Tiada istilah tenang bila hidup di daerah rawan bencana. Namun, Suryana Arimbawa, warga asli Desa Rendang itu tahu penawarnya; informasi. Ia satu-satunya relawan informasi dari Desa Rendang yang tiada suntuk melakukan mitigasi kebencanaan Gunung Agung, Karangasem. Tanyalah apa saja tentang Gunung Agung pada Suryana, ia sungguh hampir tahu setiap halnya.
Kewaspadaan Suryana Arimbawa atau yang akrab disapa Suryana itu sungguh tersurat jelas. Desa Rendang, tempat tinggal Suryana, berjarak cukup dekat dengan Gunung Agung, yakni 17,6 km. Ya, tidak ada yang tahu kapan gunung berapi aktif terbesar di Bali itu menghemburkan lahar panasnya. Waspada menjadi satu-satunya jalan. Bagi Suryana, untuk membuatnya aman, ia harus mengetahui seluk-beluk Gunung Agung sebagai upaya mitigasi bencana. Tak jarang Gunung Agung membuatnya begadang hingga subuh, tenggelam mempelajari vulkanologi hingga bahkan pukul 04.00 WITA subuh hari. “Mempelajari dari google dan juga youtube. Sering begadang sampai dimarahi istri,” ungkap Suryana seraya terbahak-bahak saat ditemui di rumahnya pada Senin (14/6). Ia kian intens mempelajari tentang gunung terlebih saat Gunung Agung menunjukkan aktivitas vulkaniknya di tahun 2017-2018.
Masih jelas dalam ingatan Suryana, kala itu di tahun 2017, saat Gunung Agung erupsi strombolian (erupsi yang menyemburkan gas dan debu vulkanik disertai pancuran lava cair yang terjadi setiap 15-30 menit sekali -red), informasi yang didapatkan terkait aktivitas gunung hingga menyentuh warga desa sangatlah sedikit. Hanya pengetahuan informasi yang didapatkan dari pesan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika -red). Terlebih, di tengah situasi genting tersebut, tidak sedikit hoaks yang menyebar. “Waktu hoaks ada gunung sudah keluar api, istri saya udah mau mengungsi dia, saya bilang tenang saja dulu,” kenang pria kelahiran 26 Februari 1987 itu. Berdasarkan referensi pengetahuan dari letusan Gunung Agung 1963 yang ia ketahui, erupsi awal di tahun 2017 itu belum menunjukkan tanda-tanda harus mengungsi. “Saya punya kakek yang pengalaman terdampak letusan Gunung Agung tahun 1963 itu sampai nonton laharnya, apalagi di Desa Rendang itu sekarang daerah aman, waktu itu tahun 1963 daerah selatan memang tidak berbahaya,” paparnya.
Menginisiasi Mitigasi Agung : Pranata Sosial Tanggap Bencana
Meski demikian, Suryana tidak terpaku hanya dari referensi pengalaman terdahulu. Lantaran adanya awan panas yang dengan cepat dapat menyapu seisi desanya. “Kalau awan panas, belum kita naik motor awan panasnya sudah di belakang,” ujar Suryana dengan raut wajah serius. Terlebih, informasi terkait gempa vulkanis hanya diberikan apabila skala gempa tergolong besar. “Kalau gempa skala kecil tidak dikasi, kecuali kita masuk ke stake holder Whatsapp-nya,” tambahnya. Ia curiga, gempa-gempa skala kecil yang ia rasakan dapat saja memunculkan gempa besar. Terlebih, saat itu, gempa vulkanik benar-benar menjadi keseharian. “Waktu itu hampir setiap saat kami rasakan gempanya, kalau gempa vulkanis, dia gempanya gerak ke atas-bawah, berbeda dengan tektonik,” ucap Suryana. Oleh karenanya, kegentingan akan perlunya informasi yang rinci terkait informasi Gunung Agung semakin mencuat. Pengalaman akan keterjangkauan informasi Gunung Agung yang kurang sampai ke warga desa, memantiknya untuk tergerak; mengupayakan agar informasi sampai dengan jelas pada masyarakat, terutama warga desa yang terdampak erupsi Gunung Agung.
Siasat untuk mendapatkan informasi rinci Gunung Agung dilakukannya dengan turut bergabung dalam forum digital pada platform Facebook. Bernamakan Pasemeton Jagabaya (Pasebaya), berisi relawan-relawan informasi yang berada di masing-masing daerah zona merah letusan Gunung Agung pada radius 8 sampai 15 kilometer. Forum tersebut digunakan Suryana bersama teman-teman desa di Karangasem lainnya dalam menyebarkan informasi kebencanaan khusus Gunung Agung. Selain itu, masing-masing desa yang masuk dalam pos pengamatan Gunung Agung memiliki alat komunikasi berupa HT (Handy Talk –red). Kegiatan penyebaran informasi kian berkembang. Suryana bersama teman-teman Pasebaya yang berjumlah empat orang menginisiasikan forum Mitigasi Agung sebagai bentuk upaya mitigasi kebencanaan Gunung Agung. “Dari Mitigasi Agung kemudian diubah namanya menjadi info mitigasi nasional juga ada lagi satu, tapi itu jangkauannya nasional, banyak dari luar Indonesia,” papar Suryana.
Suryana, Pahlawan Informasi Kepercayaan Warga
Melalui forum digital Mitigasi Agung, Suryana sungguh rutin memberikan informasi terkait Gunung Agung, setidaknya dalam satu minggu, ia selalu melakukan penyebaran informasi terkait aktivitas Gunung Agung bersumber dari Pos Pemantauan Gunung Agung, BPBD, PVMBG, BMKG, hingga informasi dari daerah maupun pusat. Suryana mendapatkan respons positif dari warga desa. “Saya intinya memberikan informasi lewat media saja kalau ada yang menelepon seperti kemarin sempat masyarakat dengar suara gemuruh langsung saya telpon PGA (Pos Pemantauan Gunung Agung -red) nya, konfirmasi sana, langsung diinformasikan, saya bawa ke publik,” terangnya sambil mengulah tangannya. Memang, Suryana hanya berfokus kepada bagian informasi. Sebab, kesehariannya yang harus membantu istri berjualan di Pasar Menanga membuatnya tidak leluasa untuk turun langsung ke lapangan membantu masyarakat pada wilayah zona merah.
Di sisi lain, dorongan Suryana untuk menjadi relawan informasi juga berdasarkan dari dorongan rasa ingin tahunya yang tinggi. Ia kerap bertandang ke Pos Pemantauan Gunung Agung Rendang sekadar bertanya-tanya seputar aktivitas Gunung Agung. Suryana kemudian nampak menunjukkan raut wajah mengingat-ingat, matanya melirik langi-langit rumah. Ingat betul ketika aktivitas vulkanik Gunung Agung pada tahun 2017, pada bulan Agustus, Gunung Agung mendapatkan status siaga dengan aktivitas gempa hingga 1000 kali. “Saat masih waspada masyarakat mengungsi dari rasidius 2-3 kiloeter. Kemudian siaga zona merah menjadi 6- kilometer, itu mengungsi di daerah Temukus, Sebudi. Kemudian dinaikkan level 4, diungsikan lagi dari radius 10-12kilometer seperti seperti di Besakih, Tegenan, Pulasari, semuanya turun mengungsi ke Klungkung dan Bangli,” ujar Suryana. Saat itu, belum kunjungnya erupsi membuat masyarakat terdorong untuk kembali ke rumah asal.
Ia kemudian menceritakan peristiwa kemunculan awan pekat di tanggal 22 September 2017 hingga dua bulan lamanya. Sungguhlah, hal tersebut memunculkan kekhawatiran baginya. “Kita sudah curiga waktu itu, dulu kan cuman asap bening,” tuturnya. Erupsi tersebut lagi-lagi membuat masyarakat terdampak panik. “Sekitar jam 10.00-11.00 WITA itu warga sudah panik. Waktu itu saya bilang, tidak usah panik karena itu sudah biasa, dan akhirnya masyarakat tidak panik. Tapi dipicu sama gempa jadi nambah panik. Semua sudah sepi ngungsi ke Denpasar. Yang jaga hanya 10 orang per banjar,” lanjut Suryana yang juga turut menjadi bagian dari 10 orang tersebut. Untungnya, tidak terjadi letusan. Sebab, lanjut Suryana, Gunung Agung memiliki kawah yang lebar. Suryana terus mengupayakan intensitas pemberian informasi kepada masyarakat. Ia bahkan dijuluki profesor, sebab telah banyak informasi yang diketahuinya. “Bahkan dibilang saya ini salah jurusan,” celetuk Guru Olahraga SMK Giri Pendawa Rendang itu dengan tawa.
Hanya saja, disela-sela kepercayaan masyarakat terhadap Suryana tersebut, ada saja tanggapan yang meragukannya. “Dulu waktu baru gabung Pasebaya, ada beberapa orang tidak suka dengan saya, sampai dilebih-lebihkan tapi saya cuek. Ada teman saya sampai membela, tapi untungnya masyarakat menerima positif,” katanya. Ketidaksukaan tersebut menurut Suryana seperti meragukan kapasitasnya dalam memberikan informasi, sebab ia hanyalah warga desa yang menjadi relawan. Tanggapan itu dianggap angin lalu. Toh, informasi dapat tersampaikan kepada masyarakat.
Pentingnya Mitigasi Kebencanaan
Berkat daya belajar akan informasi Gunung Agung, Suryana tidak melulu panik meski berdampingan hidup dengan gunung berapi. Kuncinya; mitigasi. “Sebenarnya mitigasi ini agar masyarakat tahu informasi, mengenal daerah masing-masing, dengan memperhatikan keadaan, bahwa kita hidup di daerah rawan bencana harus siap dengan segala keadaan,” ujarnya. Edukasi perihal pengurangan risiko bencana dapat dimulai dari keluarga. Ia menerangkan, mitigasi dapat dilakukan dengan mempersiapkan surat-surat dan melakukan pengarsipan digital, kemudian tidak perlu panik dan tetap menyimak informasi dari sumber kredibel. “Kedua, baru dilingkungan masyarakat, dimana ngungsi dikumpulkan ke satu titik. Siapkan mental keluarga, mitigasi ini siap tidak siap harus siap,” jelasnya. Hal ini baginya tidak hanya pada kebencanaan di wilayah pegunungan, namun pula pantai, dan wilayah lainnya dengan masing-masing potensi bencana. “Intinya untuk daerah rawan bencana siapkan tas mitigasi dn surat-surat penting dan kenali daerahnya cari jalan alternaltif jika seandainya terjadi sesuatu. Jangan panik.” Tutup Suryana dengan nada tegas.
Reporter : Galuh, Tryadhi, Yunita, Tara, Salya
Penulis : Galuh
Penyunting : Fajar