di berbagai sektor.
Bali, sebagai salah satu provinsi yang memiliki kekayaan alam serta budaya sebagai daya tarik pun tidak luput dari penerapan konsep ini. Salah satu contohnya adalah Sangeh Monkey Forest, destinasi wisata dengan konsep berkelanjutan yang terletak di Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Sangeh Monkey Forest sejatinya terdiri atas kawasan Taman Wisata Alam, berdasarkan SK Menteri Kehutanan No 87/Kps-II/1993 tanggal 16 Februari 1993. Menurut penuturan Ida Bagus Gede Pujawan selaku pengelola, Sangeh Monkey Forest telah sejak lama dibuka sebagai tempat wisata, “1969 kita sudah buka Sangeh ini menjadi sebuah obyek wisata, seperti nika, tapi penetapan desa wisata Sangeh niki yang diubah oleh Pak Bupati menjadi DTW (Daya Tarik Wisata) dari tahun 2001,” ungkapnya ketika diwawancarai pada Senin (22/7).
Sejalan dengan itu, beberapa pengelolaan dari berbagai aspek pun dilakukan untuk mendukung pariwisata berkelanjutan dan kelestarian hutan, salah satunya adalah melalui kebijakan yang berlaku di kawasan wisata tersebut. Pujawan mengungkapkan bahwa secara perundang-undangan, Hutan Sangeh merupakan hutan milik negara dibawah naungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), sehingga pengolahan kawasan hutan memerlukan kontribusi serta izin dari pusat, tetapi pengelolaan secara keseluruhan tetap dilaksanakan oleh pihak pengelola lokal.

Prioritas Pengelolaan Kesejahteraan Satwa
Kondisi satwa tentu menjadi salah satu prioritas pihak pengelola, karena selain sebagai daya tarik wisata, monyet di kawasan Sangeh Monkey Forest memang hidup dan tinggal di kawasan hutan tersebut. Namun populasi yang bisa membludak kapanpun menjadi salah satu
masalah bagi kesejahteraan monyet-monyet tersebut kedepannya. Pujawan mengungkapkan, meski kawasan Alas Pala (kawasan hutan Sangeh Monkey Forest) yang menjadi habitat bagi monyet-monyet cukup luas dan makanan dari satwa tercukupi, akan berakibat fatal apabila populasi tidak terkontrol dengan baik.
Menurutnya, monyet merupakan salah satu spesies hewan dengan perkembang biakan yang pesat, “Kenapa mereka cepet populasinya berkembang, karena 1 pejantan bisa sampai punya istri 10, cepat nggak berkembang biaknya?” jelasnya kala itu. Demi menanggulangi hal tersebut, Pujawan berinisiatif untuk mengajukan surat terkait pengendalian populasi dan sertifikasi kesehatan satwa. Ia berharap dengan diajukannya dua usulan tersebut, kesejahteraan satwa di Sangeh Monkey Forest akan meningkat sekaligus sebagai antisipasi dini apabila terdapat insiden kurang diinginkan yang diakibatkan oleh satwa monyet. Pujawan juga berpendapat bahwa dengan dimilikinya sertifikasi kesehatan satwa tersebut, maka dapat meningkatkan kenyamanan pengunjung tatkala berkunjung ke Sangeh Monkey Forest. “Munculnya sertifikasi kesehatan satwa ini akan memberikan keamanan dan kenyamanan pada turis, tamu yang melihat oh iya kalau semisal mereka tergores pun satwanya sudah sehat. Jadi rasa aman nyaman itu ada di mereka, walaupun (tetap) wajib divaksin saat mereka tergigit, wajib, dari medis mengatakan itu wajib.” jelasnya.
I Nengah Wandia, Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Udayana menyampaikan bahwa kesehatan hewan menjadi salah satu syarat ketika melibatkan hewan dalam kawasan wisata. Oleh karena itu, pengelola wisata harus memperhatikan kesehatan hewan tersebut dan menjadwalkan pemeriksaan kesehatan dengan tenaga kesehatan secara rutin/berkala terhadap hewan-hewan yang ada di kawasan wisata tersebut. I Nengah Wandia yang sebelumnya telah melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap monyet di beberapa kawasan wisata termasuk Sangeh Monkey Forest menjelaskan bahwa populasi monyet di kawasan-kawasan tersebut sudah banyak. Selain pemeriksaan kesehatan, memperhatikan kecukupan ruang hidup dan pasokan makanan menjadi hal yang harus diperhatikan. Setimpal dengan rencana Pujawan sebelumnya, Wandia menuturkan bahwa upaya kontrol populasi perlu dilakukan salah satu tujuannya yakni menghindari pembludakan populasi yang lambat laun dapat menimbulkan persaingan antara satwa dengan manusia. “Dalam situasi seperti itu, maka perlu juga ada program untuk mengontrol populasi,” ujar Wandia ketika diwawancarai pada (29/07). Adanya alat untuk mengontrol populasi, ketersediaan dana yang cukup untuk memenuhi pasokan makanan hewan, dan adanya klinik untuk menangani masalah kesehatan monyet dan kasus gigitan hewan tersebut menjadi langkah yang dapat dilakukan dalam kawasan wisata yang melibatkan hewan guna menjamin kesejahteraan hewan di tempat tersebut. Selain itu, ketika terdapat monyet bersikap nakal seperti mencuri barang bawaan pengunjung, Wandia mengatakan bahwa hukuman boleh diberikan asalkan tidak melukai hewan tersebut.

Hutan Alas Pala: Kontributor Penting bagi Ekosistem dan Pariwisata Sangeh
Sangeh Monkey Forest menjadi salah satu daerah tujuan wisata yang melibatkan hutan dengan luas sekitar 14 hektare. Pohon Pala yang menjulang tinggi tumbuh subur hampir di seluruh area hutan tersebut. Selain memberikan kesejukan udara, Hutan Alas Pala juga menjadi daerah resapan air bagi lingkungan sekitarnya. Sekaligus menjadi rumah bagi ratusan monyet ekor panjang yang menghuni kawasan Sangeh Monkey Forest. Ahli Geografi, I Kadek Adiana Putra memaparkan bahwa Hutan Alas Pala memiliki kontribusi yang besar bagi Sangeh. Keberadaan hutan dengan ratusan ekor monyet yang menghuninya, menjadi sebuah ikon yang ditujukan kepada pengunjung di kawasan wisata Sangeh Monkey Forest. “Jika hutannya tidak ada pariwisatanya bagaimana? pastinya tidak ada, pariwisata yang menunjukkan wisata sangeh, dan ketika hutan ini mulai berkurang akan berpengaruh dengan ekosistem,” terang Adiana ketika diwawancarai pada (23/07). Adiana Putra turut menjelaskan bagaimana pentingnya peran hutan bagi keberlanjutan ekosistem di dalamnya “ketika hutan ini sudah ada, Hutan Alas Pala sudah ada dengan kondisi eksistensi, filosofi yang mereka miliki dan karakter dan budaya yang kuat, buat dibangun di dalamnya, maka tidak ada alasan untuk menghilangkan hutan ini, karena peran hutan ini sangat penting dan tidak saja hanya untuk pariwisata. Menurut saya keberadaan hutan hidup bagi pariwisata itu adalah bonus bagi hutan itu. Bukan bonus bagi pariwisata, tapi bagi hutan itu bonus. Hutan itu bisa dikenal. Tapi untuk memanfaatkan bonus jangan sampai mengurangi nilai yang terdapat dari hutan itu. Boleh hutan itu digunakan sebagai objek wisata, tapi jangan menghilangkan karakter dari hutan itu.” Adiana berpandangan bahwa selama pemikiran masyarakat masih berpegang teguh terhadap nilai budaya dan kearifan lokal, maka perubahan tatanan hutan tidak akan terjadi. “Tergantung sekarang bagaimana pemahaman mereka terhadap nilai penting keberadaan suatu tempat apalagi itu hutan.” pungkasnya.
Berada di kawasan hutan dengan Pohon Pala yang menjulang tinggi, membawa hawa sejuk bagi para pengunjung. Hal tersebut disampaikan oleh Gita Sunarawita, gadis yang pernah berkunjung ke Sangeh Monkey Forest. “Suasananya di sana (Sangeh Monkey Forest) sejuk mungkin karena hutannya (Hutan Alas Pala) kali ya,” ujar Gita, ketika menceritakan pengalamannya. Selain itu, Gita mengatakan bahwa sebagai pengunjung, dirinya merasa aman dan nyaman “Secara umum, keamanan dan kenyamanannya sangat baik. Guide yang ada disana juga ramah semuanya.” paparnya
Indikator telah terwujudnya kesejahteraan bagi satwa monyet salah satunya dapat diukur dari tercukupinya kebutuhan makanan bagi satwa, sehingga satwa tidak menjarah makanan dari pengunjung, apalagi kawasan penduduk. Salah seorang pedagang yang saban harinya menjajakan dagangannya di area wisata Sangeh Monkey Forest mengatakan bahwa monyet ekor panjang yang berada di sana tidak menunjukkan sikap yang nakal maupun mengganggu. “Asal jangan dipegang (saja),” ujarnya. Hal serupa juga disampaikan oleh Dedi, seorang pengemudi yang mengantar wisatawan. Menurutnya, monyet ekor panjang di Sangeh Monkey Forest termasuk jinak, tidak berkelakuan agresif dan tak mencuri barang bawaan. “Kadang-kadang di tempat lain (monyetnya) bisa HP dicuri, kacamata, topi, sandal. Kalau (monyet di Sangeh Monkey Forest) ndak dikasih ndak dia ngambil,” terang Dedi.

Tak hanya memperhatikan persoalan satwa, Pujawan juga menerangkan upaya yang dilakukan guna melestarikan hutan lindung (Alas Pala) dalam rangka menerapkan nilai-nilai Sustainable Tourism di Sangeh Monkey Forest. Langkah yang ditempuh diantaranya yakni dengan membuat tembok pembatas di sekeliling kawasan hutan lindung. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi aktivitas masyarakat sekitar dalam mendayagunakan sumber daya alam di dalamnya, seperti halnya mengambil buah pala untuk kemudian diperjualbelikan. Dengan demikian buah pala yang jatuh dari pohonnya dapat menjadi pohon baru dan menjaga kelestarian serta siklus alam dalam kawasan hutan. Sebab, Pujawan menuturkan bahwa semenjak Pandemi Covid, banyak masyarakat yang menemukan bahwa buah pala memiliki nilai jual tinggi. “Ribuan buah pala pasti jatuh. Tapi kalo dilakukan pengambilan buah pala besar-besaran seperti nika, lambat laun habis nika hutan niki. Terus yang terjadi saat covid kemarin adalah buah pala ini ternyata mempunyai nilai, nilai dalam arti perkilonya mahal” tutur Pujawan. Sehingga langkah tersebut diharapkan dapat menjaga kelestarian serta sebagai marka perbatasan kawasan hutan lindung. Pujawan juga berharap kedepannya terjalin sinergi yang lebih baik di kawasan Sangeh Monkey Forest untuk senantiasa menerapkan nilai-nilai Sustainable Tourism.
Penulis : Gung Putri, Santika
Penyunting : Dyana, Gung Vita