BEN ANDERSON, DAN BAHASA ANTI KOLONIAL

Bahasa sesungguhnya bukan hanya sekadar suara atau huruf-huruf yang sederhana. Inilah api bahasa yang melatari lahirnya gerakan nasionalisme awal di beberapa wilayah di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia dan Filipina, melawan kolonialisme negara-negara barat.

 

Buku Imagined Communities, sedikitnya memberikan penjelasan ihwal kemunculan negara kebangsaan (nation-state) di dunia ketiga. Di buku tersebut, mula-mula Ben menggunakan contoh “komunitas religius”, lalu “ranah dinastik”: dua sub-bab yang digunakan untuk menjelaskan dengan penuh analogi yang kelewat sulit ditangkap. Sebelum kemudian, ia beralih ke persoalan kapitalisme cetak yang merupakan faktor awal terwujudnya komunitas-komunitas terbayang yang bernama negara-bangsa (nation-state). Sesudah negara-kerajaan (monarchy) yang lebih-lebih bila dipraktikkan secara absolut telah kedaluwarsa. Melalui cetakan-cetakan surat kabar dan karya-karya novel, gagasan negara-bangsa itu lahir. Di situ, Ben, antara lain menggunakan contoh novel Eropa lalu novel produk pribumi, seperti Semarang Hitam-nya Mas Marco Kartodikromo dan Noli Me Tangere-nya Jose Rijal (bapak bangsa Filipina). Surat kabar yang disebut Ben sebagai bentuk ekstrem dari buku ini, turut memelopori bayangan akan bangsa khususnya di negara-negara seperti Indonesia dan Filipina, karena menjembatani akumulasi bayangan kebangsaan: mula-mula melalui upacara massa yang bernama “konsumsi membaca”; lebih tepatnya, akumulasi pembayangan melalui “membaca serentak dan simultan”. Karena koran yang dicetak pada suatu hari, memungkinkan dikonsumsi oleh banyak orang secara serempak.

 

Surat Kabar

Surat kabar, meminjam istilah Ben yang juga dipinjam Ben dari Hegel, “bisa melayani manusia modern sebagai pengganti sembahyang pagi”. Membaca koran bisa dilakukan secara berbarengan dengan ribuan atau jutaan orang lain yang satu-sama lain tidak saling kenal, lagi tak saling menahu jati diri. Surat kabar serta novel diproduksi oleh kapitalisme cetak, hanya untuk mengikat simultanitas terlepas kelak terdapat keburukan dari penemuan benda-benda modern hasil perkembangan teknologi tersebut. Tanpa “kapitalisme cetak”; tanpa dicetak dan diterbitkan, tak akan berlangsung aktivitas membaca yang simultan. Teringat ungkapan novelis Argentina, Jorge Luis Borges, melalui parabel cermin (dalam cerpen Tlon, Uqbar, Orbis Tertius). Kata Borges, “cermin dan sanggama (hubungan suami-istri) sama buruknya karena keduanya melipatgandakan dan menyebarluaskan alam semesta”. That mirrors and copulation are abominable, because they increase the number or men. Tepatnya, mirrors and fatherhood are abominable because they multiply and disseminate that universe.

“Kapitalisme cetak” yang memproduksi surat kabar dan novel di awal-awal, yang memelopori munculnya “kesadaran nasional” itu, dalam konteks Indonesia dengan mengutip Ben di akhir bab ke-2 buku Imagined Communities memungkinkan jumlah orang yang makin lama makin banyak untuk berpikir tentang diri mereka sendiri, dan mengaitkan diri dengan sesamanya, dalam “cara-cara yang luar biasa baru”. Jadi, andai ungkapan Borges dipinjam di sini, terutama ihwal aksi produksinya dengan takaran yang berbeda dan agak sedikit dipiuhkan. Maka nyatalah bahwa “novel dan koran yang dicetak itu sama baik-nya, karena dulu bisa menciptakan nasionalisme (memelopori kelahiran embrio negara-bangsa) dan melipatgandakan sekaligus menyebarluaskan kesadaran nasional”. Apa itu cara-cara yang luar biasa baru? Tentu saja mengaitkan bayangan bangsa dan keindonesiaan melalui imajinasi dari membaca dirinya sendiri secara serentak dengan peranti bahasa. Guna mengonsolindasikan pembayangan akan (kemunculan) bangsa tersebut. Sebuah pengalaman yang belum pernah lahir di tahun-tahun sebelum akhir abad ke 19, sekalipun di era Majapahit untuk konteks Indonesia.

Baik di buku Imagined Communities maupun di buku Di Bawah Tiga Bendera, Ben juga mengulas bagaimana para bapak-bangsa belajar di negeri inangnya: sebagaimana kalau di Indonesia sedikitnya Bung Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Ki Hajar Dewantara ke negeri Belanda, dan Jose Rijal ke negeri Spanyol. Kelak setamat belajar dari negeri penjajah, mereka kembali ke negerinya untuk melawan kolonialisme dengan tujuan dan cara yang, meski tidak sama persis tapi, kira-kira punya kemiripan. Para bapak-bangsa itu tentu di negara rantau banyak bersentuhan dengan berbagai pengalaman dan teori-teori anti-kolonial yang lantas digunakan untuk melawan negeri-negeri penjajah.

Sebagai contoh di Indonesia, di antara yang menarik dari fenomena (perlawanan melalui koran) ini, sebagaimana dicontohkan Ben Anderson (2008: hlm. 177), adalah tulisan Ki Hajar Dewantara yang menulis artikel berbahasa Belanda untuk sebuah koran De Expres (13 Juli 1913) yang berjudul “Als Ik eens Nederlender was (Seandainya saya seorang Belanda)”. Artikel tersebut digunakan untuk menyindir perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penjajahan Prancis. Ini artikel protes Ki Hajar ihwal perayaan kemerdekaan bangsa lain (Belanda) di negeri yang, ironisnya, juga sedang dijajah oleh bangsa Belanda sendiri. Pada kalimat terakhir dari artikel tersebut tertulis “… andaikan saya seorang Belanda, saya tidak akan mengatur perayaan kemerdekaan di sebuah negeri di mana kemerdekaan orang-orangnya telah dirampas.”

 

Folklore

Bagaimana bahasa dapat memengaruhi cita-cita menuju kemunculan bangsa modern, selain melalui apa yang tersembunyi dan tersirat dalam novel, dalam terawang Ben dalam konteks Filipina, juga didapat melalui ilmu folklore. Sebuah ilmu yang saat itu baru (scienza nuova), dipioneri oleh lelaki eksentrik pribumi, Isabelo de los Reyes (1880). Ilmu ini (folklore) oleh Isabelo diuraikan secara cerdas sebagai ilmu el saber populer (kearifan rakyat), yang ternyata baru dicetuskan di Eropa tahun 1846 oleh di antaranya William Thomas, seorang kolektor barang antik dari Inggris (Ben Anderson, 2015: hlm. 17).

Di tengah kemunculan pakar-pakar folklore Spanyol yang semata-mata hanya menjadi kolektor sentimentil atas adat-istiadat dan konsepsi-konsepsi yang hampir punah, yang dikumpulkan untuk museum sejarah. Lalu, muncullah Isabelo, anak muda Filipina, yang usianya lebih tua beberapa tahun dari usia Joze Rizal (bapak negara Filipina). Isabelo menegaskan pandangannya ihwal folklore dan nilai sosial yang terkandung di dalamnya. Bagi Isabelo—mengingat tiadanya berbagai monumen atau prasasti pra-Spanyol, juga tiadanya catatan tertulis—folklore dapat digunakan untuk merekonstruksi masa lampau pribumi (Filipina), yang tidak mustahil dikerjakan oleh bangsa Filipina sendiri (Ben Anderson, 2015: hlm. 21).

Riset serius tentang adat-istiadat, kepercayaan, takhayul, pepatah, kalimat dolanan, jampi-jampi, dan sebagainya, pastilah akan menerangi apa yang disebut Isabelo sebagai: “agama primitif” masa lalu Filipina pra-Spanyol. Namun, di sini, pemuda suku Ilokano tersebut, dengan tajam membedakan dirinya dari sekadar costumbrista—istilah bagi genre sastra abad ke-19 yang khusus merekam kebiasaan dan adat-istiadat—amatiran. Sebab, ia juga menggarisbawahi akan pentingnya komparasi: riset yang ketat, lagi tak begitu saja percaya pada hasil penelitian ilmuwan-ilmuwan Eropa yang bidang-garapnya Filipina (para historiografer Katolik di wilayah koloni mereka). Di situ, Isabelo dengan radikal kemudian sengaja menjarakkan dirinya dari banyak koleganya dari Spanyol Semenanjung. Ia tak ingin ilmu folklore dibatasi sebagai belaka perihal penggalian sentimentil atas “barang antik”. El folk-lore filipino, bagi Isabelo, adalah kajian atas situasi kontemporer, khususnya apa yang ia istilahkan sendiri dengan el saber populer (kearifan lokal) untuk menumbuhkan semangat nasionalisme.

Pengetahuan ini (el saber populer) adalah pengetahuan riil, bukan “adat” yang konotasinya kuno dan jamuran. Isabelo memberi hipotesis, di antaranya, mengenai seorang selvaje (penghuni hutan primitif) di hutan dekat kampung halamannya di Iloko Selatan pada suatu hari. Ia, secara tak sengaja menemukan bahwa buah-buahan lokal tertentu bisa menjadi penangkal basil kolera yang lebih mujarab ketimbang penangkal yang pada saat itu tengah diproduksi oleh ilmuwan medis Spanyol, Dr. Ferran. Pengetahuan masyarakat pribumi tentang tanaman-tanaman obat, flora dan fauna, serta tanah dan perubahan iklim di wilayah mereka, lebih mendalam ketimbang para kolonialis. Dan gudang pengetahuan mahaluas yang tertimbun dalam el saber populer ini belum begitu dikenal dunia (Ben Anderson, 2015: hlm. 21-23).

Oleh karena itu, Filipina tampil bukan semata-mata sebagai kawasan penuh aneka eksotika yang tidak dikenal oleh orang Eropa (liyan) sebagaimana kecenderungan kajian orientalisme, melainkan juga wilayah yang nyata bisa memberi sumbangsih penting buat umat manusia di masa depan. Sumbangsih ini tentu saja berasal dari pengetahuan yang dihayati oleh rakyatnya sendiri dengan bahasa lokal mereka masing-masing, yang bahkan sama sekali tak terbayangkan oleh orang Spanyol. Justru, segi “yang belum diketahui” dari Filipina inilah yang memberi folklore (dengan peranti bahasa cetak sebagai medium pengungkap) ciri khas yang berorientasi ke masa depan, yang tidak didapatkan dalam folklore Spanyol Semenanjung (Ben Anderson, 2015: hlm. 23).

Dari sini kita bisa melihat mengapa Isabelo, membayangkan provinsinya sebagai sebuah “puak” yang besar serta “tanah air tercinta”, sebab dengan cara yang paling konkret “orang-orang buas” penyembah berhala dari pegunungan pun bisa terhubung sebagai saudara sebangsa se-tanah air dengan seseorang yang memenangi penghargaan di Madrid (Isabelo). Di sini, kita bisa menengarai alasan mendasar, sebagaimana ditulis Ben Anderson (2015: hlm. 27-28), mengapa dalam pergulatan proto-nasionalis, Isabelo bisa berpaling pada folklore dan bukan novel atau koran. Meski sama-sama butuh medium bahasa yang dicetak oleh produk modern teknologi dan buah dari kapitalisme yang disebarkan itu.

Akhirnya, dengan bahasa, antara lain, terwujud nasionalisme awal di Asia Tenggara. Nasionalisme itu mula-mula dipelopori oleh gerakan-gerakan skala kecil. Gerakan-gerakan kecil yang dikategorikan sebagai gerakan anarkisme: gerakan bawah tanah (klandestin), milisi-milisi, kelompok-kelompok gerilyawan dan seterusnya, yang diinspirasi oleh berbagai gerakan anarki di belahan dunia (anarkisme global), yang sebelumnya juga diilhami oleh surat kabar dan novel, yang mengakumulasikan simpul-simpul perlawanan menentang dominasi kekuatan-kekuatan imperial Barat dalam berbagai bentuknya. (ard)

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

peri hoki perihoki perihoki pola petir gacor cerita seru gates of olympus x1000 perihoki bongkar waktu paling tepat main baccarat online di perihoki gacor lagi viral pemain pro blackjack bocorin rahasia menang di perihoki fakta paling mencengangkan perihoki teknik main dadu sicbo online perihoki bocoran scatter hitam pg soft mahjong ways 2 paling jitu perihoki petualangan menuju jackpot besar baccarat online perjalanan seru pasang taruhan olahraga mix parlay jitu di perihoki pemain perihoki panen cuan main pgsoft lucky neko gas keun program akademi kartu blackjack cara main pasti menang perihoki perihoki modal receh dapat scatter hitam meledak mahjong wins 3 gacor petulangan seru petir berkah pragmatic play gates of olympus perihoki sensasi jackpot besar di perihoki main baccarat online teknik jitu pasang taruhan bola mix parlay campuran di perihoki bermain blackjack online di perihoki dengan dealer cantik pasti jackot pola sakti perihoki main pg soft mahjong ways 2 jamin maxwin perjalanan seru bermain di perihoki pragmatic play starlight princess dosen kampus menang jackpot main baccarat perihoki rekomendasi situs perihoki taruhan olahraga mix parlay pasti untung rasakan manisnya menang main live dadu sicbo perihoki teknik memanggil scatter hitam mahjong wins 3 di perihoki skripsi jadi cuan mahjongwins 3 buy spin bongkar jackpot rahasia freelance saldo meledak sweetbonanza trik pabrik olympus x5000 abc1131 modal tipis motor baru mahjongways2 pola populer pemula mahjongwins awsbet strategi aman cuan mahjongwins awsbet high frequency mahjongwins maxwin cepat taruhan langka gandakan bonus mahjongwins eksperimen 3x spin awsbet hebohkan pemain waktu gacor mahjongwins3 scatter maxwin mahjongwins3 rp289jt heboh spin 6x mahjongwins3 cepat cuan tips kasir mahjongwins3 anti boncos free spin mahjongways2 hadiah motor trik tipis bandung mahjongways awsbet spin olympus palembang rp280jt lucky tiger 3spin balikpapan ramai 5 langkah bonus 800jt awsbet jackpot makassar 300jt mahjongwins3 Mahasiswa makassar bongkar pola mahjong ways 2 Mahjong ways 2 ladang cuan konsisten Pola scatter meledak kunci kemenangan Scatter dan wild cepat datang tanpa peringatan Spin santai bisa maxwin Tambang emas mahjong ways spin akurat scatter Teori sintaksis scatter mahjong ways 2 Golden neko mode gacor Pola spin mahjong wins Rahasia gacor mahjong ways Skema mix parlay gacor Spin receh auto kaya mahjong ways Strategi baccarat online cuan win streak Strategi baccarat pagi auto cuan Strategi live roulette gacor Strategi scatter hitam mahjong wins Strategi starlight galaxy 85 juta topup qris scatter mahjongways2 santai cuan mahjong abc1131 shio kerbau cuan mahjong abc1131 pola tunggal gacor mahjongways samsudin mahjong bangun panti tukang becak menang mahjong pola kalem scatter mahjongways aktifkan akun mahjongways1 ngopi menang maxwin mahjong scatter terpanjang mahjong awsbet petani menang besar abc1131 peluang cuan mahjongwins3 waktu gacor scatter mahjong koi gate jadi primadona pola statistik mahjongways presisi rumus mahjongwins3 panduan lengkap mahjongwins3 strategi cepat mahjongwins3 main agresif mahjongways2 pola hoki admin awsbet