Barong Brutuk: Tarian Sakral Penyembuh Penyakit
Bali, Pulau Dewata yang memiliki segudang budaya dan tradisi, diramaikan dengan perayaan yang penuh makna dan sejarah. Salah satunya yaitu Barong Brutuk, tari dari desa Trunyan yang diyakini oleh masyarakatnya sebagai penyembuh penyakit.
Bali atau kerap disebut Pulau Dewata, merupakan pulau yang kaya akan budaya, tradisi, serta perayaan penuh arti. Satu diantaranya yakni karya seni barong yang hingga kini masih hidup dan dihormati sebagai salah satu kemuliaan budaya Bali. Saat ini diketahui terdapat delapan jenis seni barong yang ada di Bali, salah satunya adalah Barong Brutuk di Desa Trunyan, yang diyakini masyarakatnya dapat menyembuhkan penyakit.

Barong Brutuk, tarian sakral yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur warga Trunyan, dikenal sebagai Pelindung Desa Trunyan. Tarian ini diyakini sudah ada sebelum ajaran Hindu masuk ke Bali. Dalam sejarahnya, Barong Brutuk bermula dari sebuah patung besar di Pura Pancering Jagat, Desa Trunyan, yang disebut Datonta atau Bhatara Ratu Sakti Pancering Jagat. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Datonta memiliki 21 pengikut, yang kemudian menjadi inspirasi bagi pembuatan topeng Barong Brutuk. Topeng ini memiliki ciri khas tersendiri, seperti wajah yang tegas dan kuat, berbeda dari topeng barong lainnya
Lebih menarik lagi, Tari Barong Brutuk ini tidak diiringi gamelan seperti kebanyakan pementasan tari barong pada umumnya. Masyarakat di Desa Trunyan percaya bahwa jumlah topeng akan berubah-ubah setiap harinya, dengan jumlah perubahannya sekitar 19–23 topeng. Oleh karena itu, berapapun jumlah topeng yang ada dalam penyimpanan, semuanya akan dipentaskan sesuai dengan jumlah tersebut. Pakaian yang digunakan oleh para penari terbuat dari daun kraras (daun pisang yang sudah kering -red), yang hanya bisa diambil di Desa Pinggan, Kintamani. Untuk membuat pakaian ini, daun kraras perlu dirajut menggunakan tali dari kulit daun pisang, lalu dibentuk seperti rok yang digantungkan ke leher, bahu, dan pinggang penari. Pakaian tersebut terdiri dari tiga rangkaian daun kraras dan dilengkapi dengan celana dalam yang terbuat dari kelopak kering pohon pisang. Selain itu, para penari juga memakai topeng dan membawa sebuah cemeti (pecutan -red).
Tari Barong Brutuk memiliki jadwal penampilan yang cukup unik, yakni hanya ditampilkan setiap dua tahun sekali saat hari Odalan atau Upacara Ngusaba Kapat di Pura Ratu Pancering Jagat, yang jatuh pada Purnama Sasih Kapat atau Kapat Lanang dan Kapat Wadon di Desa Trunyan. Pada saat Ngusaba Kapat Lanang, Tari Barong Brutuk dipersembahkan oleh para teruna (remaja laki-laki -red), sementara pada Ngusaba Kapat Wadon, kegiatan ini dilakukan oleh para teruni (remaja perempuan -red) yang mengisi Upacara Piodalan di Pura Ratu Pancering Jagat dengan menenun kain suci. Karena kesuciannya dan kekhasannya, Tari Barong Brutuk dianggap suci dan tidak boleh ditampilkan secara sembarangan atau untuk tujuan wisata, serta tidak bisa ditemukan di tempat lain kecuali Desa Trunyan
Sebelum pementasan Barong Brutuk di Pura Pancering Jagat Desa Trunyan, para penari teruna menjalani serangkaian ritual sakral. Mereka disucikan selama 42 hari di sekitar Pura Pancering Jagat dekat Patung Datonta. Selama proses penyucian, mereka mempelajari tembang-tembang kuno, membersihkan area pura, dan mengumpulkan daun kraras dari Desa Pinggan. Selain itu, ada pantangan yang harus diikuti, termasuk larangan untuk berhubungan seksual dengan perempuan.

Pementasan Tari Barong Brutuk diawali dengan mengelilingi tembok pura sebanyak tiga kali sambil melecutkan ke arah masyarakat, yang dipercaya memiliki efek penyembuhan. Daun-daun yang lepas dari Barong Brutuk dianggap membawa berkah dan keselamatan. Barong Brutuk juga membagikan buah-buahan kepada penonton untuk melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran. Tari Barong Brutuk tidak hanya memiliki nilai simbolis, tetapi juga mengandung makna kesucian dan pengendalian diri yang terasa dalam penampilan penari. Pementasan berlangsung sehari penuh dan diakhiri dengan penari mandi di Danau Batur, melucuti sisa-sisa daun pisang sebagai kostum mereka. Masyarakat Trunyan berharap agar pertunjukan ini diterima dengan baik oleh Tuhan, sehingga hujan turun setelah upacara berakhir. Hujan ini diyakini sebagai pertanda kesuburan dan rejeki yang melimpah.
Penulis : Adelia
Penyunting : Meutia, Dyn

