Wanita itu bergidik. Rasanya lucu sekali berhadapan dengan anak berumur 6 tahun di depannya.
“Aku ingin menggambar rumah.”
“Kau yakin bisa?”
“Aku akan mencobanya.”
Anak itu mulai mencoret kertas gambar yang masih putih tanpa nyawa di depannya. Lima menit kemudian ia memamerkan gambarnya yang seperempat jadi.
“Bagaimana rumahku?”
“Ini sudah bagus. Tapi kau lupa menggambar pintu dan jendelanya.”
“Dimana membuatnya?”
“Kau bisa menggambarkan bagian pintu dibagian tengah, dan jendela di sisi kanan dan kirinya.”
Anak itu bekerja lagi. Wajahnya sibuk menerka. Lalu memamerkan gambarnya yang setengah jadi.
“Seperti ini?”
Persegi panjang yang tak sempurna cukup menyimbolkan sebuah pintu. Dan dua persegi tak bersudut siku-siku lainnya menyimbolkan jendela.
“Kau hebat. Ini indah sekali.”
“Apa ada yang kurang?”
“Kau bisa tambahkan pohon disisi kanan dan kiri rumahnya.”
“Pohon apa?”
“Apa saja.”
“Baiklah.”
Anak itu bekerja lagi. Sesekali melihat sekeliling. Ia sedang merekam potret pohon secara nyata dalam ingatannya. Kemudian kembali melanjutkan gambarnya. Beberapa saat kemudian anak itu memamerkan gambarnya yang masih kurang sempurna.
“Aku sudah menambahkan pohon di sisi kanan dan kirinya.”
“Bagus.”
“Kakak, aku mau tanya. Apa pohon hanya untuk keindahan?”
“Tidak, sayang. Pohon itu juga sumber udara untuk bernapas. Kau bisa bernapas, karena ada udara.”
“Lalu apalagi yang bisa kugambar?”
“Kau tertarik untuk menghias langitnya?”
“Tentu.”
“Kau suka malam atau siang?”
“Aku tidak tau.”
“Kenapa?”
“Karena diwaktu siang atau malam, aku tidak pernah bertemu dengan ayah atau ibu.”
“Kau merindukan mereka?”
“Tentu, kakak.”
“Baiklah, gambarlah mereka di gambarmu.”
“Apa aku bisa menggambarnya?”
“Tentu. Kau pernah melihat mereka, bukan? Bayangkanlah, lalu gambarlah wajah mereka.”
“Akan kucoba.”
Anak itu bekerja lagi. Aku tahu ini sulit baginya. Sulit karena harus menahan sesak setiap kali mengingat wajah seseorang yang disayang. Terlalu disayangkan pula jika wajah-wajah yang diingat tak bisa dilihat lagi secara nyata.
“Apa ini sudah sempurna?”
“Apa kau sudah puas?”
“Aku senang bisa melihat mereka walau hanya melalui gambarku.”
“Kau merindukan mereka?”
“Tentu, Kak, aku sangat merindukan mereka. Tapi kata ibu guru, mereka sudah berada di istana Tuhan sejak satu tahun yang lalu. Mengapa mereka tidak mengajakku?”
“Karena perjalananmu masih panjang.”
“Ibu guru juga pernah bilang jika mereka sengaja tidak mengajakku karena sedang membuat kejutan untukku. Apa benar mereka sedang menyiapkan istana?”
“Itu benar, sayang.”
“Lalu kapan mereka akan menjemputku?”
“Saat Tuhan mengijinkanmu.”
“Saat Tuhan mengijinkanku? Apa itu berati ayah dan ibu meminta ijin Tuhan terlebih dulu untuk tinggal di istana Tuhan?”
Wanita itu mengangguk.
“Kalau begitu, jadi aku harus menggambar matahari atau bintang?”
“Apa saja boleh. Kau lebih suka bertemu dengan mereka saat berpamitan kesekolah atau bila kau akan tidur?”
“Akan tidur kak.”
“Kalau begitu, gambarlah bintang-bintang.”
“Baiklah.”
Anak itu bekerja lagi, lalu memamerkan gambarnya yang hampir mendekati sempurna.
“Apa menurutmu ini sudah sempurna?”
“Sangat sudah. sayang.”
“Benarkah?”
“Tentu. Kau sudah membuatnya menjadi sangat indah.”
“Apa kau suka?”
“Aku sangat suka pada gambar rumahmu, sayang.”
“Kakak?”
“Ya?”
“Bisa kau beritahu aku sesuatu yang indah?”
“Tentu.”
“Apa itu?”
“Cinta.”
“Apa itu cinta?”
“Kau bisa sayang dengan ibu dan ayahmu karena cintamu pada mereka.”
“Aku masih belum mengerti. Bisakah aku menggambarkannya di dalam gambarku?”
“Tentu. Cinta itu menyejukkan seperti embun. Mengharumkan seperti embun. Menebarkan aroma seperti embun.”
“Boleh aku menggambarnya?”
“Boleh.”
Anak itu bekerja lagi, lalu memamerkan gambarnya padaku. Tapi tak ada yang berubah. Semua masih sama seperti gambar sebelumnya.
“Mengapa tak ada perubahan?”
“Kakak, maafkan aku. Aku masih tidak mengerti wujud cinta seperti apa. Kakak bilang cinta itu seperti embun. Bagaimana membuat embun?”
Aku tersenyum tipis. Akupun tidak pernah mengetahui wujud cinta itu sendiri. Ia hanya bisa dirasakan. (Anik)