“Saya sudah sekitar 30 tahunan menjadi tukang suwun,” kata Nyoman Pica, wanita paruh baya yang menjalani kehidupan malam di pasar Kumbasari sebagai wanita penjunjung barang, tukang suwun. Usiannya telah menginjak kepala lima. Garis-garis senja pun menghiasi wajahnya yang lelah.
Nyoman Pica tak lain adalah seorang dari sekian banyak tukang penjunjung barang atau tukang suwun yang mencoba mencari nafkah di tengah keramaian pasar kumbasari, Denpasar. Dengan balutan kemeja kuning lusuh dan celana putih, wanita ini dengan setia menyusuri blok-blok pasar dengan tumpukan barang di keranjang besar yang dijunjung di kepala. “Saya memang biasa ngompreng(menawarkan menggunakan jasa menjunjung) di sini. Sebenarnya saya masih sakit tapi kalau tak kerja hari ini saya bisa-bisa tidak makan,” ujarnya lirih, sesekali dengan terbatuk-batuk. Wanita tua asal banjarangkan ini bekerja sebagai tukang suwun dari pukul 7 malam hingga pkul 2 pagi, terkadang lebih. Walau telah renta ia mengaku biasa menjunjung beban 40 kg dengan kisaran upah Rp 3000- Rp 10.000 tiap kali menjunjung barang. Ketika ditanya alasan memilih pekerjaan tukang suwun Nyoman Pica hanya menghela nafas dan mengatakan bahwa keadaan yang memaksanya bekerja demikian. sSebagai seorang janda, Nyoman Pica harus membiayai hidupnya di sebuah rumah kos kecil seorang diri. Anak tunggalnya telah menikah dan jarang pulang menjenguknya, kecuali jika hari raya.
Ketika mulai memasuki gerbang pasar lebih dalam, kembali sebuah pemandangan memprihatinkan terlihat. Seorang ibu yang hamil tua, bergegas berjalan menjunjungg sejumlah barang di kepalanya. Ia adalah Ketut Suarningsih, 31 tahun juga wanita tukang suwun di pasar Kumbasari. Dengan tertatih-tatih ia berusaha mengantarkan barang belanjaan ke tempat yang dituju seorang pengunjung pasar. “Gaji suami saya hanya Rp 500.000/bulan, anak saya dua masih sekolah, mana cukup,” keluhnya. Dengan bekerja dari pukul 16.00 hingga 04.00, ia berharap dapat membantu perekonomian keluarga.
Profesi tukang suwun di pasar tradisional, termasuk Pasar Kumbasari adalah profesi yang telah lama ada. Menurut Nyoman Sukadana yang merupakan satpam pasar para wanita tukang suwun ini memang tidak dikenai pajak iuran seperti halnya pedagang. “Jadi banyak menilai menjadi tukang suwun adalah peluang yang sangat bagus untuk mengais rejeki,” imbuhnya. Tak hanya wanita dewasa. Anak-anak dan remaja pun ada yang menekuni bidang ini. Kebanyakan dari mereka tidak pernah mengecap bangku sekolah atau ada juga mereka yang putus sekolah Karen alasan klise; tak ada biaya.
Sungguh disayangkan, di tengah gemerlap kehidupan malam di kota besar seperti Denpasar, masih ada kaum marjinal yang menguras keringat untuk nafkah hidup. Kaum wanita yang dipandang sebagai nomor dua, pihak yang lemah, ternyata banyak yang mengambil peran laki-laki dalam pekerjaan berat. Modal mereka hanyalah semangat dan tekad untuk membantu perekonomian keluarga. Adakah yang peduli? (dev)