Praktik poligami yang legal di Indonesia memiliki dampak yang merugikan terhadap terhadap kaum perempuan. Salah satunya, permasalahan ketidaksetaraan gender. Inilah kesadaran yang ingin dibangun dalam kegiatan pemutaran film dan diskusi yang diselenggarakan komunitas Feministsspace.
Di Indonesia, poligami merupakan tindakan yang legal berdasarkan hukum perdata, yakni Undang-Undang Perkawinan dan hukum adat yang bertujuan untuk membangun keluarga bahagia berdasarkan nilai ketuhanan. Namun nyatanya, praktik poligami ini tidak dapat membangun tujuan “keluarga bahagia” tersebut, melainkan melahirkan siksaan secara fisik dan psikis terhadap kaum perempuan yang diperistri, serta terjadinya ketidaksetaraan gender. Demikianlah pesan yang ingin disampaikan pada kegiatan pemutaran film dan diskusi film dokumenter yang disutradarai Robert Lamelson yang digelar pada Selasa (23/03) di Taman Baca Kesiman.
Usai pemutaran film tersebut, dimulailah diskusi santai yang melibatkan pihak penyelenggara dan para partisipan. Carlos yang merupakan bagian dari komunitas Feministsspace mengungkapkan rasa prihatinnya terhadap ketidaksetaraan gender dalam tradisi masyarakat di Bali. “Secara tradisi di Bali, perempuan dari lahir kerap tidak dihitung sebagai keluarga, karena dipercaya mereka akan keluar menikah dan tinggal di keluarga sang suami. Itu sedih banget sih, padahal kultur itukan diciptakan oleh manusia, dan seharusnya kultur seperti itu bisa diubah oleh manusia itu sendiri,” ujar Carlos.
Sistem patriarki yang terwujud dalam praktik poligami juga diperkuat dengan adanya faktor kekuasaan di masa lalu dan doktrin yang ada dalam agama tertentu. “Poligami ini juga bagian dari gengsi menurutku. Contohnya seperti kakekku yang memiliki istri dua belas dan kakekku ini sebagai kepala desa. Jadi begitulah punya banyak istri untuk dipuja-puja gitu dan juga disisi lain gengsi sebagai kepala desa dimana pada zaman dulu merupakan posisi atau jabatan yang wah banget,” ucap Fenty sebagai bagian dari komunitas Feministsspace. “Dalam agama aku ada sebuah pembicaraan yang menyebutkan bahwa kalau kamu sudah bersuami istri, selangkah istri pergi itu harus seijin sang suami. Jadi hal itu kayak sudah didoktrin dari dulu kalau selangkah kamu (perempuan) pergi, kalau suamimu bilang tidak ya tidak,” tambahnya.
Agus, salah satu mahasiswa yang ikut hadir sebagai partisipan kegiatan tersebut, mengungkapkan kegundahan hatinya setelah menyaksikan kondisi perempuan yang dipoligami. “Kaum perempuan setelah dipoligami akan kehilangan banyak haknya. Jika mereka memilih untuk cerai, mereka harus siap menerima stigma buruk dari masyarakat terhadap status “janda” dan merugikan keluarganya. Dari film tersebut, hampir semua kaum perempuan terpaksa memilih untuk tetap tinggal serumah dengan sang suami demi kepentingan anak mereka dan juga nama baik keluarga pihak perempuan.” Ujarnya. Kegiatan pemutaran film dan diskusi ini, selain sebagai wadah untuk belajar, ialah pula sebagai tempat untuk bertukar pikiran dan membangun kesadaran akan isu-isu feminisme.
Penulis: Ritaro
Penyunting: Fajar