Banyaknya forum temu pejabat yang tak lebih dari “formalitas” dan “hadiah” atas legitimasi “penguasa” berpotensi menjadi musabab mandeknya proses dialektika di kalangan mahasiswa mengenai urusan perguruan tingginya sendiri. Memaksimalkan ruang diskusi agar benar-benar melibatkan mahasiswa patut diperhitungkan kembali, termasuk pada perhelatan Temu Rektor × Dialog Udayana tahun ini.
Temu rektor menjadi perhelatan rutin tiap penghujung tahun. Bagi sebagian mahasiswa ini bisa jadi agenda mewah nan langka, sebab bertemu rektor adalah kesempatan yang tak selalu. Tetapi bagi yang lainnya, bisa jadi agenda ini hanya seremonial belaka. Berulang kita disuguhkan pada pertemuan “penting” yang agenda pembahasannya tidak jauh-jauh dari soal air mati, AC rusak, wifi tidak berfungsi. Masalah tiap tahun yang tak pernah berkesudahan.
Pembahasan ini akan menghadapkan kita pada dua soal: apakah persoalan “kecil” memang harus dibawa ke forum “penting” atau forum “penting” ternyata belum bisa menyelesaikan persoalan “kecil”? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat kita mesti jujur dan berani mengkritik ke dalam diri. Apakah “temu rektor” sudah berjalan dalam esensinya? Keadaan di atas sedikit tidaknya mengantarkan kita pada banyaknya forum-forum temu pejabat yang tak lebih dari “formalitas” dan “hadiah” atas legitimasi “penguasa”. Sehingga jangan sampai Temu Rektor ini menjadi salah satunya.
Hingga tahun kemarin, perhelatan Temu Rektor di Universitas Udayana, berdiri sendiri sebagai panggung dialektika dengan Rektor dan jajarannya yang hanya dihadiri oleh perwakilan-perwakilan mahasiswa. Dalam rangka menyambut kepemimpinan baru. Benar, bahwa di tahun ini Temu Rektor berkolaborasi bersama Dialog Udayana. Semangat kolaborasinya adalah sebagai wadah aspirasi untuk perubahan Udayana dan menjawab keresahan mahasiswa dengan merangkul seluruh civitas akademika Universitas Udayana yang memiliki segudang permasalahan yang perlu diperbaiki. Aspirasi tersebut kemudian dituangkan sedemikian rupa dalam kajian akademis yang kemudian disuarakan dalam forum ini.
Sematan “dialog” mengajak kita penuh harap bahwa acara ini niscaya menjadi ajang “berkeluh” lalu “bertukar” gagasan antara jajaran rektorat dan mahasiswanya untuk menemukan jawaban. Ajang yang tidak lagi eksklusif dihadiri oleh perwakilan-perwakilan mahasiswa semata. Melainkan mendatangkan ratusan mahasiswa yang memenuhi sayap kanan kiri tribun Widya Sabha. Kendati demikian, “mewajibkan” mahasiswa yang datang tak serta merta jadi penanda bahwa tribun yang penuh, akan diwarnai dengan dialektika yang bernas dan strategis. Sebab pada dasarnya, apa artinya perubahan “tekstual” bilamana kegiatan “rapuh” secara kontekstual.
Oleh karena itu, forum pertemuan dengan mereka yang memiliki kuasa dalam mengambil kebijakan “strategis” mesti menjadi ruang berdialektika berbagai pihak, termasuk mereka-mereka yang tak memiliki akses “lebih” untuk berurusan dengan elit penguasa. Namun, tampaknya realitas Temu Rektor sedikit menjauh dari semangat kolaborasi yang digaungkan. Mengapa demikian? Persoalannya disini adalah dari sekian pemetaan isu yang disajikan dalam kajian, isu mana yang sesungguhnya strategis dibedah dalam forum ini hingga mendatangkan ratusan mahasiswa? Pertanyaan tersebut penulis munculkan tidak lain agar ruang diskusi tidak hanya habis pada ranah fasilitas dan soal administratif, hingga menyisihkan isu-isu seperti inklusivitas rumah ibadah antar agama hingga kekerasan seksual yang sebenarnya telah disusun dalam kajian akademis namun tidak berhasil diperdengarkan pada panggung Temu Rektor x Dialog Udayana hari itu.
Persoalan lainnya adalah skenario apik berupa praktik penyelenggaraan ajang ini. Pembatasan waktu, kesempatan bertanya yang hanya diberikan kepada tiga audience, membatasi ruang berpikir dan esensi forum yang mendatangkan orang nomor satu di Udayana itu. Khususnya, 1 diantara 3 hak bertanya justru telah diisi oleh Presiden Mahasiswa kita sendiri. Bagaimana ajang ini dapat melepas label “eksklusif” yang telah tersemat padanya bertahun-tahun, bilamana tahun ini dalam kemasan yang katanya baru masih banyak menyisakan residu-residu yang lalu. Digubah dengan nama dan tema baru diatas panggung megah menjadi pemanis dalam meyakinkan khalayak bahwa agenda Temu Rektor tahun ini berbeda nan penting. Akan tetapi, realita yang terjadi masih sama dengan beberapa tahun ke belakang. Imbasnya justru menambah fenomena mandeknya proses dialektika di kalangan mahasiswa mengenai urusan perguruan tingginya sendiri. Pada akhirnya, lagi-lagi isu-isu mendasar yang telah didengungkan lama seperti inklusivitas rumah ibadah antar agama hingga kekerasan seksual selalu luput, jauh dari persoalan yang dinilai serius. Akibatnya, pernyataan dan tanggapan Pemangku Kepentingan Kampus juga mencerminkan pola lama yang terdengar klise.
Masih bergelut mengenai praktik penyelenggaraan Temu Rektor, alih-alih ruang dialog, kebanyakan dari Peserta cenderung hanya disuguhi monolog. Padahal, merujuk pandangan Paulo Freire, Tokoh Pendidikan Kritis asal Brazil. Dialog, menurut Freire, bukanlah sekadar “monolog, slogan, atau komunike,” melainkan sebuah “pertemuan orang-orang yang dimediasi oleh dunia untuk menamai dunia.” Melalui istilah “menamai dunia” Freire merujuk pada mengembangkan kesadaran kritis, yakni kemampuan untuk memahami dan menganalisis realitas sosial secara mendalam. Selain itu, istilah pertemuan yang “dimediasi oleh dunia” berarti dialog yang berakar pada kenyataan konkret dan tidak terbatas pada interpretasi teoritis belaka. Freire juga menyoroti bahwa apa yang sering dianggap sebagai “dialog” sebenarnya bukanlah dialog sejati, seperti tindakan “menjejalkan” ide-ide kepada orang lain atau sekadar bertukar gagasan untuk “dikonsumsi” tanpa menghasilkan makna yang mendalam bagi para peserta diskusi.
Selain itu, bilamana forum ini memang bermaksud mengajak seluruh elemen mahasiswa untuk berdialog bersama rektornya sendiri, mestinya konsolidasi tak bisa berhenti pada perwakilan-perwakilan lembaga yang belum tentu merepresentasikan kepentingan “mahasiswa”. Di sinilah letak kurangnya upaya penyadaran sebagai bagian dari civitas akademika Universitas Udayana, bahwa semua masalah memiliki nilainya; bahwa kita semua berhak untuk bertanya dan menuntut penjelasan, terlepas dari lencana yang melekat di jas mu, semuanya mahasiswa.
Diluar celah-celah yang mesti dievaluasi, perlu penulis ketengahkan bahwa Temu Rektor memang merupakan agenda tahunan yang seyogyanya diselenggarakan. Sebagai jembatan komunikasi yang berisikan gagasan mulia mempertemukan mereka yang duduk di kursi pimpinan dengan civitas akademikanya terutama mahasiswa. Sehingga perlu dicatat bahwa celah-celah yang menjadi persoalan ini tak semestinya terus berlanjut di tahun depan, dan juga untuk kegiatan yang di-branding secara megah sudah seharusnya diisi dengan substansi krusial dan punya nilai signifikan. BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dan DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) sebagai pihak penyelenggara tidak sepantasnya bergerak hanya sebagai “badan event” dan “septic tank aspirasi”, melainkan juga sebagai lembaga yang punya peran menggali, menakar skala prioritas isu dan menyuarakan isu-isu strategis agar terkuak ke permukaan, sama halnya dengan menentang status quo bilamana tidak memprioritaskan isu yang berdampak signifikan bagi mahasiswa.
Penulis : Adi Dwipayana
Penyunting : Vita