Berduka Atas Tragedi ’98

Oleh : Okrina Triwidanti

Tahun ’98 adalah sejarah yang patut dibangakan mahasiswa. Tidak hanya berhasil mempersatukan diri. Tetapi juga mampu menggulingkan Sang Ditaktor-Soeharto. Meski bukan murni mahasiswa yang melakukannya. Namun ternyata insiden yang membanggakan itu bagai pisau bermata dua.

Organisasi mahasiswa-UKM maupun ekstra kampus kala itu tengah panas menyusun demonstrasi. Bahkan jauh hari mengadakan diskusi. Atau pers mahasiswa mengambil porsi media mainstream-yang ketakutan setengah mati memberitakan Soeharto. Organisasi itu hidup, katanya orang-orang tua.

Arah diskusi tak pernah jauh dari pemerintah. Bedil kata-kata pers mahasiswa meringsek menembus pertahanan ditaktor yang hampir 32 tahun berkuasa. Semuanya persis tahu arah senapan mereka menuju pada satu, pemerintah yang otoriter. Bahkan ini terjadi bukan di satu daerah tetapi satu Indonesia. Bisa di bayangkan energinya pasti besar.

Akhirnya mahasiswa Indonesia, agent of change, berhasil memaksa Soeharto turun. Dan hingga saat ini setiap orang yang menjadi mahasiswa bangga dengan fakta itu. Sayangnya, apa yang telah dicapai di ’98 kemudian tak dinyana berdampak pada kehidupan organisasi mahasiswa sekarang.

Sebab musuh telah habis maka bedil-bedil organisasi mahasiswa tak tahu harus diarahkan kemana. Kata seorang teman “Sing ada gae buin (ga ada kerjaan lagi). Harusnya kita berduka atas ‘98” katanya tersenyum tanpa arti. Seorang kawan dari Makasar juga mengungkapkan hal yang sama. Tak tahu kemana lagi peluru ini akan ditembakkan. Tak ada lagi musuh bersama untuk ditumpas. Pemerintah sekarang terlihat sudah demokratis dan terbuka. Ck, apa lagi yang harus dipermasalahkan?

Masalahnya, para penggiat 98, mereka tak mempersiapkan angkatan di bawahnya untuk bentuk perubahan yang signifikan. Sedang petinggi yang harusnya diwaspadai sepertinya sudah jinak. Jadilah kawan mahasiswa yang tak tahan gerusan kenyamanan akibat petinggi jinak itu kolaps. Tak berdinamika bahkan hingga sekarang.

Kembali ke kampus atau daerah masing-masing hingga saat ini menjadi pilihan masing-masing. Isu bersama tak pernah tergali lagi. Dan mahasiswa kini sudah sangat nyaman. Yang harus diturunkan sudah diturunkan di 98. Semua pejabat dari rektorat hingga pemerintah kini terlihat telah terbuka dan demokratis. Atau justru kenyamanan yang menjadi musuh bersama sekarang? Ck..

Apa yang terjadi di tahun ’98 sangat membanggakan. Dan mahasiswa yang hidup sekarang bukan hanya wajib menikmati tetapi juga mencari arahan bedil lainnya. Apa semestinya kita berduka? Tidak. Sebab,bedil kita penuh dan siap mempreteli yang seharusnya dipreteli. Tinggal mencari yang harus dipreteli bukan?

You May Also Like