Judul: The Memory Police (Polisi Kenangan)
Penulis: Yoko Ogawa
Terbitan Pertama: Jepang, 1994
Penerjemah: Lingliana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2020
Jumlah Halaman: 296
ISBN: 978-602-06-3905-5
Genre: Realisme magis, distopia, otoriterisme
The Memory Police (atau Polisi Kenangan), novel prestisius karya Yoko Ogawa, sastrawan Jepang yang telah menerbitkan lebih dari dua puluh karya fiksi dan non-fiksi sejak 1988, telah meraih berbagai penghargaan, termasuk Akutagawa Prize, dan dinominasikan untuk International Booker Prize pada 2020. Novel ini menyentuh tema universal tentang ingatan dan kehilangan, menjadikannya bagian penting tren fiksi distopia modern, bersama karya-karya seperti Nineteen Eighty-Four karya George Orwell dan The Handmaid’s Tale karya Margaret Atwood. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan meraih popularitas internasional, novel ini diterbitkan di Indonesia oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2020. Terjemahannya dikerjakan oleh Lingliana. Novel ini menawarkan nuansa sastrawi yang segar sekaligus kritik sosial yang kuat, dalam balutan kisah yang lembut dan menggugah.
Secara garis besar, The Memory Police mengisahkan seorang perempuan (narator) yang bekerja sebagai penulis novel di sebuah pulau misterius. Di pulau ini, benda-benda menghilang secara bertahap, baik secara fisik maupun dari ingatan kolektif masyarakat. Burung, pita, lonceng, mawar, peta, topi, perahu, novel, bahkan kalender semua lenyap, dan yang hilang tak lagi memiliki makna.
Dalam novel The Memory Police, kenangan dihilangkan secara sistematis; benda-benda lenyap, dan ingatan kolektif masyarakat pun memudar. Narator, bersama seorang sahabat, berupaya melindungi R, seseorang yang mampu mengingat kenangan yang hilang. Ketakutan dan kesunyian menyelimuti pulau tersebut. Hilangnya kenangan perlahan menggerogoti jiwa masyarakat, hingga hanya menyisakan suara-suara yang tersapu angin.
The Memory Police menampilkan distopia yang unik. Ketakutannya lebih sunyi dan perlahan, namun lebih menghantui daripada distopia klasik yang menampilkan kekerasan fisik. Meski begitu, novel ini kurang menjelaskan struktur kekuasaan dan asal-usul rezim yang mengatur pulau tersebut. Suasana misterius yang tercipta membuat dunia distopia terasa kurang solid.
Penggunaan realisme magis memperkuat kesan bahwa novel ini tidak sepenuhnya mengandalkan logika dunia nyata. Hilangnya benda secara kolektif dan keberadaan Polisi Kenangan yang nyaris tak tersentuh, tidak dijelaskan secara ilmiah atau rasional. Realitas dibentuk oleh atmosfer dan emosi. Nuansa surealis dan simbolik memberi kebebasan interpretasi, namun juga berpotensi membingungkan pembaca karena minimnya konklusi yang tegas.
Walau tidak secara gamblang merepresentasikan situasi politik tertentu, banyak yang menafsirkan The Memory Police sebagai alegori politik. Penggambaran otoriterisme yang tajam mengkritik rezim totaliter yang membungkam rakyat melalui penghapusan memori dan identitas. Kehilangan daya kritis dan kemampuan melawan menjadi konsekuensi yang jelas. Hal ini merefleksikan bagaimana kekuasaan otoriter seringkali mengendalikan narasi sejarah, menyensor media, dan menekan kebebasan berekspresi.
The Memory Police menyoroti kekuasaan yang bekerja secara halus, bukan represif. Novel ini tidak menjelaskan secara detail siapa yang berkuasa atau mengapa benda-benda menghilang, namun efeknya terasa nyata. Kekuasaan tersebut, misalnya, mengajak pembangkang melalui kisah narator tentang seorang gadis bisu yang jatuh cinta pada instrukturnya. Kisah ini bisa diartikan sebagai metafora narator yang kehilangan kemampuan berhubungan dengan dunia luar seiring hilangnya benda dan makna.Meskipun eksplorasi temanya luas, pengembangan karakter dalam The Memory Police minim, kecuali narator. Gaya penceritaan lebih fokus pada perkembangan narator dari kecil hingga dewasa. Tokoh-tokoh lain hanya representasi perasaan, bukan individu kompleks.
Akhir The Memory Police meninggalkan kesan ganjil: lega, frustasi, dan tak terjelaskan. Novel ini tidak memberikan klimaks dramatis, namun membiarkan pembaca melayang, seperti suara-suara yang menghilang di pulau tersebut. Narator kehilangan kenangan, menghilang (secara harfiah atau kiasan), sementara R, yang keluar dari persembunyiannya, menunjukkan pemahaman filosofis tentang situasi tersebut. Akhir cerita ini bukan jawaban, melainkan ajakan merenung. The Memory Police menunjukkan distopia yang jujur: dunianya menghilang tanpa jejak karena tak ada yang tersisa untuk dirusak.
Dari perspektif politik, novel ini menggambarkan kekuasaan yang membungkam ingatan secara sistematis. Ketika masyarakat melupakan masa lalu, mereka tak bisa melawan dan sepenuhnya tunduk. Narator, yang kehilangan kemampuan mengingat, menjadi simbol kehancuran kolektif suatu komunitas yang kehilangan kemampuan paling dasar kemanusiaan: mengingat.
Dengan gaya puitis yang sunyi dan atmosfer mencekam, The Memory Police menjadi distopia yang lembut namun mematikan. Ogawa tidak menghadirkan monster untuk dilawan, melainkan kekuasaan yang secara pelan, tenang, dan tanpa jejak mengikis manusia dari dalam. Ini adalah bentuk otoriterisme paling berbahaya: ia tidak membunuh tubuh, tetapi mematahkan kenangan.
Penulis: Gita