Hawa panas siang itu tak melumerkan wajah sangar khas panitia OSPEK itu. Tak hanya satu atau dua orang. Hampir semua wajah panitia tertekuk. Dari yang cantik sampai yang tidak berbentuk sepertinya enggan tersenyum. Sesekali terdengar teriakan “Cepat dik… sudah masuk!”
Gambaran itu menjadi lazim di setiap OSPEK Universitas Udayana (Unud). Ketertekanan mental pun membuat para maba berguguran, membuat repot panitia. Tak heran jika kemudian banyak komplain dilayangkan pihak orang tua, menganggap kegiatan OSPEK sebagai perploncoan dengan kekerasan dan menentangnya.
Sejarah menunjukkan perploncoan bukan hal baru. Banyak sumber yang dapat diakses menyebutkan perpeloncoan di Indonesia merupakan warisan pendidikan zaman kolonial yang terutama dilakukan bagi kaum pribumi yang hendak melanjutkan pendidikan.
Bagi banyak pihak, istilah pelonco membawa trauma tersendiri. Bayangan akan sebuah OSPEK yang mengharuskan para maba melakukan hukuman fisik dan mental menghantui para orang tua. Terlebih dengan masih maraknya kisah-kisah kekerasan senior terhadap juniornya di layar kaca. Tak heran jika kemudian pihak rektorat “turun” menangani para maba dalam PKKMB sejak tahun 2008.
“Perpeloncoan memang perlu dalam pengembangan pribadi mahasiswa baru,” tutur Ni Made Swasti Wulanyani S.Psi, M.Erg,Psi. Wulan, sapaan akrab psikolog Unud ini, menyetujui dilaksanakannya perploncoan jika bertujuan agar mahasiswa lebih disiplin dalam mengikuti perkuliahan. Hanya saja kegiatannya harus relevan dan bermanfaat untuk kuliah. Kegiatan pelonco itu sendiri harus ada unsur ilmiah, disiplin dan tata krama, serta dikemas secara kreatif.
“Untuk memotong kekerasan yang sudah mendarah daging, memang diperlukan inovasi yang cukup ekstrim yaitu pemotongan siklus kebiasaan tahunan tersebut dan melibatkan peran pihak berwenang,” ujar Wulan tersenyum.
Pernyataan tersebut disambut antusias oleh Dr. drh. Adi Suratma. MP, salah seorang dosen Fakultas Kedokteran Hewan (FKH). Menurutnya, pelonco tidak memberatkan mahasiswa. Namun ia menekankan perpeloncoan yang dilaksanakan harus murni sebagai proses pengenalan kampus, bukan ajang balas dendam. Namun jika kegiatan tersebut dapat membahayakan atau menugaskan maba membawa alat yang tidak berkaitan, hal tersebut harus dilarang keras.
“Kalau hanya bangun pagi dan beberapa tugas saya kira tidak masalah,” papar Adi Suratma menanggapi perploncoan. Hal senada diungkapkan I Putu Alit Surya Wibawa, ketua BEM FKH dalam sebuah diskusi yang membahas persoalan OSPEK.
“Perploncoan sebenarnya merupakan suatu cara agar para maba melakukan sesuatu sesuai dengan yang diinstruksikan. Jadi bagaimana kita membuat para maba melakukan tugas-tugas yang diberikan itulah yang disebut plonco. Bukannya dengan kekerasan tanpa alasan,” urai mahahasiswa semester VIII itu. Ia mengakui, di FKH sendiri sudah tidak terjadi kekerasan dalam OSPEK. Seluruh kegiatan kemah untuk para maba murni pengabdian masyarakat.
“Saya berharap mahasiswa baru respect terhadap seniornya karena betul-betul merasa segan. Junior hormat kepada seniornya karena merasa telah dibimbing. Bukannya karena rasa takut dan benci. Kekerasan dalam OSPEK itu menunjukkan bahwa kita masih memiliki mental bangsa terjajah,” ungkap Prof. Dr. Ir. IGP Wirawan, Msc, Pembantu Rektor IV di sela-sela sebuah diskusi ramah-tamah.
Jadi siapa pun setuju bahwa mahasiswa baru perlu dilatih kedisplinannya mengingat fase menjadi siswa tak lagi sama dengan manjadi mahasiswa. Entah dengan istilah perploncoan atau yang lainnya. Tentu ini dilakukan sebatas niat pembimbingan murni, bukan ajang balas dendam atau pamer senioritas yang melecehkan pribadi maba dengan kekonyolan dan hukuman fisik yang tidak perlu.(ria, lina, dian)