Aksara di Taman Pikiran yang Rimbun

Ada banyak hal yang menari di dalam pikiran, namun layu sebelum sempat mekar menjadi ucapan. Sebab kadang, dunia terlalu bising untuk hal-hal yang rapuh. Maka, aksara laksana rumah bagi suara-suara yang tak sanggup dilahirkan oleh mulut, tetapi tetap ingin dikenang oleh dunia.
Di dalam tempurung kepalaku ini ada sebuah taman. Bukan taman biasa dengan bunga-bunga kasat mata atau pepohonan yang meranggas mengikuti musim. Itu adalah taman pikiran. Sebuah ekosistem gempita yang tidak pernah tidur, dihuni oleh kerlap-kerlip ide, benih-benih gagasan, dan parade bisu dari kalimat-kalimat yang belum menemukan muara. Mereka menari di sana, berkilauan seperti plankton di laut dalam, juga beterbangan serupa kunang-kunang di malam tanpa bulan. Ada argumen sengit yang berkecamuk dalam diam, puisi yang merangkai diri tanpa pernah terucap, juga simfoni perasaan yang nadanya hanya bergema di antara dinding kesadaran. Sungguh kericuhan hidup yang luar biasa kaya. Dunia tersembunyi yang berdenyut dengan potensinya sendiri.
Namun, gerbang taman ini sering kali terkunci rapat. Penjaganya adalah trio bayangan yang lihai: Keraguan, Ketakutan, dan Ketidakpastian. Keraguan datang membisikkan racun, “Apakah ini cukup baik? Apakah ada yang peduli? Apakah aku akan terdengar bodoh?” Ia menebar kabut pekat yang mengaburkan keindahan para penghuni taman, membuat warna-warni ide tampak kusam dan tidak berarti. Lalu datang Ketakutan, sosok bongsor dengan gembok berkarat di tangannya. Ia mengancam dengan kemungkinan penolakan, ejekan, atau kesalahpahaman. “Bagaimana jika mereka tertawa? Bagaimana jika diksiku melukai?” Dan akhirnya, Ketidakpastian. Ia menggoyahkan tanah tempat berpijak yang membuat setiap langkah menuju gerbang terasa gentar. “Apa gunanya? Apa dampaknya?”
Maka ribuan, mungkin jutaan penghuni taman pikiran itu layu sebelum sempat mekar di dunia luar. Kupu-kupu gagasan yang sayapnya begitu cemerlang perlahan kehilangan warnanya, jatuh ke tanah sunyi kesadaran menjadi fosil harapan yang tidak tersampaikan. Simfoni emosi yang begitu megah, nadanya pecah menjadi desah samar lalu lenyap ditelan hening. Argumentasi brilian yang bisa mengubah pandangan memilih bungkam, bersembunyi di balik benteng pertahanan diri. Taman yang tadinya riuh dalam potensinya, kini menjadi kuburan senyap bagi pikiran-pikiran yang gugur sebelum berperang. Mereka musnah bukan karena tidak berharga, tapi sebab tidak pernah diberi kesempatan untuk bernapas di udara terbuka melalui suara.
Sore itu, di sebuah kafe yang beraroma kopi dan hujan, aku duduk termangu menatap rinai yang menari di jendela. Buku catatanku terbuka di atas meja. Sebatang pena tergeletak di sampingnya, menunggu. Di benakku sebuah cerita sedang mencoba lahir, tentang seorang penjaga mercusuar tua yang berbicara pada bintang-bintang.
“Melamun lagi, El?” Suara Rian memecah lamunanku. Ia menarik kursi di hadapanku, senyumnya hangat seperti secangkir coklat panas. “Jauh sekali kelihatannya perjalananmu tadi.”
Aku tersenyum kecil dan sedikit kaget. “Hanya menikmati simfoni hujan.” Jawabku pelan, memilih kata yang terasa aman.
Rian terkekeh. “Hujan memang punya sihirnya sendiri, ya? Selalu berhasil membuatmu tenggelam dalam duniamu. Tapi El,” ia mencondongkan tubuhnya sedikit, matanya menatapku lekat, “kadang aku berharap duniamu itu bisa sedikit lebih bersuara. Aku tahu ada begitu banyak yang kau simpan di dalam sana. Kenapa sulit sekali membaginya?”
Pertanyaan itu, meski diucapkan dengan nada lembut terasa seperti sentilan keras. Aku membuang pandang ke luar jendela, ke arah jalanan yang basah dan berkilauan. “Suara kadang terasa terlalu telanjang, Rian,” bisikku, lebih pada diriku sendiri sebenarnya. “Terlalu langsung. Terlalu mudah disalahartikan. Sekali terucap, ia tidak bisa ditarik kembali.” Ada jeda sejenak. Hanya suara hujan dan dentingan sendok di kejauhan. “Dan kadang,” tambahku lagi, “apa yang ada di dalam sini,” aku mengetuk pelipis pelan, “terlalu rumit, terlalu… rapuh untuk diterjemahkan menjadi getaran udara saja.”
Betapa seringnya suara gagal? Terjegal di pangkal lidah oleh keraguan, tercekik di tenggorokan oleh ketakutan, atau terucap dengan nada yang salah sehingga kehilangan esensi maknanya dalam perjalanan dari batin ke bibir. Suara butuh keberanian seketika, kehadiran fisik, dan medan terbuka. Ia bisa lantang namun dangkal, juga lirih tetapi tidak terdengar. Ia bergantung pada momen, pada penerimaan pendengar saat itu juga. Kerap kali, momen itu tidak pernah tiba dan keberanian tidak pernah terkumpul.
Rian mengangguk pelan, tampak memahami meski mungkin tidak sepenuhnya. “Aku mengerti soal kerapuhan itu. Tapi diam juga bisa membangun dinding yang tebal, El. Dinding yang tidak hanya mengurungmu, tapi juga menghalangi orang lain untuk benar-benar melihatmu.” Ia melirik buku catatanku. “Jadi, apa yang sedang kau coba lahirkan di sana? Di tempat yang lebih aman itu?”
Aku menatap halaman kosong di hadapanku, lalu pada pena yang setia menunggu. “Kata-kata.” Jawabku singkat, namun kali ini dengan secercah keyakinan yang berbeda. “Aku sedang mencoba memberi mereka rumah.”
Ya, rumah. Sebab jika suara adalah angin yang bisa menderu lalu hilang, maka aksara adalah prasasti. Goresan-goresan tinta di atas kertas pun piksel-piksel cahaya di layar digital. Sebuah medium sabar yang tidak menuntut keberanian instan. Ketika jari menggenggam pena atau menari di atas papan ketik, ada sebuah alkimia yang terjadi. Keraguan mungkin masih berbisik, tapi kini ada ruang untuk bergulat dengannya dalam diam. Ketakutan mungkin masih mengintai, namun ia tidak lagi berdiri tepat di depan gerbang. Ia hanya bayangan di sudut ruang kerja yang temaram. Ketidakpastian masih terasa, tapi ia bisa dihadapi dengan perenungan, kesempatan untuk merangkai, menghapus, dan merangkai ulang. Aksara menjadi ruang aman, laboratorium jiwa tempat aku bisa meracik esensi pikiranku, lalu menyulingnya hingga menemukan bentuk yang paling murni, paling jujur.
Rian terdiam, sekelebat pemahaman memenuhi binar matanya. Tidak lama, diikuti senyum yang tersungging lembut ia berkata, “Rumah… sebuah tempat yang aman untuk mereka berlabuh sebelum berlayar, ya?” bisiknya. Suaranya rendah penuh pengertian.
“Iya.” Aku mengangguk sembari menatap pena di tanganku. “Di sana, mereka tidak perlu terburu-buru. Mereka bisa bernapas, mengambil bentuk yang sebenarnya, dan menemukan pasangan kata yang tepat. Di sana, bisikan bisa menjadi badai dan jeritan bisa menjadi keheningan yang menusuk.” Aku menarik napas perlahan. Aroma kopi dan tanah basah mengisi paru-paruku. “Penjaga mercusuar itu,” aku melanjutkan, suaraku kini sedikit lebih pasti seperti gelombang yang menemukan pantainya. “dia tidak punya banyak orang untuk bicara. Jadi dia bicara pada bintang-bintang. Dan kata-kata yang diucapkan, kata-kata yang tidak didengar siapa pun kecuali langit, itulah yang ingin kutulis. Kata-kata itu butuh rumah agar abadi.”
Rian mengangguk lagi. Kali ini lebih dalam seolah ia benar-benar melihat mercusuar itu, penjaganya, dan bintang-bintang di sana. “Aku mengerti El.” Bisiknya lagi. “Aku akan senang sekali jika kamu mengizinkanku mengintip rumah itu, kapan pun ketika kamu siap. Rumah bagi bintang-bintang penjaga mercusuar itu.”
Aku menatapnya, kehangatan menjalar di dadaku. Sesuatu yang tidak bisa diungkapkan oleh suara. Mungkin memang tidak semua hal butuh suara yang lantang. Beberapa hanya butuh ruang, kesabaran, dan setitik cahaya.
Penulis: Kanya Dewi
Editor: Debitasari