Keapatisan terhadap jalannya proses pemilu raya mahasiswa memang bukan hal baru lagi, sebab urusan politik dan pemerintahan kampus tak melulu penting bagi sebagian mahasiswa, sedangkan bagi sebagian lainnya bisa jadi merupakan ajang yang seksi, tidak kalah panas dari pemilu di tingkat nasional. Seyogyanya setiap elemen mahasiswa tak boleh sampai menjadi “alergi” politik kampus. Supaya kelak siapapun yang berada di pucuk pimpinan, tidak hanya mewakili suara golongan, apalagi suara mereka yang hanya ikut-ikutan.
Dalam hitungan waktu, Udayana akan menyambut pesta demokrasi mahasiswa. Persiapan panjang dari rangkaian Pemira yang dinahkodai oleh Komisi Pemilu Raya Mahasiswa (KPRM) ini merupakan momentum yang krusial bagi seluruh mahasiswa untuk bersikap asertif, dalam konteks melihat bagaimana calon-calon pemimpin tersebut berkontestasi memperebutkan pucuk pimpinan tertinggi dari Pemerintahan Mahasiswa di Universitas Udayana. Namun, pesta demokrasi mahasiswa tidak hanya sekadar euforia semata mengenai siapa yang akan duduk di kursi kepemimpinan selanjutnya. Melainkan bagaimana setiap calon mampu untuk menyampaikan tiap butir gagasannya ke akar rumput melalui visi misi yang telah diramu sebelumnya, dengan tujuan melaksanakan marwah dari amanat serta tanggung jawab yang akan diemban setahun kedepan.
Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, perhelatan Pemira di Udayana kali ini juga tidak terlepas dari dinamika dalam pelaksanaannya. Pemira tahun ini dapat dikatakan memperoleh atensi yang beragam, sebut saja terkait dengan lambatnya penetapan jadwal pemira hingga penetapan DKPP yang molor, adanya kampanye hitam ditambah ketidakefektifan penggunaan waktu kampanye oleh paslon. Belum lagi, masalah menahun Pemira, yakni kurangnya minat dan antusiasme sebagian mahasiswa terkait dengan pemilihan pemimpin baru, padahal calon yang terpilih inilah yang nantinya akan menahkodai arah dan tujuan dari pemerintahan kampus sekaligus menunaikan tanggung jawabnya terhadap seluruh lapisan mahasiswa Udayana.
Pemira tahun ini mengusung dua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa yang masih melaksanakan rangkaian kampanye, sehingga buntut panjangnya ialah kini rangkaian pesta demokrasi mahasiswa telah sampai kepada momentum puncak beradunya penyampaian gagasan dan kritik, yang secara khusus diberikan ruangnya melalui Uji Publik. Ruang Uji Publik menjadi sebuah arena pertunjukan saling melemparkan kritik dan gagasan, dengan tujuan untuk mengukur sejauh mana tingkat pengetahuan dan kesiapan dari kedua pasangan calon. Namun yang kini menimbulkan pertanyaan, apakah gagasan tersebut telah sampai hingga ke akar rumput? Tulisan ini bermaksud untuk mengkritisi bersama terkait bagaimana semestinya Pemira diramu dengan prinsip demokrasi yang sehat.
Masa Kampanye yang terlaksana sejak 5 November – 5 Desember menjadi momentum tepat bagi dua Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa yang sedang berkontestasi untuk unjuk gigi. Dengan mendeklarasikan akun instagram masing-masing, kedua calon seolah mantap untuk melenggang di muka publik membawa segudang gagasan, yang semestinya sudah siap diuji dan dikritik. Mengingat kampus merupakan laboratorium peradaban, maka sudah sepantasnya marwah kampus adalah tempat untuk beradu dan bertemunya berbagai macam gagasan. Tak ayal, politik yang terjadi di kampus disebut dengan politik gagasan.
Dalam rangkaian PEMIRA, Komisi Pemilu Raya Mahasiswa telah menyelenggarakan Uji Publik dari Calon Presiden dan Wakil Presiden BEM PM. Adapun Uji Publik Tahap 1 diselenggarakan tanggal 19 November, merupakan uji publik yang dikhususkan untuk kandidat calon Presma BEM PM Unud, sedangkan Uji Publik Tahap 2 diselenggarakan tanggal 26 November untuk kandidat calon Wapresma BEM PM Unud. Uji publik ini merupakan ruang inklusif untuk mempertemukan para calon pemimpi(n) Udayana dengan para mahasiswa, yang sejatinya kedaulatan penuh untuk memilih ada di tangan para mahasiswa ini. Namun sayangnya, Uji Publik tahap 1 kemarin tak begitu memperoleh atensi mahasiswa, kendati pihak KPRM selaku penyelenggara juga telah menawarkan e-sertifikat.
Keapatisan terhadap jalannya proses pemilu raya mahasiswa memang bukan barang baru lagi, sebab urusan politik dan pemerintahan kampus tak melulu penting bagi sebagian mahasiswa, sedangkan bagi sebagian lainnya bisa jadi merupakan ajang yang seksi, tak kalah panas dari pemilu di tingkat nasional.
Sikap apatis terhadap pelaksanaan pesta demokrasi di Kampus ibarat hidangan pelengkap yang selalu tersaji hangat setiap tahunnya. Polemik ini selalu menjadi masalah yang kerap terjadi berulang kali, bahkan mungkin menjadi sebuah kebiasaan. Acapkali mahasiswa memiliki beragam alasan untuk tidak ikut terlibat dalam pesta demokrasi di tingkat universitas. Beberapa alasan itu di antaranya, tidak adanya minat untuk mengikuti rangkaian Pemira BEM PM sehingga merasa tidak relevan dengan pelaksanaan rangkaian tersebut, kurang progresifnya pelaksanaan kampanye di setiap fakultas sehingga tidak mampu menyentuh sampai ke akar rumput, dan tentunya masalah preferensi mahasiswa yang mementingkan akademik ketimbang lika-liku dinamika politik kampus. Selain itu, terdapat sebuah pola yang mudah ditebak dalam pemilihan Calon, yakni “mereka” biasanya yang diusung adalah orang-orang yang pernah menjadi ketua panitia program kerja BEM PM, sehingga kontestasi ini terasa sudah tertebak dan menyebabkan mahasiswa memiliki kecenderungan untuk memilih pemimpin dengan elektabilitas yang lebih populer, yakni mereka yang terbiasa wara-wiri di atas panggung.
Berdasarkan hasil Survey Elektabilitas yang dilakukan oleh Tim Riset dan Survei dari Divisi Litbang Pers Mahasiswa Akademika, hasil survei popularitas pasangan calon menunjukkan bahwa opsi “tidak setuju” adalah opsi terbanyak yang dipilih responden, sehingga faktanya mahasiswa tidak terlalu memandang popularitas calon. Namun, melihat jumlah opsi “setuju” dan “ragu-ragu” yang tidak berselisih jauh dari opsi “tidak setuju”, menunjukkan bahwa popularitas pasangan calon tetap menjadi faktor yang berpengaruh terhadap suara pemilih.
Kembali lagi terkait pembahasan mengenai Uji Publik. Kendati atensi tak begitu besar, bukan berarti uji publik kemarin terlepas dari kritik dan masukan. Pada uji gagasan tahap 1 kemarin, para calon presiden BEM PM belum banyak melakukan elaborasi secara konkret terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh panelis dengan visi misi kedua paslon. Bahkan, saat itu kedua calon belum menunjukkan visi misi yang akan dibawakan. Hal ini sempat menarik perhatian salah satu panelis untuk bertanya kepada kedua paslon. Mengingat masa kampanye yang telah dilakukan sejak tanggal 5 November, namun kedua paslon belum juga mempublikasikan visi misi yang dimilikinya. Baru setelah Uji Gagasan 1, di tanggal 19 November, paslon 1 melalui akun instagramnya mengumumkan visi misi yang akan dibawanya, menyusul 4 hari kemudian yakni pada tanggal 23 November, paslon kedua mempublikasikan visi misinya. Pola yang terjadi cukup menarik, mengingat jarak antara masa kampanye awal dan publikasi visi misi terlampau jauh, lamban. Keduanya seolah saling menunggu, untuk melihat senjata pamungkas masing-masing lawan.
Setelahnya, langkah “manuver” dimulai masing-masing paslon. Paslon 1 dalam jejaring instagramnya tanggal 25 November, mulai memperkenalkan kementerian yang akan dihadirkan dalam kabinetnya sedangkan Paslon 2 melakukan publikasi tanggal 26 November mengenai fokus isu yang akan dibawa selama setahun kedepan. Namun, apakah dalam jejalan rencana dan wacana tersebut telah sampai ke akar rumput? Atau hanya berhenti lewat sosial media instagram? Apabila menggunakan indikator hasil survey elektabilitas pemira BEM PM tahun 2023 yang dilakukan oleh Tim Riset dan Survei dari Divisi Litbang Pers Mahasiswa Akademika, didapatkan bahwa sekitar 52% responden masih belum menentukan pilihannya terkait dengan pemilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa, bahkan celakanya, ada yang tidak mengetahui Pemira sedang berjalan.
Sedangkan baru saja kemarin, tanggal 5 Desember, KPRM juga melaksanakan rangkaian Seminar dan Talkshow Kepemiluan yang dilanjutkan dengan rangkaian acara debat pasangan calon. Acara seminar dan talkshow yang dihadiri oleh beberapa pembicara ternama tersebut cukup menarik atensi dari mahasiswa untuk menonton. Namun memasuki sesi perdebatan, mahasiswa mulai meninggalkan acara, tribun lantai 2 yang mulanya terisi mulai kosong. Padahal, acara perdebatan kemarin menjadi babak pamungkas untuk menguji gagasan-gagasan mereka yang nantinya akan mengurusi segala persoalan mahasiswa.
Kita Harus Lakukan Intervensi
Mencermati kedua visi misi pasangan calon, esensi yang ditawarkan nyaris serupa. Yang mana, misi yang dijalankan kedua belah pihak menekankan pada pengabdian, kolaborasi seluruh elemen mahasiswa, pengembangan minat bakat mahasiswa , kemudahan akses pelayanan birokasi. Dengan narasi serupa, nyaris tak terlihat gagasan yang menjadi penyegar dan pembeda. Boleh jadi, para peserta akan kesulitan menentukan pilihan, bukan karena kedua gagasan yang ditawarkan sama ber-bobotnya, tetapi karena serupa esensinya. Di sinilah penting untuk membawa pesta demokrasi menemukan ‘euforianya’, kala seluruh elemen mau mengantarkan demokrasi menuju puncak ideal. Di titik ini, perdebatan yang terjadi semestinya bukan lagi persoalan tuduhan buzzer, kampanye hitam, akan tetapi gagasan siapa yang paling bernas; yang paling dibutuhkan mahasiswa dan Udayana.
Setiap elemen mahasiswa tak boleh sampai menjadi “alergi’ politik kampus. Sehingga perlu dibangun kesadaran politik di tengah mahasiswa. Jika hari ini kata cawe-cawe menjadi kontroversial dalam konteks politik kenegaraan, tetapi di dalam politik kampus cawe-cawe seluruh elemen mahasiswa adalah hal vital agar demokrasi tetap berjalan pada relnya, tentu dengan senantiasa berpegang pada asas luber jurdil dan prinsip demokrasi, yakni dari, oleh dan untuk mahasiswa. Supaya kelak siapapun yang berada di pucuk pimpinan, tidak hanya mewakili suara golongan, apalagi suara mereka yang hanya ikut-ikutan.
Penulis : May dan Day
Penyunting : wid