Berkumpul – Para penonton mulai berdatangan menikmati sinema Bentara (doc.bentarabudaya) |
Sinema Bentara telah menjadi kanal alternatif menonton film-film komunitas serta lintas negara. Acara rutin yang diadakan oleh Bentara Budaya Bali tersebut, pada bulan ini bertemakan ‘Romansa Kelana’. Berbagai kisah cinta lintas masa dan usia kembali membuncah melalui film-film yang disajikan (23/2).
Sabtu (23/2), sekitar pukul 18.00 WITA, ditemani secangkir minuman hangat dan kudapan yang disajikan secara gratis, para penonton mulai memasuki kawasan Bentara Budaya Bali yang bertempat di jalan Ida Bagus Mantra, Ketewel, Gianyar. Sembari menunggu film diputar pada pukul 19.00 WITA, beberapa orang menyumbangkan suaranya dengan menyanyikan beberapa lagu untuk menghibur penonton lainnya.
Film pertama yang diputar adalah “Fana”. Sebuah film pendek Indonesia arahan Arhan Farunika. Berdurasi empat menit, film ini cukup membuat perasaan penonton bingung dan penasaran akan akhir film yang lebih ‘jelas’. Setelah “Fana” yang membingungkan, “Il Postino (The Postman)” muncul dengan kesederhanaannya. Film yang dirilis pada tahun 1994 karya Michael Radford ini berhasil memikat para penonton dengan alurnya yang mudah dimengerti namun tetap sarat akan makna. Berlatar pulau kecil yang indah di bagian Italia, film ini seolah-olah ikut membawa penonton merasakan sensasi angin kering laut yang menampar pipi dan suasana deburan ombak yang terpecah belah di bawah kaki.
Sinema Bentara Budaya Bali yang telah berlangsung selama sepuluh tahun terakhir ini, sejak 2017 lalu mulai menyungsung konsep Misbar yang lebih akrab dan akhirnya menjadi ciri khas Sinema Bentara yang membuatnya berbeda dengan acara nonton lainnya. Misbar sendiri merupakan akronim dari “Gerimis Bubar” yang sengaja dibuat dengan menghadirkan konsep menonton film ala layar tancap. Untuk menambah kesan hangat, konsep menontonnya dibuat dengan menempatkan sebuah layar besar pada lapangan luas dengan para penonton duduk setengah melingkar menatap layarnya.
“Film-film yang ditayangkan juga tidak sembarang dipilih. Harus sesuai dengan tematik yang diangkat Bentara Budaya Bali tiap bulannya dan memang film-film yang dihadirkan sudah mendapat berbagai penghargaan baik di komunitas, nasional, maupun internasional,” ucap Vanesa Martida, Kurator Film Sinema Bentara Budaya Bali.
Pada bulan Februari ini misalnya. Tema yang diangkat oleh Bentara Budaya Bali adalah “Romansa Para Kelana”. Berbeda dengan tahun sebelumnya yang fokus pada karya Kamila Andini, Romansa Para Kelana menghadirkan dua buah film Indonesia dan dua buah film mancanegara bertema cinta dan perjuangan. “Selaras dengan semangat Valentine.” imbuh Vanesa sembari tertawa kecil.
Pemutaran film Sinema Bentara Budaya Bali kali ini dibagi menjadi dua hari. Untuk hari pertama (22/2), film yang ditayangkan yaitu “Surat dari Praha” karya Angga Dwimas Sasongko dan sebuah film Prancis “ôtez-moi d’un doute” karya Carine Tardieu. Sedangkan pada hari kedua (23/2), diputarkan film pendek yang berjudul “Fana” karya Arhan Arunika dan sebuah film Italia “Il Postino (The Postman)” karya Michael Radford.
Il Postino (The postman) merupakan film yang paling tua masanya di antara keempat film Sinema Bentara Budaya Bali kali ini. Dirilis pada tahun 1994, penonton diajak merasakan kehidupan dinamis masyarakat di sebuah kepulauan kecil di Italia. Lengkap dengan bumbu romansanya yang manis dan sederhana. Meskipun terdapat selipan sepatah-dua patah adegan politik yang puncaknya terjadi di akhir film, film ini tetap sepadan untuk dinikmati bagi orang-orang yang sedang mencari tontonan ringan namun sarat akan makna.
“Benar-benar di luar ekspektasi. Ngga nyangka film setua itu punya cerita yang bagus. Meski film pertama (Red: Fana) agak membingungkan, film kedua (red : Il Postino (The postman)) ini bener-bener worth it ditonton. Yah, meski ending-nya sama-sama agak gantung, tapi benar-benar bagus! Semoga Bentara Budaya Bali ke depannya terus melakukan kegiatan nonton bareng ini.” ungkap Putu, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana.
Film-film yang dihadirkan pada Sinema Bentara Budaya Bali juga mendapatkan dukungan dan telah bekerjasama dengan berbagai pusat kebudayaan, lembaga pendidikan, hingga komunitas. Itulah mengapa, rata-rata film yang ditayangkan pada Sinema Bentara Budaya Bali bukanlah film mainstream yang biasa tayang di bioskop.
Output yang diharapkan Bentara Budaya Bali dengan adanya pemutaran sinema ini adalah dapat memberikan perspektif baru terhadap masyarakat Bali pada khususnya. “Karena kebanyakan di Bali masuknya film-film barat (Hollywood) dan beberapa film Indonesia beraliran mainstream, di Bentara Budaya Bali kita ingin menghadirkan film lain, seperti film komunitas, film dari negara lain seperti Eropa, Asia, dan lainnya supaya kita punya satu studi yang beda terhadap sinema. Ngga melulu perspektifnya dari Amerika saja.” ungkap Vanesa. Kurator Film Sinema Bentara ini juga mengungkapkan, ingin membagikan perspektif baru melalui Sinema Bentara, dirinya juga ingin agar masyarakat bisa mengetahui cara bertutur, tempo, dan alur dari sebuah kehidupan di negara bahkan benua lainnya melalui film.
Karena ini merupakan acara yang terbuka untuk umum, maka siapapun boleh menghadiri. Undangan yang biasa menghadiri adalah mahasiswa berbagai universitas dan program studi, komunitas, dan pastinya masyarakat umum. Tidak ada tiket masuk yang berarti acara ini gratis, cukup datang dan pastikan menonton film sesuai kategori usia.
Penulis : Febby Frisilia
Penyunting : Nanik Dwiantari