Oleh Angga Sanjaya
Sungguhlah kita terlena. Selama ini, permasalahan pendidikan perguruan tinggi seolah bergumul tentang tingkat kelulusan, produktivitas karya ilmiah, maupun terpenuhi atau tidaknya target prestasi mahasiswa yang hanya membidik permasalahan hilir pendidikan itu sendiri. Kita melupakan akarnya; gagalnya kemandirian berpikir mahasiswa.
Gagalnya kemandirian berpikir itu terlihat dari permasalahan klasik layaknya plagiarisme. Tentu, ini memberi sumbangan bagi stagnansi perkembangan ilmu pengetahuan. Stagnansi ini sesungguhnya dapat digugat lewat kultur dialektis yang akan membikin iklim kampus menjadi kritis. Diskusi menjadi stimulus untuk membuka cakrawala pemikiran. Dari itu pula, nalar kian bekerja, kepekaan sosial meningkat, dan berimplikasi pada lahirnya pemikiran-pemikiran atas problema yang disorot.
“Diskusi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat diartikan bahwa diskusi adalah suatu wadah yang di dalamnya terdapat lebih dari satu orang untuk membicarakan suatu topik dengan tujuan tertentu, misalnya mencari jalan keluar atau solusi dari topik yang berkaitan atau bahkan tujuan–tujuan lain yang ingin dicapai oleh para pelaku diskusi.
Dalam sebuah diskusi, mahasiswa tidak hanya diarahkan untuk menemukan jalan keluar dan keputusan bersama atas apa yang telah dibicarakan. Diskusi dapat dijadikan sebagai wadah untuk melatih soft skill mahasiswa, misalnya ketika dihadapkan dengan permasalahan tertentu secara tidak langsung mahasiswa menggunakan intelektualitas berpikirnya untuk mencari titik terang dari sebuah permasalahan tersebut. Selain itu, diskusi juga mengajarkan mahasiswa untuk bisa menghargai pendapat atau opini individu lain yang terkadang pendapat tersebut berkontradiktif dengan pendapat dan gagasan yang dimiliki.
Suatu forum diskusi tidak harus dilakukan pada tempat-tempat yang bersifat formal dan tertutup. Kita sebagai mahasiswa dapat berdiskusi dengan mencari tempat yang nyaman dan tentunya menyenangkan untuk menghabiskan waktu bersama dalam berdiskusi, seperti kantin kampus, taman internet, dan coffee shop. Selain itu, diskusi–diskusi kecil juga dapat berlangsung secara spontan di mana pun dan kapan pun, misalnya saat kita sedang berkumpul dengan teman, orang tua, dan keluarga besar.
Masih Ada ‘Kerikil’
Diskusi-diskusi itu tak selalu disambut dengan antusiasme yang baik. Tidak sedikit mahasiswa yang bersikap “masa bodoh” terhadap suatu isu atau masalah penting yang sedang hangat dibicarakan. Sebagian mahasiswa beranggapan bahwa permasalahan atau isu yang ada bukanlah urusan atau kepentingan mereka, sehingga tidak jarang pula dari mereka meninggalkan suatu obrolan yang terjadi. Mereka beralasan obrolan yang dibicarakan terlalu berat untuk ditelaah. Ini sungguh menjadi tantangan dalam gairah berdiskusi di kampus.
Selain itu, pihak kampus pula tak sepenuhnya selalu terbuka terhadap berbagai topik yang diangkat dalam diskusi. Merujuk pada pemberitaan www.persakademika.com pada Senin, 29 Oktober 2019 yang berjudul ‘Diskusi Pemerintahan Jokowi Berujung Pembubaran oleh Pihak Rektorat’ menjadi salah satu catatan penting betapa kampus tidak selalu terbuka akan topik-topik yang diangkat dan bahkan mengintervensi kegiatan diskusi untuk diberhentikan. Tentu ini tidak sejalan dengan semangat wacana merdeka belajar yang sedang didengung-dengungkan.
Mendorong Lebih Banyak Diskusi
Menengok beberapa kendala di atas, masih dapat disyukuri ada segelintir orang yang tetap memiliki jiwa sebagai garda depan mewujudkan kegiatan diskusi atau sejenisnya. Banyak yang rela mengorbankan waktu “nongkrong” mereka untuk membentuk dan membangun sebuah ruang diskusi publik yang tentunya bersifat konstruktif secara internal maupun eksternal. Mereka berinisiatif membangun sebuah forum diskusi secara berkelompok maupun individual dengan cara menyebarkan undangan-undangan terbuka melalui media online ataupun dari mulut ke mulut. Tidak jarang ruang diskusi yang diadakan juga turut menghadirkan dan dihadiri oleh seorang tokoh yang memang memiliki keunggulan dalam hal atau tema yang didiskusikan sehingga menjadikan suasana diskusi lebih klimaks dan terstruktur.
Ke depan, acara-acara diskusi memang layak untuk diperbanyak. Ibarat sebuah api lilin, diskusi menjadi api kecil penjaga kewarasan nalar segenap civitas akademika di kampus. Akan lebih baik, api lilin ini tidak hanya satu buah, namun diperbanyak untuk membentuk api besar bernama kebenaran.
Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana.
Penyunting : Yuna Puspita