Amilia Agustin: Sebut Sampah Sebagai Teman Hidup

Meski tak semudah membalikkan telapak tangan, Amilia Agustin, seorang gadis remaja dengan mimpi mulia memilih berjuang untuk lingkungan dan masyarakat.

Amilia Agustin

Semua berawal saat Amilia melihat kakek-kakek renta pengumpul sampah di tempat pembuangan sementara dekat sekolahnya. Kala itu, diperhatikannya kakek tersebut sedang duduk beristirahat sambil melahap nasi di dekat tumpukan  sampah. Muncul dibenak Amilia dan beberapa teman dekatnya perasaan bersalah apabila kakek-kakek tersebut sakit akibat sampah-sampah yang mereka hasilkan. Dari situ, gadis kelahiran Bandung, 20 April 1996 ini memiliki tekad mulia untuk mencurahkan tenaga dan pemikirannya untuk mengolah sisa-sisa tak berguna dari kehidupan manusia.

Amilia ketika itu masih duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kota Bandung. Ia menceritakan kepada guru pengajarnya tentang sang kakek tua dan mengungkapkan keinginan dalam hati untuk berpartisipasi dalam kegiatan peduli lingkungan. Guru tersebut mendukung meski beliau sendiri belum memiliki pengalaman di bidang pengolahan sampah. Karena hal itu, terjunlah Amilia dan beberapa temannya beserta sang guru mendatangi Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi untuk menimba ilmu mengenai cara mengolah sampah. Di sana, mereka belajar mengubah sampah menjadi pupuk kompos. Ilmu tersebut lalu dipraktekkan di sekolahnya. Bermula dari sanalah Amilia bersama teman-temannya sering mengumpulkan sampah-sampah yang ada di sekolahnya.

Sayang, bagai ungkapan tak semudah membalikkan telapak tangan, hinaan dan cacian mulai bermunculan. “Amilia tukang sampah”, begitu ejekan teman-temannya saat itu. Meski sempat marah dan berhenti sejenak dalam kegiatan mengolah sampah, semangat Amilia dan teman-temannya kemudian dibangkitkan kembali oleh guru pengajarnya.

“Apabila kita ikhlas dalam berbuat, kita tidak perlu orang lain untuk mengakui atas apa yang telah kita lakukan,” sebut Amilia, mengingat kata-kata dari gurunya.

Rasa jenuh dan lelah juga sempat hadir menghampiri, namun dapat dilawan karena bagi Amilia, sampah adalah bagian dari hidupnya. Selain itu ada tekad besar di dalam hatinya untuk membantu para pahlawan pembersih sampah di sekitarnya yang seringkali dihargai tak seberapa. Amilia dan teman-teman pun terus  mengembangkan proyek pengelolaan sampah, tidak hanya menjadi kompos tetapi juga menjadi kerajinan tangan yang bernilai ekonomis.

Begitu banyak sumbangsih yang Amilia torehkan di bidang lingkungan hidup. Amilia  berhasil menjadikan sekolahnya SMP 11 Bandung menjadi ikon sekolah sehat, mendapatkan penghargaan Young Changesmakers dari Ashoka Indonesia di tahun 2009, menjadi Duta Sanitasi Jawa Barat di tahun 2010, mendapat penghargaan Satu Indonesia Award di tahun 2010, dan nominasi SCTV Liputan 6 kategori lingkungan hidup. Sempat pula diundang di acara TV Nasional Kick Andy dan masuk dalam situs web Wikipedia Indonesia.

Tidak hanya itu, gadis sederhana ini juga memiliki hati yang sangat mulia pada lingkungan sosialnya. Pernah suatu saat, ia memenangkan sebuah penghargaan dan mendapat hadiah sebesar 40 juta. Mendapatkan hadiah uang yang cukup besar tidak lantas ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Namun, Amilia memilih menyumbangkan hadiah yang diperolehnya untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Hatinya begitu mulia, Amilia membelikan beberapa mesin jahit sebagai modal ibu-ibu yang ingin membiayai kehidupan dirinya beserta anak-anaknya. Selain itu, Amilia mengajarkan para ibu untuk mengolah sampah menjadi kerajinan tangan yang bermanfaat. Sesuatu yang jarang sekali dilakukan oleh anak berumur belasan tahun di jaman sekarang.

Masuk ke sekolah menengah atas, Amilia tidak menghentikan langkahnya. Ketika anak-anak yang berinjak remaja sibuk dengan dunia hura-hura, seorang Amilia Agustin memilih untuk menyebarkan ilmu dan rasa kepedulian lingkungan terhadap orang-orang di sekitarnya. Gadis kelahiran pasangan suami istri Agus Kuswara dan Elly Maryana Dewi ini, banyak menghabiskan waktunya untuk mengajar anak-anak Sekolah Dasar di Bandung untuk ikut peduli pada lingkungan. Menurutnya, usia dini adalah saat yang paling tepat untuk menanamkan budaya peduli pada lingkungan. Bersama teman-teman, Amilia membangun karakter anak muda untuk kehidupan yang lebih baik.

Harapan dan cita-cita yang tinggi terus dirajut dan diwujudkan satu persatu oleh Amilia. Saat ini, Amilia mempunyai angan untuk membangun lingkungan Universitas Udayana Bali, tempat ia menimba ilmu di perguruan tinggi untuk menjadi lebih baik. Ada perasaan miris ketika ia mendengar orang-orang berkata bahwa di tempatnya belajar sekarang ini, sejak dahulu selalu gersang seperti sekarang. Seolah tidak ada yang bisa dilakukan sama sekali. “Kita cenderung jadi mahasiswa yang cuma belajar. Gak masalah belajar tapi ada sesuatu yang harus kita lakukan juga untuk universitas kita, apalagi untuk Bali sendiri,” tutur Amilia.

“Jutaan sarjana ekonomi belum tentu menjamin perekonomian Indonesia menjadi lebih baik, begitu pula ribuan sarjana teknologi lingkungan tidak menjamin lingkungan akan menjadi bersih. Perlu ada sesuatu yang dilakukan agar seorang sarjana tidak sekedar menjadi sarjana,” tambah Amilia kemudian. (Adinda)

You May Also Like