Gelora Aksi Bali Tidak Diam Tatkala Omnibus Law Kembali Dibahas

Kendati telah memicu penolakan dan gejolak demonstrasi, pembahasan Omnibus Law tetap berlanjut bahkan saat masa pandemi Covid-19. Di Bali, segenap upaya dilakukan elemen organisasi masyarakat hingga mahasiswa dalam Aliansi Bali Tidak Diam untuk mencoret Rancangan Undang-Undang (RUU tersebut dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas), termasuk kembali lakukan aksi.

Aksi – Aliansi Bali Tidak Diam melakukan aksi menolak Omnibus Law

 “Wakil rakyat, seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu sidang soal rakyat!” Lagu Iwan Fals bertajuk Surat Buat Wakil Rakyat mengalun lantang dari pengeras suara yang terpasang di atas mobil pick up guna menemani persiapan perangkat aksi di Lapangan Timur Puputan Renon pada Kamis siang (16/07). Tampak koordinator lapangan (Korlap) aksi ‘Puputan untuk Omnibus Law, I Gede Nata Manik Kusuma dibantu oleh beberapa massa aksi lainnya tengah sibuk mempersiapkan segala perlengkapan untuk melancarkan penolakan terhadap Omnibus Law. Aksi yang dijadwalkan mulai pukul 13.00 WITA, molor 30 menit lantaran Nata dan rekan seperjuangannya tak memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan perangkat aksi. “Kemarin kita konsolidasi dan itu dadakan mengundang lembaga-lembaga dan organisasi lainnya yang terlibat juga di Aliansi KIRAB (Koalisi Rakyat Bali) sebelumnya dan aliansi yang tahun lalu bergerak Bali Tidak Diam,” ungkap Nata.

Konsolidasi dadakan tersebut bermula dari informasi yang pula dadakan terkait adanya rapat paripurna DPR RI yang akan digelar pada 16 Juli 2020. Terdapat lima agenda dalam rapat paripurna tersebut, Omnibus Law menjadi salah satu yang masuk pembahasan pada agenda keempat yakni, penyampaian laporan Badan Legislasi terhadap Hasil Evaluasi Prolegnas RUU Prioritas tahun 2020. Meskipun cenderung mendadak, namun massa aksi yang terlibat tergolong banyak. Terik matahari pada pukul 13.30 WITA tak mampu melunturkan nyanyian dan seruan bernada perjuangan dari mulut para partisipan. Mobil pick up menuntun jalan para massa aksi mengitari Lapangan Renon hingga pada pukul 14.15 WITA sampailah mereka pada tujuan yakni Gedung DPRD Bali. Satu per satu perwakilan dari 29 lembaga maupun organisasi yang bergabung dalam Aliansi Bali Tidak Diam mulai berorasi.

Bajra Sandhi – Massa aksi menggelar segala atribut aksi di depan Monumen Bajra Sandhi

Bukan tanpa alasan semangat juang partisipan aksi tak pernah surut. Aksi pada hari ini menjadi aksi ketiga kalinya terkait penolakan Omnibus Law di Bali. Penolakan ini disebabkan berbagai hal yang sebelumnya terdapat dalam pemberitaan Pers Akademika; http://www.persakademika.com/ngebut-dan-tertutup-omnibus-law-picu-penolakan.html . “Jadi sebenarnya kita merasa kesal, merasa marah, dan jengah ya karena DPR itu melakukan pengesahan pengesahan terhadap RUU yang berbau investasi. Seperti RUU Minerba yang jelas-jelas telah memakan korban, kalau (pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap) di Celukan Bawang saja masyarakat itu sudah merasakan dampaknya, seperti sesak nafas dan lain-lain, itu berlangsung dalam kurun bertahun tahun,” ujar Ni Kadek Vany Primaliraning selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali sekaligus humas aksi. Dalam pengamatannya, RUU yang berorientasi pada investasi layaknya RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Cipta Kerja bak menari dalam pembahasan hingga pengesahan. Sementara, RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual -red) hingga RUU tentang perlindungan tenaga kerja rumah tangga justru tak sampai masuk Prolegnas 2020.

Poster – salah satu poster yang menjadi atribut aksi menolak Omnibus Law

Selain dibuat geram dengan Omnibus Law, masyarakat Bali yang menolak kian bertambah jengkel karena hasil survei dari Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) mengklaim 80 persen masyarakat Bali mendukung Omnibus Law. Sayangnya, keseluruhan sampel pada survei tersebut di wilayah Bali menunjukkan hasil 85 persen tidak mengetahui RUU Cipta Kerja. Belum selesai tentang survei, adapula stigma terhadap masyarakat yang menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) disebut sebagai partisipan Prabowo. Stigma tersebut dinilai oleh Vany merupakan sarana pelemahan pergerakan. Vany menjelaskan stigma tersebut erat kaitannya dengan bangunan politik, seolah-olah hanya terdapat dua kubu, yakni Kubu Jokowi dan Kubu Prabowo. “Kami disini bukan partisipan dari partai manapun dan kami disini adalah untuk mendorong keadilan bagi masyarakat marjinal, masyarakat yang terpinggirkan,” tegas Vany. Sejak Bulan September 2019 lalu, LBH Bali serta lembaga lainnya telah mengupayakan serangkaian diskusi kritis menolak Omnibus Law.

DRPD Provinsi Bali Enggan Temui Massa Aksi di Jalan

Tak terasa sang kala kian menunjukkan senjanya, namun pihak DPRD Bali masih membisu tak menampakkan batang hidungnya. Pukul 15.53 WITA, dua orang perwakilan sekretariat DPRD Provinsi Bali berunding dengan beberapa perwakilan massa aksi. Sekretariat menyampaikan bahwa Ketua Komisi IV bidang Kesejahteraan Kakyat DPRD Provinsi Bali, Ir, I Gusti Putu Budiarta, sedari pukul 13.00 WITA sampai 15.30 WITA telah menunggu massa aksi masuk ke dalam Gedung DPRD. Mereka pun siap untuk menerima aspirasi layaknya tuntutan tertulis. Namun, pernyataan seketariat bukanlah yang dituju massa aksi. “Kami menunggu DPRD ke depan karena kita mau melihat komitmen (DRPRD Povinsi Bali) dengan naik ke mobil (melakukan pernyataan sikap),” tegas Vany seraya menunjuk mobil pick up yang dipenuhi atribut aksi.

Perundingan – perwakilan sekretariat dan perwakilan massa aksi berunding

Negosiasi itupun tak menemukan jalan tengah. DPRD enggan bertemu massa aksi dikarenakan beberapa alasan, seperti tak elok bertemu di jalan karena melanggar tata tertib, masalah protokol kesehatan, dan alasan lainnya yang mengundang rasa heran massa aksi. Nata berujar, “kita maksudnya memang menghindari hanya perwakilan yang dicomot, takutnya kita kalah jumlah sehingga kita dikendalikan dan kita yang dihabisi disana, makanya kita nuntut mereka (DPRD Bali) untuk keluar.” Menanggapi segudang alasan pejabat dari DPRD Bali, Vany pun mengecam berbagai alasan tersebut. “Kalau memang ada tata tertib yang melarang bertemu di jalan, tunjukkan pada kami. DPRD kan harus turun ke jalan, harus ikut bersama rakyatnya bukan dia sendiri di ruangan dengan eksklusif dan tidak mau menemui rakyatnya,” tuturnya. Selanjutnya, pihak sekretariat menjanjikan untuk menghubungi kembali ketua komisi IV demi kepastian mendatangi massa aksi.

Sesuai janji, pukul 16.33 WITA, perwakilan massa aksi kembali menuju ke depan wantilan DPRD untuk memastikan, namun pihak DPRD Bali tak kunjung memberi kepastian. Akhirnya, massa aksi kembali menggelorakan beberapa orasi dan memblokade Jalan Kusuma Atamaja hingga pukul 18.00 WITA. Dengan mobil water canon yang tengah bersiaga, segera perwakilan massa aksi, yakni Vany, membacakan pressrelease aksi dan ditutup dengan penyampaian sikap, yaitu:

  1. Meminta Pemerintah dan DPR RI menghentikan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
  2. Meminta Presiden membatalkan Surat Presiden Republik Indonesia Nomor R-06/Pres/02/2020 Perihal Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja.

Orasi – berbagai orasi kembali digelorakan hingga menjelang pukul 18.00 WITA

 

Tantangan Aksi Ditengah Pandemi

Hari yang mendekati malam, tak mengubah raut wajah Nata. Gurat semangat masih menghiasi wajah mahasiswa Universitas Udayana itu. Seusai aksi, Nata pun mengungkapkan tantangan melakukan aksi saat pandemi. “Tadi di awal juga sudah dihimbau jaga jarak, cuman memang susah mengatur orang banyak,” keluh Nata. Tak ayal, aksi yang diperuntukkan kepentingan rakyat ini pun menuai tanggapan negatif dari beberapa warga internet. Seperti dinilai sebagai pemicu adanya klaster baru penyebaran virus Covid-19. Namun, Nata tak mau ambil pusing. Baginya, di negeri demokrasi ini setiap orang berhak untuk berkomentar dan mengungkapkan aspirasinya. “Ya gak ada salahnya juga sih, virus ini memang ketakutan kita bersama cuman sebelumnya kita berani aksi karena sebelumnya Polri sudah mengeluarkan surat pencabutan larangan berkerumun itu. Jadi tidak ada hak untuk membubarkan kerumunan lagi,” papar Nata lantang. Nata pun kembali menegaskan, setidaknya ia dan para massa aksi telah mengupayakan beberapa protokol kesehatan seperti penggunaan masker dan penyanitasi tangan.

Penerapan Protokol Kesehatan – massa aksi membagikan penyanitasi tangan

 

Reporter: Galuh, Bagus, Iyan, Teja, Yuko, Tryadhi

Penulis: Yuko Utami

Penyunting: Galuh Sriwedari

 

 

You May Also Like