Judul: Revolusi di Nusa Damai
Nama Pengarang: K’tut Tantri
Bahasa: Bahasa Indonesia
Penerbit: Gunung Agung
Jumlah Halaman: 426 halaman
Tahun Terbit: 1965
Kota Terbit: Jakarta
Genre: Autobiografi, Sejarah
“Kalau saya ingin hidup serba enak, mewah dan modern, tentu tidak akan saya tinggalkan Amerika. Dan kalau saya ingin hidup dengan orang Belanda, saya akan pergi ke negeri Belanda.”
“Saya di sini karena ingin melihat Bali, bukan untuk hidup di hotel deluxe sambil menonton manusia-manusia kolonial minum-minum dan main tenis.”
Seorang bule berdarah Inggris-Amerika marah kepada dua orang Belanda yakni seorang kontrolir dan seorang manajer Bali Hotel. Kemarahannya dipicu oleh teguran mereka yang melarangnya hidup bersama orang Bali. Menurut kedua orang Belanda itu, orang Bali dianggap tidak bermoral dan jorok. Mereka juga menganggap keputusan si bule sebagai tindakan yang gila. Namun, si bule tidak terima dengan pandangan tersebut dan melontarkan kata-kata kemarahannya kepada mereka.
Saat mulai membaca buku ini, sulit untuk percaya bahwa ini bukan buku fiksi. Bagaimana tidak? Bule Inggris-Amerika itu bernama Muriel Stuart Walker tetapi tiba-tiba berubah menjadi K’tut Tantri lewat perjalanan apik bak dongeng. Ia tinggal di Indonesia selama belasan tahun karena menonton film propaganda Belanda berjudul “Bali, The Last Paradise.” Tujuan awal hidup di tengah orang Bali dan melukis kehidupan mereka yang damai nan indah berubah menjadi tekad kuat untuk ikut memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa orang-orang yang dicintainya. K’tut Tantri merupakan saksi, juga pelaku sejarah dari tiga zaman berbeda dalam sejarah Indonesia. Masa penjajahan Belanda, Jepang dan Indonesia merdeka. Buku ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu Melanglangbuana, Firdaus yang Hilang, dan Berjuang demi Kemerdekaan.
Menjadi Orang Bali
Pada “Melanglangbuana”, K’tut Tantri menceritakan sedikit mengenai dirinya dan asal usulnya, meninggalkan kehidupan di Amerika lalu menuju Bali dan menjadi orang Bali. Ibunya tidak heran dan mengatakan sejarah memang berulang, karena Ayah K’tut Tantri adalah seorang Arkeolog yang meninggalkan keluarganya untuk hidup di Benua Afrika. Ibunya berkata “Kau dan ayahmu, kalian selalu lebih menyukai suku-suku bangsa yang serba aneh.” Namun ibunya tidak sedikitpun berusaha menghalangi.
K’tut Tantri menghabiskan berbulan-bulan di kapal dan akhirnya berlabuh di Tanjung Priok. Usai dari Batavia, ia melintasi Pulau Jawa menuju Pelabuhan Banyuwangi untuk menyeberang ke Bali. Setelah tiba di Gilimanuk, ia menyusuri Pulau Bali dan hendak ke Bali Hotel di Denpasar. Bali benar-benar indah; pegunungan yang hijau, langit biru cerah, monyet-monyet di habitatnya, pura dengan ukiran, hawa panas dengan angin semilir membawa aroma samar bunga yang harum, perempuan Bali berjalan beriringan bertelanjang dada, seperti sedang memamerkan payudara mereka yang sintal sambil menjunjung beban yang tidak kecil ukurannya di atas kepala. Ini melampaui bayangan dan film yang ditontonnya. Pemandangan itu terhenti saat memasuki kota Denpasar, yang menghadirkan toko-toko Cina dan Arab serta rumah-rumah Belanda yang sama gayanya.
Kehidupan kota Denpasar yang dipenuhi aturan-aturan Belanda memuakkan K’tut Tantri. Ia sering berkata “Belanda! Ini kan Bali!” yang dibalas oleh orang Belanda dengan “Ini bukan Bali, melainkan Holland kecil, di mana setiap orang dan nona wajib mematuhi undang-undang Belanda.” Mobil diisi bensin hingga penuh, K’tut Tantri kemudian berangkat. Ke mana? Entah, K’tut Tantri menulis bahwa di manapun bensin mobilnya habis, di situ ia akan tinggal. Juga apabila itu sawah, intinya ia tidak ingin kembali ke Bali Hotel. Setelah berjam-jam perjalanan, mobilnya kehabisan bensin di perbukitan, tepat di sisi luar tembok bata merah yang dihiasi patung-patung dewa. K’tut Tantri mendengar alunan musik aneh dari dalam tembok, ia masuk dengan melawan rasa ragu. Dihampirinya K’tut Tantri oleh Anak Agung Nura yang mengatakan bahwa tempat itu adalah sebuah istana – puri dan sedang berlangsung suatu upacara pernikahan.
Keluarga istana menyambut K’tut Tantri dengan hangat usai ia menceritakan kisahnya hingga ketidaksukaannya terhadap birokrasi Belanda. Raja memintanya untuk tinggal di istana, sebab tak aman jika seorang diri tinggal di tengah masyarakat yang awam soal orang kulit putih. Melalui upacara pemberian nama menurut kepercayaan di Bali, didapatlah nama “Tantri”. Sedangkan “K’tut” berarti anak keempat. K’tut Tantri bak lahir kembali, pakaian baratnya berubah menjadi kebaya dan rambutnya yang merah berubah menjadi hitam.
K’tut Tantri menjalani hari-harinya sesuai tujuannya ke Bali yaitu melukis. Dirinya juga belajar Bahasa Melayu dan Bahasa Bali, mempelajari kebiasaan, adat, tradisi, hingga kesusastraan Bali walau kadang ia dirongrong Pemerintah Belanda karena tinggal bersama pribumi. Tak hanya soal Bali, K’tut Tantri juga belajar soal sejarah penjajahan di Indonesia dan upaya melawan penjajahan Belanda. Tidak lama K’tut Tantri tinggal di puri, karena ia ingin betul-betul hidup di tengah masyarakat Bali. Tidur di rumah warga beralaskan tikar, makan seadanya, hingga mandi di sungai sudah biasa baginya. Lalu mungkin karena waktu yang sering dihabiskan bersama, baik melukis, belajar, berkeliling desa Kintamani dan momen-momen lainnya, membuat Anak Agung Nura jatuh hati pada K’tut Tantri. Namun kisah mereka tidak berakhir bagus, sebab rumitnya keadaan di masa itu.
Yankee
Pada bagian “Firdaus yang Hilang”, K’tut Tantri menceritakan bagaimana kondisi Bali dan Jawa yang parah akibat dampak Perang Dunia II serta bagaimana ia ditahan Jepang dengan siksaan tiada henti dan ancaman mati.
Perang yang pecah di Eropa menyambarkan ketegangan hingga di negeri jajahan Belanda. Jepang diperkirakan akan segera tiba di Jawa untuk mengambil alih kekuasaan Belanda, tetapi Jepang sampai di Bali lebih dulu. Sebagai orang kulit putih yang pasti akan dianggap musuh oleh Jepang, K’tut Tantri harus kabur ke Jawa yang setidaknya belum diduduki Jepang. Namun akhirnya kondisi di Jawa sama saja, orang-orang Belanda kocar-kacir dan Jepang berlagak bak pahlawan yang menyelamatkan Indonesia. Di Jawa, K’tut Tantri pindah dari penjara ke penjara, karena dicurigai sebagai mata-mata Amerika atau Yankee. Perlu diwanti-wanti di sini bahwa bagian ini merupakan bagian paling gila, bahkan orang bermental sehat pun sepertinya bisa stres membaca tindakan Jepang pada tahanan mereka dalam buku ini. Jepang kemudian kalah perang dan tahanan dibebaskan. K’tut Tantri bebas dari siksaan Jepang dengan bobot tubuhnya yang hanya 32 kg dan kondisi mental yang buruk.
Merdeka atau Mati!
“Berjuang demi Kemerdekaan” adalah bagian terakhir buku ini. Suasana menuju kemerdekaan dan suasana awal kemerdekaan dipaparkan dengan detail oleh K’tut Tantri. Bahkan sepertinya banyak di antaranya yang tak dicantumkan dalam penulisan sejarah di Indonesia. K’tut Tantri kenal dan akrab dengan tokoh-tokoh Indonesia; Soekarno, Bung Tomo, Bung Amir, Sutan Sjahrir dan beberapa menteri hingga perwira militer pada masa awal kemerdekaan. Mereka pun memberi kata sambutan yang dilampirkan di lembar-lembar depan buku ini, membuat autobiografi K’tut Tantri ini tak diragukan keabsahan ceritanya.
K’tut Tantri sendiri diminta membantu dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari usaha Belanda yang dibantu Inggris untuk menguasai kembali Indonesia. Sebenarnya lama ia memikirkannya, sebab usai Jepang kalah, ada peluang untuknya kembali ke Amerika. “Aku akan melakukannya, atau mati dalam usahaku itu” ternyata inilah keputusannya. Selama membantu usaha pihak Indonesia, K’tut Tantri membawa dan memakai ban lengan merah putih bertuliskan “Merdeka atau Mati” untuk mengukuhkan keberpihakannya. Tugas pertama yang didapatkannya adalah melakukan siaran mengenai Indonesia dengan Bahasa Inggris melalui Radio Pemberontakan di Surabaya yang dikelola Bung Tomo sembari menjadi mata-mata.
Berbagai kejadian mewarnai perjuangan K’tut Tantri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia., seperti kabar siapapun yang dapat menyerahkan dirinya kepada Belanda akan mendapat 50.000 gulden, mengikuti operasi-operasi dengan penyamaran, diculik untuk siaran oleh kelompok Barisan Baju Hitam, membantu menguak kudeta terhadap Soekarno, kekurangan makanan akibat blokade Belanda, terbunuhnya Anak Agung Nura karena dianggap pro-Belanda, misi ke Singapura dan Australia lewat “Operasi Kucing-kucingan” dengan Belanda tetapi selalu selamat sebab bantuan Inggris, hingga membantu utusan Mesir dan Liga Arab menuju Indonesia untuk menyampaikan pengakuan negara Indonesia.
Di Australia, seorang Belanda menawarkan kesepakatan agar K’tut Tantri tak lagi ikut campur dalam urusan Indonesia. Karena menolak, terjadilah perseteruan di antara mereka. Seorang Belanda itu berkata “Begitu mereka sudah merdeka, anda pasti akan mereka lupakan.” Jawaban K’tut Tantri rasanya cocok mengakhiri resensi ini, yakni “Mungkin saja orang Indonesia akan melupakan diriku apabila negara itu sudah benar-benar merdeka. Kenapa tidak? Aku hanya ombak kecil di tengah alun banjir semangat kemerdekaan.
Jika ingin mempelajari sejarah Indonesia tetapi cepat bosan dengan gaya penulisan sejarah yang kaku, buku ini sangat cocok sebagai bacaan awal. Begitu pula bagi penulis resensi ini yang ingin mulai membaca novel sejarah tetapi tidak terbiasa, karena biasanya hanya membaca penulisan sejarah yang kaku. Buku cetakan tahun 1965 ini masih menggunakan ejaan Indonesia lama, tetapi sudah banyak cetakan baru dengan terjemahan yang mudah dimengerti.
Penulis: Elisia
Penyunting: Debitasari