Dua Pasang Tangkai Peony Dari Pemilik Senja Terakhir Seribu Kata, Segelintir Tawa yang Hanya Kita

Dua Pasang Tangkai Peony Dari Pemilik Senja Terakhir Seribu Kata, Segelintir Tawa yang Hanya Kita

“Jika saja pagi kemarin tidak ditemani gerimis yang membasahi aspal-aspal jalanan hingga berkilauan, mungkin saja aku tidak memandang kamu dengan begitu, tuan.”

Pernah sekali…tepatnya pagi itu, pahamku seluruh-luruhnya bersamamu tuanku. Mengalun, menggema untaian katamu layaknya barisan gerbong kereta yang tertata rapi, elok nan manis menyapa diriku di pagi hari yang dingin itu. Tuan, jujur saja…tiap kali kita saling melempar tanya dan tawa adalah bagian yang sampai kini masih menjadi hal favoritku–kita yang saling memberi bahagia.

Tuan manisku itu kemarin mengatakan bahwa Agustus hampir tiba. Ia agak menyayangkan Juli yang ia pijaki hari ini akan habis begitu cepat. 

“Kenapa waktu sekarang melaju cepat sekali, ya?” tanyanya padaku.

“Iya, padahal aku belum sempat berkelana kemana-mana,” jawabku.

Kami berdiri dengan berani di tengah orang-orang yang sibuk mengejar kebahagiaan, sebab di ujung selatan bumi kami ini memang sangat digemari. Kali ini tidak menjadi pengamat saja, tetapi berbaur bersama mereka yang haus akan senang.

Kayuhan pedal sepedaku melaju cukup cepat, hingga tuan manis itu tertinggal cukup jauh di belakang sana. Aku tertawa, menengok ke belakang…saat dia berusaha mengejarku yang sudah jauh di depan.

Ketika posisi kami sudah sejajar, ia mengomel dengan manis. “Sepedaannya pelan-pelan aja, kita gak akan dikejar waktu. Sore ini milik kita.”

“Kalau begitu, kamu lebih dulu,” aku mempersilakan dia untuk berada di posisi depan.

Gak gitu dong! Aku tetap harus di belakang.”

“Kenapa gitu?”

“Tugasku jagain kamu, jadi kamu harus ada di depanku.”

Tuan, seingatku kemarin, kita belum saling jatuh cinta, lantas rasa yang menggelitik manis ini dinamakan apa?

Padahal hujan bulan Juni sudah usai, tetapi mengapa rintik gerimis itu masih senang-senangnya mengunjungi bumi hingga Juli, ya?

Kami harus berteduh dengan segera.

“Ayo neduh, hujannya makin deras,” ujarnya sembari menghalau rintik hujan menyapa wajahku.

Aku mendongak, menatapnya dengan senyum yang mekar malu-malu. “Aku maunya ambil payung, biar kita gak kena hujan lebih lama. Haltenya masih lumayan jauh.”

Mendung tidak begitu terlihat, tetapi rintik hujan ini tetap bisa datang. 

Mungkin, mungkin saja, begitulah kamu, tuanku. Terima kasih sudah bertandang pada diri yang tengah dalam kondisi keruh ini, dan terima kasih sudah mengisi bagian yang kosong dengan penuh sukacita.  

Tuan, di hari yang senjanya hampir habis, samar, tetapi tidak hambar, tutur katamu beberapa hari lalu masih hinggap di telingaku. Hari kemarin nyatanya masih menyita waktuku untuk tersenyum dengan bayang-bayang milikmu.

Senja terakhir, hujan, dan kamu.

Rasanya, kali ini…tidak hanya aku yang mau kamu, tetapi kamu pun sebaliknya.

Persepsi remehku mengenai dunia diterima begitu apik, penuh suka cita darimu, tuan. Bagaimana mungkin aku tidak meluruh padamu yang begitu luar biasa?

Padahal aku hanya berucap asal, kamu hargai sebegitunya.

Analogi-analogi muram yang tersusun dalam kepalaku perihal sudah menyudahi dan kesedihan yang tak beretika, kini diubah sepenuhnya olehmu menjadi tulisan asing penuh rasa manis yang menyegarkan.

Tetapi tuan, aku belum sepenuhnya sembuh. Ada yang masih harus aku benahi. Aku belum sepenuhnya pulih. Aku takut hal ini akan memberatkanmu di waktu mendatang.

Monologku ternyata didengar olehmu, lalu kau genggam sekali lagi tanganku untuk berdialog bersama memecahkan gundah nakal itu.

“Mari tumbuh dan berproses bersama,” ujarmu.

Ternyata, lebih baik mengusahakan bersama daripada perseorangan. Sekali lagi, banyak pahamku yang bertambah dan terganti karenamu, tuan. 

Kau tidak menghakimiku saat menyuarakan bentuk dunia dari sudut pandangku yang kacau balau ini, lagi-lagi kau beri aku ruang bebas untuk mengenalmu sesuai dengan paham diriku.

Vas-vas bunga yang sudah terbengkalai di sudut ruangan kau ambil kembali, kemudian kau benahi, kau isi lagi dengan bunga-bunga cantik yang wangi. 

Rumahku sudah lama tak dikunjungi kupu-kupu, tetapi berkatmu, kini ia mau untuk sekedar terbang sekejap menyapaku di halaman.

Kini, aku gemar merapal masa depan,

yang ada kamu dan aku di dalamnya.

Peony pertama itu, akhirnya sampai di rumahku.

Penulis : Sanaragrey

Penyunting : Debitasari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

perihoki perihoki perihoki perihoki perihoki duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76 duta76