Di Bali, wacana Omnibus Law memantik keresahan pekerja, utamanya disektor pariwisata. Yang bikin tambah gulana, belum mulai diberlakukannya Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan, paketan Omnibus Law siap meggugurkan aturan yang bertolak belakang. Elemen mahasiswa dan masyarakat turut berkonsolidasi hingga berujung aksi menolak RUU Omnibus Law pada Kamis (6/2).
Aksi pada Kamis, 6 Februari 2020 yang bertempat di Lapangan Renon, Denpasar, bermula dari bergulirnya kabar bahwa pemerintah akan merancang RUU Omnibus Law. Dalam berbagai kesempatan, istana pun kompak untuk menyatakan bahwa Omnibus Law akan memberi manfaat terhadap tenaga kerja dan ramah bagi investasi. Kendati demikian, Omnibus Law yang berupa paketan dua RUU, yakni Cipta Lapangan Kerja dan Perpajakan ini, drafnya belum dapat diakses publik. Disamping itu, amanat Presiden Joko Widodo agar DPR (Dewan Perwakilan Rakyat –red) tuntaskan Omnibus Law dalam 100 hari kerja yang tersiar pun membuat banyak pihak curiga dan waspada, ada kepentingan apa dalam Omnibus Law sehingga dibuat sedemikian ngebut dan tertutup? Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Ida I Dewa Made Rai Budi Darsana (50), selaku Sekretaris Regional Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) daerah Bali. Betapa pria yang disapa Rai itu was-was, sebab dari pihak buruh di organisasinya belum mendapat undangan terkait keterlibatan rancangan naskah akademik. “Hanya sebatas undangan dengan kapasitas sosialisasi bahwa akan ada RUU Omnibus Law,” akunya.
Investasi Terbuka, Keadilan Tertutup – Massa Aksi membawa Spanduk Tolak Omnibus Law.
Menurut pengalamannya, saat pembuatan Peraturan Daerah (Perda) Penyelenggaraan Ketenagakerjaan di Bali, sedari awal perancangan sudah melibatkan pihak buruh maupun pengusaha, namun Omnibus Law justru sebaliknya. “Maka, kami sebagai organisasi buruh patut memiliki kekhawatiran, jangan-jangan, RUU ini akan memberi dampak buruk untuk dunia ketenagakerjaan,” keluh Rai. Berpijak dari hal tersebut, bertandanglah Rai ke kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali saat acara diskusi dan konsolidasi terkait Omnibus Law pada Jumat, 31 Januari 2020. Sore itu, kurang lebih pukul 15.30 WITA, Ni Kadek Vany Primaliraning, selaku direktur LBH Bali membuka acara diskusi dan konsolidasi. Hadir pula beberapa elemen mahasiswa dan organisasi terkait. Vany pun memulai dengan tahap edukasi tentang Omnibus Law berdasarkan hasil collecting data yang dilakukan LBH Bali. Di tengah presentasinya itu, Vany bertutur banyak. Ia paling menyorot soal Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja terutama wacana mengubah sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang semula wajib AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan -red) menjadi berbasis risiko (risk based regulation). Wacana ini akan menghilangkan kajian dampak lingkungan atas kegiatan/proyek di suatu lokasi. Kemudian juga berkaitan dengan wacana rekruitmen serta Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Adanya kemungkinan sistem upah murah dengan dilegalkannya pembayaran upah perjam, serta status outsourcing dan kontrak kerja tanpa batasan waktu.
Namun dua hal tersebut tak semata menjadi dua poin pokok yang dipermasalahkan. “Sebenarnya yang juga menjadi perhatian adalah bagaimana pembuatan Omnibus Law yang tidak sesuai dengan prosedur di UU No 12 tahun 2011 yang diubah menjadi UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan,” ungkap Vanny. Ia pun menceritakan beberapa tahap dalam pembuatan Undang-Undang, yakni tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. “Sejak awal pembuatan naskah akademik tidak melibatkan rakyat sipil,” ucap Vany. Ungkapan ini pun merujuk pada elemen buruh yang hanya diundang dalam kapasitas sosialisasi adanya wacana Omnibus Law, bukan sebagai pihak yang dilibatkan dalam penyusunan naskah akademik. Hal ini menjadi kritik keras Vany, sebab unsur filosofis, sosiologis, dan yudiris dalam pembuatan perundangan tidak terpenuhi. “Dalam landasan filosfis memuat tentang latar belakang aturan, mengapa aturan ini ada, marwah UU ini apa, itu semua merupakan cerminan naskah akademik,” jelasnya. Vany kemudian mempertanyakan, “bagaimana masyarakat tau marwah Undang-Undang ini apa, jika tidak dilibatkan sejak awal?” ungkapnya dengan nada bicara yang meninggi.
Selain mengulik perihal filosofis, Vany juga mengkritisi hal-hal yang substantif. “Adanya AMDAL itu memerlukan partisipasi publik, bahwa saya memiliki usaha ini, kemungkinan dampaknya ini, dan saya punya antisipasinya seperti ini,” tutur Vanny menjelaskan AMDAL dengan analogi yang mudah. Pembuatan AMDAL oleh suatu perusahaan akan memberi ruang bagi publik untuk turut mengawasi keberlangsungan kehidupan lingkungan. “Misalnya saja sebuah perusahaan, di dalam AMDALnya, mengatakan batas pencemaran udara yang disebabkan hanya sekian, ketika nanti batas pencemaran udara melebihi AMDAL, masyarakat dapat menuntut itu,” tambahnya seraya memperbaiki posisi kacamata. Bagi Vany, adanya syarat AMDAL akan menjadi pijakan masyarakat untuk mengevaluasi perusahaan atau usaha yang ada disekitarnya. Di sisi lain, juga menjadi tahap edukasi agar pengusaha memikirkan pengelolaan produksi serta cara mencegah pencemaran lingkungan. “Jangan sampai seperti di Tukad Badung kemarin yang menjadi warna merah karena limbah tekstil, kemudian hanya diberi tipiring (tindak pidana ringan –red) penyetopan, namun apa dia tau cara memulihkannya kembali?” ucapnya.
Konsolidasi – LBH Bali mengadakan diskusi sekaligus konsolidasi terkait RUU Omnibus Law.
Kini, giliran Rai bercerita. Baginya, Omnibus Law menjadi ancaman bagi Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan yang sedang menunggu disahkan. Sebab, sifatnya yang ‘sapu jagat’ akan memangkas aturan yang tidak sejalan dengannya. “Dalam pembuatan Perda itu sudah melibatkan, jadi kami tau apa kepentingannya dan tujuannya untuk melindungi tenaga kerja di Bali,” ujarnya. Rai pun bercerita bagaimana masifnya pekerja kontrak di Bali. Sebagai seseorang yang pernah bekerja di sektor pariwisata, setidaknya ia tau bagaimana kondisi para pekerja pariwisata di Bali. Dulu, tiada istilah pegawai kontrak dan daily worker, “dulu sistem perekrutan pekerja itu dimulai dari percobaan tiga bulan kemudian menjadi pekerja permanen,” ungkap Rai. Bagi Rai, semua bermula tatkala adanya UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. “Dari UU tersebut memberi ruang terhadap berlakunya sistem pegawai kontrak hingga daily worker,” ujarnya. Rai berkelit, “saat kondisinya seperti itu, rasanya yang ada dipikiran hanya kapan ya diputus kontrak kerjanya?” ujar Rai sembari tertawa kecil. Bagi Rai, pekerjaan yang berstatus pegawai kontrak dan daily worker adalah posisi yang tidak aman, sebab apabila pariwisata di Bali sedang sepi pengunjung, “pasti yang di-cut adalah daily worker dulu,” tuturnya. Ia pun bertekad untuk membuat pekerja di Bali agar lebih sejahtera. “Sebab, tidak ingin agar orang Bali hanya menjadi pentonton di tanah sendiri atau bahkan objek pengusaha saja,” ujarnya.
Apa yang diungkapkan Rai pun berhubungan dengan data kunjungan pariwisata dengan masifnya pembangunan akomodasi pariwisata di Bali. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016, dalam data Tingkat Penghunian Kamar (TPK) Akomodasi Provinsi Bali, adapun perkembangan jumlah akomodasi terus beranjak naik. Pada tahun 2015, jumlah hotel di Bali naik 1,14% dibandingkan dengan tahun sebelunya. Kemudian hotel berbintang bertambah sebanyak 12%. Meski demikian, Hotel non bintang mengalami penurusan dari 1.801 unit pada tahun 2014 menjadi 1.798 pada tahun 2015. Total akomodasi yang ada di Bali, yakni menyentuh 2.079 unit pada tahun 2015 untuk seluruh kategori tersebut. Di sisi lain, Tingkat Penghunian Kamar hanya menyentuh presentase 51,60% pada tahun 2015. “Karena tidak seimbangnya antara permintaan dan penawaran, sehingga terjadi perang tarif, yang terkena ya pekerja lagi,” ungkap Rai menambahkan. Diperparah dengan wacana upah perjam dari Omnibus Law, “ya kalau upahnya tinggi seperti diluar negeri, kalau disini rasanya menanggung kebutuhan keluarga kami rasa kurang,” ceritanya seraya terkekeh.
Mereka semua kala itu sepakat bahwa Omnibus Law cacat secara prosedural dan sudah tidak layak untuk digodok oleh DPR. Mereka kemudian merencanakan aksi penolakan. Tepat pukul 18.30 WITA mereka sepakat untuk menamai konsolidasi mereka dengan nama Koalisi Masyarakat Bali (KIRAB) dan memiliki 6 tuntutan yang akan dibawakan saat aksi.
Biar Dituding, KIRAB Tetap ‘Sepatu’!
Tak sedikit yang menuding penolakan RUU Omnibus Law tergesa-gesa dan tak beralasan. Namun, Rai segera menyangkal. “Jangan salahkan apabila kami memiliki praduga-praduga. Hingga hari ini kami belum dapat mengakses draf RUU Omnibus Law. Kami juga membaca dan mendengar bahwa draf yang beredar dikatakan bukan yang asli, lantas dimana kami bisa mencari kebenaran?” tanyanya. Perihal mengapa tidak menunggu Rapat Dengar Pendapat (RDP) ataupun mengajukan judicial review ke Mahmakah Konstitusi, Vany memberi tanggapan. “Apabila melihat mekanisme pembuatan perundangan, dari naskah akademik itu disana seharusnya sudah melibatkan masyarakat. Masuk DPR ini sudah tinggal iya atau tidak akan aturan itu,” ujarnya. Naskah akademik yang sedemikian dianggap fundamental oleh Vany, akan diterjemahkan oleh RUU dalam bentuk pasal-pasal. Apabila publik hanya dilibatkan dalam berpendapat dalam pasal ini atau itu, sesungguhnya kata Vany akan mempersepit ruang partisipasi publik. “Apabila melakukan judicial review ke MK, Nah, kalau sudah cacat hukum, mengapa dipaksa untuk diundangkan?” paparnya.
KIRAB melakukan kondolisasi kedua pada Selasa, 4 Februari 2020. Menyadari pentingnya jumlah massa, beberapa organisasi yang termasuk dalam konsolidasi mulai mengundang kawan-kawan mereka untuk turut bergabung dalam konsolidasi. Pada konsolidasi kedua tersebut, semua membicarakan teknis aksi. Seperti titik kumpul massa aksi, runtutan kegiatan selama aksi, hingga pihak yang dituju untuk menerima pernyataan sikap. Sempat alot terkait pihak yang dituju dan konsep aksi, namun pada akhirnya mereka menyetujui untuk aksi menuntut Gubernur menyambangi massa aksi dan melakukan penanda-tanganan penerimaan pernyataan sikap massa aksi. Disepakati pula aksi akan dimulai pukul 10.00 WITA dengan mengenakan baju adat Bali. Pertemuan kedua terasa lebih hangat, disela-sela pertemuan, keputusan-keputusan bersama selalu diiringi dengan celetukan “Sepatu! (sepakat dan setuju –red)” seraya dihiasi gelak tawa para pihak yang terlibat dalam konsolidasi.
Kadis Tenaga Kerja dan ESDM Hadir ke Hadapan Massa Aksi
Tepat pukul 10.00 WITA massa aksi berkumpul di parkiran timur Lapangan Renon, Denpasar. Rai dan Vany pun sudah disana, termasuk para massa yang tergabung konsolidasi sebelumnya. Sebagian besar dari mereka mnggunakan pakaian adat Bali. Rai memulai mengerahkan massa aksi, ia mengajak berdoa dan berpesan, “mohon semuanya untuk tertib dan tunjukkan bahwa kita adalah orang yang bermartabat,” serunya disambut dengan para massa aksi yang berbaris rapi dua berbanjar. Sekitar kurang lebih 100 orang yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Bali, Front Mahasiswa Indonesia (FMN) Bali, Serikat Demokratik Mahasiswa Nasional (SDMN), Perpustakaan Jalanan, Sekolah Anti Korupsi (SAKTI), dan beberapa elemen mahasiswa perguruan tinggi di Bali turun ke jalan untuk menyampaikan tanggapan mereka terhadap RUU Omnibus Law. Ni Wayan Sunarsih (32), salah satu pekerja room attendant di salah satu hotel di Bali, turut ikut dalam aksi, alasannya “karena cukup dengar bahwa ada wacana Omnibus Law dan salah satunya tentang upah perjam juga penghapusan jaminan sosial buruh,” ujarnya.
Simbol Aksi – Massa Aksi berhenti di Depan Monumen Bajra Sandhi sebagai Simbol Penolakan
Massa pun mulai berjalan dari parkiran timur, kemudian berhenti selama selang beberapa waktu di depan monumen Bajra Sandhi untuk melakukan orasi dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Hal ini dilakukan sebagai simbolis bahwa daerah Bali turut menolak RUU Omnibus Law seperti yang juga terjadi di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Kemudian, massa aksi berlanjut melangkah ke depan kantor Gubernur Provinsi Bali. Di depan gedung itu, aksi diwarnai dengan sejumlah orasi dan juga penyampaian enam tuntutan mereka, diantaranya; (1) Menolak RUU Omnibus Law, (2) Menuntut pemerintah untuk menerapkan prnsip-prinsip demokrasi dan perlindungan HAM, (3) Menentang perampasan ruang hidup, perusakan lingkungan, dan perbudakan modern secara masif dan sistematis, (4) Menolak adanya tindakan represif dari apat terhadap buruh, kelompok rentan, dan organisasi masyarakat lainnya, (5) Mendorong segera diberlakukannya RUU Penyelenggaraan Ketenagakerjaan Provinsi Bali, (6) Mengajak masyarakat untuk menjaga kelestarian Bali dan memperjuangkan kesejahteraan Buruh.
Penandatanganan – Kadis Tenaga Kerja dan ESDM Prov. Bali Menandatangani Pernyataan Sikap.
Aksi ini pun disambangi oleh Kepala Dinas (Kadis) Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali, Ida Bagus Ngurah Arda. Ia mendatangi massa aksi sebab Gubernur Bali, I Wayan Koster. sedang berada di luar kota. Ia pun menandatangani tuntutan dan bersedia menjadi penyambung pernyataan sikap massa aksi yang akan disampaikan kepada gubernur. Namun, ketika massa aksi menuntut pertanggungjawaban hingga disampaikan kepada Presiden, Kadis berkilah, “itu wewenang gubernur, bukan saya.” ujarnya di tengah-tengah massa aksi. Seusai aksi, Vany memberi tanggapan, “kami memberikan waktu selama dua minggu dan selama itu kami akan datang lagi kemari dengan masa yang lebih besar untuk menuntut gubernur agar mengeluarkan surat pernyataan secara tegas terkait penolakan terhadap Omnibus Law.” ujarnya. Terakhir, Rai pun menambahkan, “kita ingin lihat komitmen gubernur, apakah beliau benar-benar memenuhi aspirasi kita atau tidak.” tutup Rai sembari berduduk santai selepas aksi.
Penulis : Galuh Sriwedari
Penyunting : Bagus Perana