Dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia sedunia, dilaksanakan Aksi Solidaritas Marginal dan Rentan sebagai bagian dari rangkaian Festival Hak Asasi Manusia yang bertempat di Lapangan Puputan Renon pada (3/12). Aksi tersebut diramaikan oleh berbagai komunitas, LSM dan masyarakat sipil.
Di tengah lalu lalang kegiatan rutin olahraga masyarakat setiap minggu pagi itu, terdengar sorak-sorai suara puluhan orang yang berasal dari berbagai komunitas dan LSM di Bali yang bergabung dalam “Aksi Solidaritas Marginal dan Rentan”. Sejak pukul 07.00 WITA, Lapangan Puputan Renon, Denpasar di Minggu pagi (3/12) mulai didatangi para peserta aksi yang tak hanya datang dari komunitas dan LSM namun juga dari kalangan masyarakat sipil.
Aksi yang diorganisir oleh komunitas dan LSM di Bali ini menjadi rangkaian dari Festival Hak Asasi Manusia (HAM) yang memiliki tujuan mengajak publik untuk ikut bersolidaritas menyuarakan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia. Mengingat kekerasan dan diskriminasi terhadap individu khususnya kelompok marginal dan rentan masih sering terjadi dan belum mendapat penanganan yang semestinya di Bali.

Pulau Dewata yang menjadi sorotan dunia atas gemerlap pariwisata, justru masih menyimpan PR yang harus dituntaskan terkait sistem pencegahan dan perlindungan khususnya untuk kelompok marginal dan rentan. Seperti yang disampaikan oleh Rezky dari LBH Bali, kasus kekerasan seksual masih terjadi khususnya terhadap anak dan perempuan namun tidak dibarengi dengan sistem pencegahan dan perlindungan yang memadai di lingkungan komunitas seperti institusi pendidikan dan tempat kerja.
Dalam orasi oleh salah satu peserta aksi, secara lantang menyuarakan bahwa aksi ini diadakan untuk menyadarkan bahwa Bali sedang tidak baik-baik saja dan bukan untuk mengajak masyarakat Bali melawan pemerintah. “Masih banyak anak-anak yang dieksploitasi, di daerah-daerah Pariwisata Bali yang sampai jam 1 pagi masih berjualan gelang. Apakah masyarakat Bali ada yang peduli?,” serunya di tengah barisan massa aksi yang tegak berdiri membentangkan poster dengan kalimat-kalimat petisi serupa.

Selain itu, kegiatan aksi juga menyorot persoalan pelanggaran HAM atas perampasan tanah yang dialami oleh masyarakat Bali. Dalam orasi, disampaikan bahwa perampasan akan tanah ini tak hanya merampas hak-hak manusia, namun juga merampas hak-hak tumbuhan dan hewan yang hidup berkat tanah dan tangan-tangan manusia yang menjadi pengelolanya. “Dimana Bali yang katanya sejahtera? Tapi tidak peduli tentang warganya sendiri? Alamnya sendiri?” Suaranya semakin keras di tengah lalu-lalang masyarakat di pagi yang semakin terik itu.
Salah satu peserta aksi, Ogut dari komunitas Srikandi, menyampaikan bahwa Ia mengikuti agenda ini karena Ia ingin menyampaikan aspirasinya sebagai seorang lesbian. “Saya ingin mewujudkan di mana diskriminasi tidak ada lagi, kita juga manusia biasa, maka lesbian juga punya hak asasi manusia (yakni) hak untuk hidup, hak atas kenyamanan dan hak untuk berorientasi,” jelas Ogut. Peserta aksi lainnya yakni Elin dari Bali Deaf Community (BDC) menyampaikan bahwa keikutsertaanya pada aksi kali ini juga bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional, sehingga menjadi momentum yang pas untuk menyuarakan pendapat serta berdiskusi dengan teman-teman lainnya.
Elin juga menambahkan, bahwa Ia sangat senang dapat mengikuti aksi ini karena ada Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang sangat membantunya menyampaikan pendapat dan aspirasinya. “Sebelumnya akses untuk JBI sangat kurang, karena masyarakat masih belum sadar dengan penggunaan atau BISINDO, jadi harapannya dengan aksi ini semakin banyak yang mengetahui pentingnya JBI dan BISINDO bagi kami teman tuli,” terang Elin.
Pada aksi solidaritas ini hadir pula El mahasiswa asal Papua dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana yang bergabung dan menceritakan pengalaman kurang menyenangkannya mendapat sentimen diskriminatif yang kerap didapatkannya selama berkuliah dan tinggal di Bali. Ia menekankan, ““ketika mahasiswa Udayana melakukan aksi pun, pasti hal yang dikatakan oleh bapak-bapak polisi adalah ‘Itu bukan orang Bali, orang Bali itu damai’,” jelasnya di tengah barisan massa aksi.
Suasana aksi siang itu pun semakin riuh, ketika El menyampaikan orasinya, Ia pun melanjutkan, “tapi itu bukan suatu alasan ketika kita melihat Bali yang hari ini dengan pariwisatanya yang megah, tapi secara pemikiran, secara fisik, secara mental dan secara kebudayan, orang Bali itu dibunuh,” tutupnya diikuti sorakan massa aksi. Aksi dilanjutkan dengan pembacaan puisi dan nyanyi-nyanyian oleh peserta aksi. Namun di tengah jalannya aksi, aparat keamanan mulai mendatangi peserta aksi. Aparat meminta agar aksi dapat segera diselesaikan, karena aksi dianggap tidak berizin dan rawan disusupi agenda lain.

Aksi tetap dilanjutkan sesuai dengan jam berakhirnya Car Free Day, di sisi lain aparat keamanan hingga kepolisian juga berdatangan untuk mengawasi jalannya aksi. Aksi kemudian diakhiri dengan sesi foto bersama yang dibarengi dengan seruan-seruan oleh para peserta aksi. Selesai foto bersama, Tiwi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali menyebut bahwa aksi ini adalah rangkaian pertama dari Festival HAM Bali. Rangkaian selanjutnya adalah diskusi publik, workshop, pertunjukan musik dan seni yang akan dilaksanakan pada tanggal 10 Desember mendatang untuk memeriahkan penyuaraan aspirasi atas permasalahan HAM yang terjadi di Bali.
Penulis : Ika, Elisia
Penyunting : Wid