Tidak mudah menjadi kritis di Indonesia. Salah-salah, nama anda semakin cepat terukir di nisan. Tidak percaya? Orang-orang ini sudah membuktikannya.
Melongok sejarah Indonesia abad ke-20 dan awal abad-21, niscaya kita menemukan betapa banyaknya darah yang telah tumpah di bumi pertiwi. Sampai-sampai ada yang bilang, bahwa Indonesia is a violent country. Yang menyedihkan, (sebagian) tragedi itu disebabkan atau dilakukan oleh pihak yang paling berkuasa, negara. Patut menjadi perhatian, selain kasus-kasus yang bersifat massal, ada lagi perkara kekerasan yang memiliki kategori idiosinkratis.
Kematian yang terjadi bukan dikaitkan pada tanggal atau tempat terjadinya, melainkan identitas si korban. Almarhum dianggap sebagai sebuah representasi yang mumpuni dari suatu konstruksi ideal, yang ternyata, dalam banyak hal berbeda bahkan berlawanan dengan visi negara. Bisa jadi negara atau pendukung-pendukungnya terusik dengan perlawanan ini sehingga berusaha mencari jalan untuk menghentikannya.
Jika Anda seorang pembaru, maka hati-hatilah hidup di Indonesia. Fakta sejarah menunjukkan bagaimana nasib para tokoh pemberani negeri ini, sepertinya harus mempertaruhkan nyawanya secara sia-sia. Bagaimana tidak sia-sia, jika pengadilan sendiri tidak mampu menyibak kabut tebal misteri kematian mereka. Dalam hal ini pihak penegak hukum pun tidak bisa berbuat banyak untuk mengungkap kebenaran. Betapa ironisnya, bangsa yang tampaknya besar; besar dalam ukuran wilayahnya yang seluas Eropa dan Amerika, besar dalam jumlah penduduknya, dan besar dalam kekayaanya, namun kerdil jiwa para pemimpinnya.
Ketidakberhasilan mengungkap aktor intelektual di balik kematian misterius para pemberani setidaknya menunjukkan bagaimana para pemimpin ini tidak serius untuk mengungkapkan kasus kematian yang tidak wajar. Hal ini semakin memperkuat asumsi adanya unsur kesengajaan para penguasa negeri ini untuk melenyapkannya. Barangkali dalam bingkai itulah bisa ditempatkan tokoh-tokoh yang tragedi kematiannya dibahas dalam buku ini. Buku ini sengaja ditulis untuk dokumentasi tentang perjalanan para tokoh pembaru Indonesia yang selamanya tidak akan masuk dalam sejarah perjuangan bangsa. Mereka adalah Tan Malaka, Marsinah, Fuad Muhammad Syafruddin (Udin), Wiji Thukul, Baharuddin Lopa, dan Munir.
Kematian yang tidak wajar dan pengungkapan yang tidak kunjung selesai bahkan hilang ditelan waktu telah menjadikan inspirasi bagi sang penulis, M Yuanda Zara, untuk mengkritisi kembali tentang mudahnya menyelesaikan masalah dalam bangsa ini. Sepatah kata: lenyapkan saja! di balik kematian tokoh-tokoh pembaru Indonesia itu cukup ampuh sebagai jalan pintas tercepat membungkam perjuangan para pembaru Indonesia.
Lalu, apa yang dimaksud dengan kematian misterius dalam buku ini? M Yuanda Zara mengulas beberapa kategori yang dapat digunakan untuk menjelaskannya, meski masing-masing dapat dikatakan cair atau tidak ketat. Pertama, tokoh yang kematiannya tidak terungkap, atau bisa juga disembunyikan, baik penyebab maupun pelakunya. Tan Malaka masuk disini. Kedua, tokoh yang terbukti dibunuh, namun pengungkapan kematiannya (termasuk proses peradilan) belum tuntas. Di sini ada Marsinah, Udin, dan Munir. Ketiga, tokoh yang kematiannya menjadi kontroversi, yakni Baharuddin Lopa. Keempat, yang jauh berbeda dari yang di atas, tokoh yang kematiannya tidak diketahui dengan jelas atau samar-samar, yaitu Wiji Thukul.
Sementara itu, paradoksnya ialah, kendati nama-nama yang disebutkan di atas merupakan orang-orang yang memiliki peranan signifikan sepanjang perjalanan bangsa ini sehingga pantas disebut sebagai pembaru Indonesia, namun mereka kerap menunjukkan sikap berseberangan dengan institusi-institusi yang diidentikkan dengan simbol negara. Tan Malaka, tidak diragukan lagi, adalah salah satu pemimpin gerakan kabangsaan yang paling terkemuka. Jauh sebelum Soekarno dan Hatta mendeklarasikan Indonesia sebagai sebuah republik, ia sudah menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) sehingga membuatnya dikenal sebagai “Bapak Republik Indonesia”.
Walaupun demikian, konsep “Merdeka 100 %” yang diperjuangkannya jelas telah membuat sebagian kaum republiken tidak senang padanya. Kemerdekaan Indonesia pun tidak mengendurkan semangat Tan Malaka untuk melakukan kritik terhadap penyimpangan yang terjadi. Ia acap kali terlibat konflik dengan Soekarno yang memimpin pemerintahan republik. Tidak hanya itu, dengan partainya sendiri, PKI, Tan Malaka juga banyak tidak akur. Sebagian hidupnya habis dalam pembuangan di luar negeri. Ia terhitung sangat jarang bahkan tidak pernah muncul di permukaan. Hal ini membuatnya menjadi tokoh politik yang paling misterius sepanjang sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Banyak asumsi tentang misteri kematian Tan Malaka. Dengan mencoba mendedah berbagai versi yang berkembang, tulisan Yuanda Zara ini mencoba menguak misteri tewasnya Tan Malaka, salah satu peristiwa penting yang ditutup-tutupi dalam sejarah Indonesia.
Marsinah, siapakah dia? Ia adalah buruh yang percaya bahwa kesejahteraan yang baik adalah hak, sekali lagi hak, bagi para buruh. Adicitanya inilah yang mendorong kawan-kawan sesama buruh rela menunjukkan dukungan di belakangnya. Namun, dugaan adanya keterlibatan aparat militer di balik kematiannya menjelaskan betapa ia tidak disenangi kekuasaan.
Udin, dengan ketajaman penanya, memiliki dan mempelopori pengertian yang sama tentang hak. Bagi Udin, yang berikhtiar jauh dari Jakarta, kebebasan mendapatkan informasi adalah keniscayaan, termasuk bagi warga desa. Informasi di sini tidak hanya mengenai keberhasilan pembangunan, tetapi juga penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan, yang notabene menempatkan rakyat kecil sebagai korbannya. Sayangnya, tepat di sini pula birokrasi lokal tidak sudi digoyang oleh tulisan-tulisan Udin. Banyak spekulasi yang berkembang pasca kematian wartawan Bernas ini, banyak pihak yang menduga ada tembok besar bernama kekuasaan yang mencoba melindungi pelaku dan aktor intelektualnya.
Wiji Thukul juga tak jauh beda. Ia adalah seorang pemrakarsa satra kerakyatan (baca: sastra kaum tertindas). Aktivitas keseniannya yang intens, baik dalam hal tema yang diangkat maupun performance, menandakan konsistensinya sebagai oposan Orde Baru. Atas kezaliman yang terjadi, bagi Thukul hanya ada satu kata: lawan! Kata itu, harus diakui, kini telah menjadi kredo bergradasi magis bagi para aktivis pergerakan. Namun, apa daya, Thukul harus sadar tengah berhadapan dengan siapa. Tangan-tangan kuasa jauh lebih kuat daripada suara Thukul. Thukul harus membayar mahal apa yang disuarakanya, meskipun sebenarnya itu adalah hak asasinya sebagai warga negara. Maka, ia pun (di)hilang(kan). Dan, hingga kini tak seorang pun tahu nasibnya.
Sementara itu, nama Baharuddin Lopa mungkin sedikit berbeda. Sosok yang sangat antikorupsi ini sebenarnya meniti karirnya semata-mata di bawah lingkup kenegaraan. Namun, kepergiannya yang tiba-tiba sulit diterima begitu saja. Pendekar hukum ini mungkin bukanlah musuh negara, tapi lebih tepat dikatakan sebagai lawan kekuasaan. Ada yang menyebut Lopa sebagai sebuah profile of courage seperti Elliot Ness dalam film The Untouchable, sesosok yang rela disebut naif karena akan mengobrak-abrik “mafia” dengan selembar kertas himbauan. Lopa sudah membuktikannya. Jalan sudah diretas Lopa. Sekarang tinggal melihat bagaimana penerusnya melanjutkan jejak Lopa. Jejak yang dimaksud tidak hanya konsistensi dalam usaha penegakan hukum., tetapi juga termasuk kemungkinan untuk “meninggal tidak wajar”.
Terakhir, Munir. Pengaruhnya sama dengan makna namanya: cahaya. Ia ibarat penerang bagi para buruh, aktivis mahasiswa serta keluarga korban kekerasan dan penghilangan paksa. Lewat bendera Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Munir merekam namanya di benak orang sebagai pejuang HAM yang berani, intelek, jujur sekaligus jenaka. Orang paham, aksi-aksinya di KontraS kerap menuding negara dan aparat-aparatnya.
Dugaan keterlibatan aparat intelijen dalam kematiannya semakin menegaskan pendapat bahwa ada bagian-bagian tertentu dalam institusi negara yang tidak terima dengan sepak terjangnya. Munir adalah fenomena. Bila dalam bidang hukum Indonesia punya sosok tangguh sekaliber Baharuddin Lopa, maka di bidang penegakan HAM Munirlah orangnya. Misteri kematian tidak wajar Munir tentu mesti disibak dengan tuntas. Memakai bahasanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kasus ini adalah test of our history, sebuah ujian dari sejarah kita. Dalam merefleksikan ini, para aktivis KontraS mengungkapkan bahwa sebagai sebuah ujian, keberhasilan membongkar konspirasi rahasia yang menyebabkan meninggalnya Munir akan menjadi isyarat bahwa nyawa setiap orang sangat berharga sehingga tidak bisa dihilangkan begitu saja. Dalam tahap selanjutnya, kasus pembunuhan Munir bukan lagi sekedar pembunuhan biasa, melainkan penentu dari masa depan demokrasi Indonesia.
Buku ini tidak memiliki kecenderungan untuk menuduh siapapun. Mencari, memastikan, dan menghukum pelakunya merupakan otoritas aparat penegak hukum. Meski sederhana, Yuanda Zara mampu memaparkan dengan lugas berbagai asumsi yang berkembang dan memberikan ruang bagi pembaca untuk menemukan perspektifnya sendiri. Kematian yang menimpa para tokoh pembaru Indonesia menyiratkan satu hal penting, kini dan esok. Tuntasnya semua kasus yang ada dengan transparan serta diadilinya para pelaku sesuai dengan hukum akan menjadi anteseden bagi sebuah kehidupan yang bermoral dan beradab. Estuarinya, hak seseorang untuk hidup dapat diakui dan diberi penghargaaan yang tinggi.
Data Buku
Judul Buku : Kematian Misterius Para Pembaru Indonesia. Orang-Orang Cerdas yang Mati Ditangan Bangsanya Sendiri
Penulis : M. Yuanda Zara
Penerbit : Penerbit Pinus
Halaman : 204 halaman
Tahun terbit : 2007
Surya Triana Dewi