Topeng Tugek Carangsari, sang karakter ikonik dari pementasan Bondres Carangsari yang menampilkan perempuan sebagai tokoh sentral dalam pementasan. Sisi kecantikannya tak dinilai berdasarkan penampilan semata, melainkan tutur tattwa dan satua yang dikemas dalam humor sebagai perhiasannya.
Topeng adalah media yang kerap digunakan sebagai sarana yang menghidupkan lakon pementasan tari dan drama di Bali. Pagelaran Topeng sendiri merupakan anugerah yang bersumber dari kesadaran kolektif manusia dalam memaknai keanggunan alam beserta isinya. Alam memberikan sumber daya yang merangsang nalar dan imaji manusia sehingga tercipta mahakarya topeng yang pementasannya disuguhkan untuk beragam tujuan, bisa berupa penampilan sakral pelengkap ritual keagamaan, bahkan bisa berupa penampilan lelucon jenaka yang sarat filosofi dan makna. Dalam pementasan Topeng sebagai sarana hiburan, Pulau Dewata memiliki beragam jenis topeng sebagai wajah dan perona di lakon pementasan yang memiliki ciri khasnya tersendiri. Namun, di antara banyaknya penampilan pertopengan, ada sosok yang paling mencuri perhatian, yaitu sosok perempuan yang ikonik karena menjadi satu-satunya representasi perempuan yang tampil di tengah hegemoni laki-laki di pagelaran Bondres. Sosok itu dikenal dengan nama Topeng Tugek Carangsari.
Topeng Tugek Carangsari berasal dari buah pemikiran sang maestro, I Gusti Ngurah Windia (alm) yang berasal dari Banjar Pemijian, Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Menyelami lebih dalam terkait sejarahnya, mulanya topeng Tugek ini diciptakan pada tahun 1964-1966, tepatnya ketika beliau mendirikan kelompok sekaa topeng yang bertujuan untuk ngayah dan melaksanakan upacara di Pura. Kelompok sekaa ini awalnya tidak terorganisir dengan baik karena masih bersifat tradisional dan tujuan pembentukannya pun masih berkutat pada kewajiban ngayah. Namun, atensi dari masyarakat membuat kelompok sekaa menjadi semakin berkembang, sehingga pada tahun 70-an, Topeng Tugek mencapai era keemasannya. I Gusti Ngurah Artawan selaku ketua sanggar Topeng Tugek Carangsari memaparkan bahwa di masa itu Topeng Tugek sangat diminati masyarakat. Dari desa ke desa, dari kota ke kota, Topeng Tugek bertandang menampilkan performa terbaiknya, bahkan telah pentas di berbagai kabupaten di Bali, dan telah berkeliling Indonesia.
Merawat ingatan mengenai masa-masa awal perjalanan Topeng Tugek, tentunya tidak terlepas dari kiprah sosok-sosok yang turut berperan di dalam pagelarannya. Satu-satunya penari yang masih ada dari Sekaa generasi asli Topeng Tugek bernama I Gusti Ngurah Made Gempur yang kini berusia 77 tahun. Made Gempur membuka lembaran memori ketika pernah menjadi bagian dari pagelaran Topeng Tugek Carangsari, “Dari tahun 70 tiang sampun ngemargiang sareng ragane sampun ngemargiang Topeng Tugek Carangsari, ngayah, kan daweg nika kenikain ngayah. Dije je wenten anak mekarya, sapunapine ten polih jinah midep, tidak ada uangnya nika, ujanan taen di jalan, jalan kaki nike, driki Carangsari drika Sangeh, tiang driki, sapunapine tiang memargi ke Sangeh, jalan kaki ke Sangeh.”
(Dari tahun 70 saya sudah menampilkan bersama teman-teman, sudah menampilkan Topeng Tugek Carangsari, ngayah karena pada waktu itu masih sering ngayah. Di mana saja orang bekerja, tetapi tidak mendapatkan uang, tidak ada uangnya itu, kehujanan pernah di jalan, jalan kaki itu, dari Carangsari ke Sangeh, saya di sini, setiap kali saya pergi ke Sangeh, jalan kaki ke Sangeh-red).
Made Gempur mengungkapkan bahwa beliau diajak bergabung ke kelompok Sekaa oleh Ngurah Windia selaku maestro, “Pak Ngurah Windia nggih, tyang bergabung mrika kenten mrika, pidan aduh kisahnya betul-betul, ndang ujan jalan lemah ngigel petenge masih ngigel, waktu nika,” (Pak Ngurah Windia, ya saya bergabung di sana seperti itu, dulu aduh, kisahnya betul-betul, terik hujan jalan, siang nari malamnya masih nari waktu itu-red) tuturnya ketika diwawancara di rumahnya pada Rabu, (24/07). Serupa dengan penuturan Ngurah Artawan, Made Gempur juga menuturkan bahwa Topeng Tugek telah dipentaskan di seluruh kabupaten di Bali, seperti Karangasem, Buleleng, Denpasar, dan sebagainya.
Uniknya, asal usul nama Topeng Tugek Carangsari sebenarnya bukanlah ciptaan sang maestro, melainkan sebuah nama yang disematkan oleh masyarakat. Sebenarnya nama dari Topeng ini adalah Luh Manik, tetapi masyarakat lebih mengenalnya sebagai Topeng Tugek Carangsari. Ngurah Artawan menuturkan bahwa dahulu ketika tahun 70-an, penonton pementasan dari Tabanan menyambut kedatangan sang maestro dan memberikan julukan Tugek yang merujuk kepada tokoh Perempuan dalam petopengan Carangsari, “Oh ini Tugek datang, Tugek datang. Kenapa disebut tugek? Karena di dalam dialog-dialog dengan tugek-tugek itu, beliau selalu menyebut dirinya Tugek, maksudnya Ratu Jegeg. Sehingga pada saat itu, oleh masyarakat sendiri itu Topeng ini diberi nama Topeng Tugek Carangsari,” tutur Ngurah Artawan ketika diwawancara melalui WhatsApp pada Selasa, (23/07).
Hal yang menonjol dari Topeng Tugek Carangsari adalah tokoh Tugek sendiri ditampilkan sebagai figur perempuan yang tidak rupawan, tetapi menonjol dengan menyingkap sisi cantik yang ditampilkan lewat sikap dan tutur yang dibawakan, “Ya ini topeng Tugek ini satu mukanya buruk, bocok istilah Balinya, tidak cantik lah, tetapi yang membuat dia cantik itu adalah tutur bahasanya. Dia sengaja membuat bahasa-bahasa yang seolah-olah dia paling cantik,” tuturnya (23/07). Ngurah Artawan juga mengungkapkan bahwa sikap Topeng Tugek di atas panggung menyedot perhatian penonton karena berlakon berlenggang di panggung bak peragawati. “Dia (Topeng Tugek) berjalan seperti itu, seperti Peragawati. Kemudian, dia cantik luar dalam brand, beauty, and behaviour itu diterjemahkan. Padahal zaman itu kan beliau tidak kenal dengan kata-kata istilah brand, beauty, and behaviour itu, tapi dia (Topeng Tugek) sudah melakukan itu di dalam panggung”. Karakter Luh Manik (nama asli Topeng Tugek-red) juga selalu berlakon dengan menyebut dirinya Tugek, “Artinya orang Tugek itu kan penghormatan ya, penghormatan bagi orang yang cantik, dia menghormati dirinya sendiri,” tutur Ngurah Artawan (23/07). Sikap dan tutur Luh Manik ini akhirnya menimbulkan riuh gelak tawa dari penonton, “Padahal mukanya buruk sekali tapi dia sok-sok cantik itu, tapi penonton tidak benci melihatnya, tidak jengkel tapi malah tertawa itu anehnya,” (23/07).
Tokoh Luh Manik merupakan representasi masyarakat perempuan dalam bebondresan, yang artinya karakter ini menjadi salah satu karakter masyarakat, sekaligus satu-satunya karakter perempuan yang ditampilkan dalam pagelaran Bondres Topeng Tugek secara keseluruhan. Terdapat banyak sekali karakter dalam bebondresan Topeng Tugek Carangsari, sebut saja seperti Topeng Keras, Topeng Tua, Penasar, Mantri, Liku, Tokoh Dukuh, Tokoh Peranda, Topeng Bongol, Topeng Bujug dan topeng-topeng lainnya yang turut meronakan wajah pagelaran bondres itu sendiri, “(sementara) Topeng Tugek ini keluar pada akhir pertunjukkan karena dia yang dinanti-nanti sebagai bintang pertunjukannya, sehingga Topeng Tugek ini dikeluarkan di sesi terakhir,” ungkap Ngurah Artawan.
Representasi perempuan di masyarakat yang ditampilkan dalam wujud Luh Manik atau Topeng Tugek ini seakan angin segar di antara hegemoni tokoh pria yang umumnya ditampilkan sebagai tokoh-tokoh inti dalam pagelaran bondres. Makna yang dibawakan Topeng Tugek menunjukkan emansipasi terhadap kesetaraan posisi perempuan sebagai sosok sentral yang menguasai sorotan panggung, sekaligus merefleksikan bagaimana perempuan semestinya memandang dirinya. Topeng Tugek mengajarkan makna kepercayaan diri sebagai individu yang jelita, meskipun digambarkan sebagai sosok yang tidak rupawan, tetapi kecantikan itu ditampilkan lewat tutur kata dan sikap yang menggambarkan keindahan, sehingga mampu tersampaikan ke hati setiap insan melalui penyampaian tutur berbalut lelucon yang berhasil mencuri hati para penonton.
Karakter Topeng Tugek ini memiliki konsep yang konsisten sejak awal, dengan tidak pernah berubah karakter, penampilan, dan pakem yang ditawarkan sehingga penampilannya selalu menjaga ciri khas itu, “Kalau dari segi kostum itu memakai kostum petopengan pada umumnya, terdapat pakem kostum petopengan umum yang beliau pakai. Kemudian dari segi gerak tarinya, itu beliau ciptakan sendiri cara berjalannya, seolah-olah dia berjalan di atas panggung seperti peragawati itu. Itu gerakannya sangat-sangat simple tetapi sulit sekali ditiru kalau memang itu diciptakan dari body language-nya beliau sendiri koreonya”. Ngurah Artawan juga menambahkan bahwa tembang-tembang yang mengiringi Topeng Tugek sampai saat ini tidak ada yang mampu meniru kelihaian sang maestro karena nyanyian itu dilantunkan sesuai dengan karakter vokal sang maestro, “Lengut gitu, lengut semuanya, semuanya pas, kalau sudah alam menyatukan semuanya pas,” (23/07).
Selain itu, Topeng Tugek juga memiliki sederet keunggulan yang menunjukkan ciri khasnya sebagai Bondres yang menampilkan perempuan sebagai figur sentral dalam pementasan. Ngurah Artawan mengungkapkan empat hal yang mendasari ciri khas dari Topeng Tugek. Pertama, karakter Topeng Tugek merupakan satu-satunya representasi perempuan di tengah melimpahnya karakter laki-laki sebagai “penguasa” panggung bondres. Hal ini merupakan buah pikiran sang maestro yang menciptakan sosok berbeda dari karakter bondres pada umumnya dengan menampilkan sosok perempuan tidak rupawan sehingga tokoh ini menjadi figur sentral yang mencuri banyak perhatian. Kedua, dari segi koreografi yang ditawarkan menggambarkan Topeng Tugek sebagai karakter buruk rupa, tetapi memiliki kepercayaan diri dalam bertutur menyampaikan dialog humoris yang disempurnakan dengan sikap layaknya peragawati sehingga menimbulkan gelak tawa dari para penonton. Ketiga, tutur yang disampaikan di atas panggung mengandung unsur-unsur dari filsafat yang dikemas dalam balutan humor, “Nah inilah anehnya dan uniknya. Kelebihannya Topeng Tugek itu mampu mengambil lelucon melalui filsafat. Kalau zaman sekarang para penari itu mengambil lelucon dari hal-hal yang porno, lelucon yang porno, tapi kalau topeng tugek ini mengambil lelucon, dia mampu membuat lelucon dari filosofi yang mampu membuat lelucon dari hal-hal yang sifatnya agama,” (23/07).
Ngurah Artawan juga menambahkan bahwa terdapat pakem filsafat yang khas dalam pementasan Topeng Tugek, “Rumusnya beliau, rumus Topeng Tugek Carangsari ke secara keseluruhan dan khusus di topeng tugek ini, karakter wanita itu beliau punya rumus-rumus itu adalah TAT-SAT-SAT-TAT. Tat itu adalah tattwa (filsafat), Sat itu adalah satua (cerita). Jadi Tattwa anggon satua, satua pang nyak metattwa, begitu rumusnya,” imbuhnya. Topeng Tugek melakonkan lelucon melalui tattwa (filsafat) yang sarat dengan sesuatu yang sakral, sesuatu yang baik, tetapi disampaikan melalui dialog berupa lelucon setelah membahas tattwa itu, “Jadi anunya berkelas, leluconnya berkelas, dialognya berkelas, itu yang sulit,” ungkapnya. Sementara yang keempat adalah gending-gendingan pementasan yang diciptakan khusus untuk mengiringi penampilan Topeng Tugek selama pementasan.
Keempat hal inilah yang membangun pondasi Topeng Tugek secara konsisten, sehingga mampu berkembang secara progresif dan terkenal di kancah nasional dan internasional, “10 atau 11 negara sudah sempat beliau pentas. Sudah sempat beliau pentas untuk di luar Bali, di luar negeri, dan termasuk Bali sendiri,” (23/07). Ngurah Artawan bahkan mengungkapkan bahwa Sang maestro, Ngurah Windia juga pernah diundang sebagai narasumber untuk memberikan workshop petopengan. Hebatnya, terdapat kerjasama akademis dengan Universitas Holy Cross, MIT, Boston University, dan California University, bahkan terdapat pertukaran program studi dengan fakultas-fakultas di Empat Perguruan Tinggi di Amerika yang mengirim mahasiswa selama satu bulan untuk workshop belajar seni petopengan ini. Ihwal ini menunjukkan bahwasanya pementasan Topeng juga berperan menjadi sarana edukasi.
Selain itu, eksistensi Topeng Tugek pernah menjadi sebuah media yang dimanfaatkan oleh pemerintah di era Orde Baru untuk menawarkan program-program pemerintahan melalui tangan-tangan seniman yang ditujukan ke masyarakat luas pada masa itu, “Beliau (maestro) sering dipakai sebagai jurukam, juru penerangan. Pada waktu itu, pemerintah kan memanfaatkan semacam artis-artis lokal. Siapa yang tenar pada saat itu disuruh untuk menerangkan program-program pemerintah. Maka beliau sering iklan dulu, iklan KB, iklan apa dari pemerintah. Jam terbang itu sudah sangat-sangat (tinggi),” ungkapnya.
Namun, di balik segala pencapaian itu, Ngurah Artawan menyampaikan bahwa setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya. Seolah menyadarkan bahwa pementasan sebesar apapun pasti akan tergerus zaman jikalau tiada usaha yang dilakukan untuk mempertahankan dan tiada insan yang mengupayakan untuk melestarikan. Oleh sebab itu, Tugek House Activity diciptakan untuk menjaga kelestarian Topeng Tugek, “Saat ini di rumah kami, di Puri sudah ada Tugek House Activity. Jadi kita punya sebuah program yang dikaitkan dengan dinas pariwisata,” ujar Ngurah Artawan. Ketua Sanggar Topeng Tugek Carangsari itu menuturkan bahwa ketika para pelancong berkunjung ke Desa Wisata Carangsari, akan disediakan pula sebuah paket wisata dari Tugek House Activity. Berjalan sejak tahun 2017 silam, Tugek House Activity memfasilitasi para pengunjung untuk dapat berkelana melihat dan mempelajari budaya-budaya Bali, seperti menari, menabuh, serta pewayangan. Baik wisatawan domestik maupun mancanegara, semuanya dapat mempelajari tarian dan tabuh di Sanggar Topeng Tugek Carangsari.
Ketika berbicara mengenai eksistensi Topeng Tugek Carangsari, Ngurah Artawan berharap dapat mempertahankan pakem Topeng Tugek agar senantiasa lestari. Putra dari mendiang I Gusti Ngurah Windia itu menyadari bahwa terdapat perbedaan selera seiring berkembangnya zaman. Tentunya tak sama dengan era kejayaan sang maestro dahulu. Berkaca pada hal tersebut, Ngurah Artawan berupaya untuk tetap menyelaraskan atau memadukan tattwa dan satua, kemudian dibaurkan dengan dialog masa kini sehingga dapat berbaur dengan zaman, tetapi tetap mempertahankan pakemnya. “Agar bisa juga diterima oleh anak-anak yang lahir di zaman ini,” pungkasnya.
Penulis : Maya, Gung Putri
Editor : Dyana, Dian Ari