Solilokui: Kata-kata yang Menginginkan Tempatnya

merindukan kedatanganmu,

sedang aku kehabisan cara untuk berkata, aku rindu kamu, itu saja. ketika malam-malam kemarin kerap kamu datang dan malam hari ini menghilang. aku linglung. sedang aku terlalu cepat menimang sangka, oh aku mulai terjebak dalam prasangka dan mulai menduga-duga, tidak semestinya.

menulis tentang kamu,

bahkan ada beberapa tanda aku selipkan dalam kata-kata itu. segala percakapan yang telah kita gelar dari malam satu ke malam lain, tanggal satu yang menggenapkan tanggal berikutnya, selalu aku salin dalam cerita yang bisa dengan mudahnya kamu temu.

menginginkan kamu,

mungkin benar ketika aku mau satu, aku akan telanjur menagih satu, satu, satu dan satu yang lain yang jika ditimbang-timbang aku menginginkan lebih dari satu. seperti itu mungkin ketika aku menginginkan kamu, selalu berharap lebih dari satu, mau dan semakin mau. melulu hanya mau dengan kamu meski malu-malu.

menafsirkan inginmu,

ketika aku diguyur bahkan oleh secangkir air dingin, tiba-tiba dingin dan beku. dan aku paham, kamu masih menginginkan cinta dua tahunmu itu, yang pernah kamu ceritakan padaku, malam itu pukul satu malam, kita bertamasya menyusuri jalan-jalan sepi dan sesekali mampir ke warung nasi. lalu, setumpuk urusan yang harus diselesaikan, dan aku lagi-lagi paham, aku bukanlah siapa-siapa. dan, di bangku goyang itu, senja itu, kamu menyebutkan betapa inginnya memiliki rumah nan megah lengkap dengan nikmat duniawi.

menepikan kamu,

dan ketika kamu selalu datang, lagi-lagi tengah malam, aku meleleh meski seringkali berusaha menahan hati untuk tidak jatuh hati atau bahkan meladeni – aku telah kalah. meski teramat sulit, harus berpura-pura nyaman bermain hati dengan lelaki lain yang datang atau sesekali bermain dengan lelaki masa silam, tetap saja aku menginginkan kamu. segala cara, apapun itu jelas teramat sulit, aku tahu harus menepikan kamu. entahlah..

mengartikan kata-katamu,

mudah-mudahan saja mataku tidak terkecoh dengan kata-katamu, atau hatiku masih sekeras baja belum mampu dilebur seperti perkakas yang akhirnya menjadi rongsokan. tetapi, justru semakin gandrung aku menikmati kata-katamu dan semakin sulit pun untukku menahan hati. aku selalu menyertakan harapan, semoga lekas beroleh jawaban. mungkin itu omong kosong belaka. aku bukannya tidak peka, tapi aku telanjur menaruh curiga, mungkin memang ada yang keliru.

membuang semua rasa tentangmu,

lelaki dan sensasi kupu-kupu, berulang kali aku berusaha menerbangkan memori-memori itu. meski hanya sekejap dan begitu cepat, tapi jelas ada yang tidak biasa,ada yang istimewa, padamu. Ketika masih belum paham akan apa yang terjadi, ketika belum juga beroleh secerca pelita, aku tahu sesegera mungkin harus bergegas. ketika mengibaratkan hati, seperti aliran air yang terus saja mengalir, bertemu riak-riak yang sesekali menggelitik, kerikil-kerikil yang sesekali mengganjal, berkelak-kelok menyusuri kanal-kanal yang hangat hingga suatu saat akan berhenti pada muara yang tepat, ku pikir singgah pada muaramu, tapi tidak juga. hm.. memang iya aku ingin berlabuh begitu dekat dengan dermagamu dan menjadi satu-satunya kapal yang boleh berdiam disana semaunya.

hingga aku tulis kata-kata ini aku masih menimang-nimang akan terus ingin berdiam pada aliran ini atau mengalir dan melabuhkan aliran ini ke tempat yang lebih jauh, yang mungkin saja tidak ku temu sehangat lubukmu..

Maret 2009

You May Also Like