
Sinar terik matahari masih setia merekah sore itu kala kami memijakkan kaki di Ubung, Denpasar Utara pukul 16.00 WITA. Seorang wanita berkaos hitam dengan tulisan “Helping People Help Animals in Bali” menengok dari balik gerbang berwarna hijau, mempersilahkan kami masuk ke Kantor Yayasan Seva Bhuana. Gonggongan Cokelat, sang penjaga teritori juga turut menyambut kedatangan kami.
Seva Bhuana, yakni sebuah yayasan nirlaba yang berdiri di tahun 2016. Yayasan ini memiliki fokus utama dalam sterilisasi/kastrasi anjing dan kucing liar lokal Bali serta edukasi terkait kesejahteraan hewan. Sebelum berbentuk yayasan, Seva Bhuana mulanya merupakan sebuah komunitas pecinta hewan bernama Animal Shanti yang aktif berkegiatan sejak tahun 2012. Guna meningkatkan kesadaran masyarakat perihal lingkungan dan kesejahteraan hewan, Seva Bhuana menggandeng seluruh lapisan masyarakat, pemerintah daerah, universitas, dan instansi lainnya dalam kolaborasi pengadaan seminar, movie screening, sterilisasi/kastrasi, hingga street feeding.
Tatkala profesi bidang pariwisata dan digital masih digandrungi oleh sebagian besar anak muda di Bali, Agra Utari justru memantapkan hati dan daksanya dalam jalan panjang pengabdian kepada lingkungan. Tak banyak orang yang mau dan terketuk sanubarinya untuk “menggerakkan” kesadaran orang lain; mengedukasi masyarakat sudah barang tentu sebuah pekerjaan rumah yang amat sulit. Kecintaan dan kepeduliannya yang amat besar senantiasa menuntun langkah Agra selama menjadi Koordinator Edukasi di Yayasan Seva Bhuana.

“Saya bersama Seva Bhuana ingin melengkapi mata rantai kesejahteraan hewan di Bali. Sudah banyak yang melakukan rescue, rehab, rehome, tetapi kontrol populasi dan edukasi rutin itu belum ada.
Mungkin karena memang kontrol populasi itu memerlukan biaya yang tidak sedikit, edukasi juga tidak banyak yang melakukan secara sistematis karena efek yang ditimbulkan tidak instan tetapi kami percaya jika semua sudah melakukan bagiannya masing-masing, kesadaran masyarakat Bali tentang kesejahteraan hewan pasti bisa makin baik,” pungkas Agra ketika diwawancarai Rabu (12/04/2023).
Pulau Dewata dengan Polemik Perdagangan Daging Anjing
Polemik perdagangan dan konsumsi daging anjing sudah bukan hal baru lagi. Persoalan ini telah menuai beragam respons penolakan dari komunitas nasional dan internasional, khususnya pemerhati hewan. Seyogianya, anjing bukanlah binatang ternak yang diperuntukkan bagi keperluan konsumsi, melainkan merupakan salah satu jenis hewan kesayangan, pemburu, dan hewan penjaga. Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Prof. Dr. Drh. I Wayan Suardana, M.Si mengungkapkan bahwa mengonsumsi daging anjing bukan suatu hal yang lazim dan tidak diperbolehkan.
Pengolahan anjing untuk kepentingan komersial (konsumsi) yang dilakukan tanpa memperdulikan aspek teknis kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan tentunya berpotensi menularkan penyakit zoonosis (penyakit asal hewan yang dapat menyebar ke manusia -red) seperti rabies, salmonella, ringworm, cacingan, dan transmisi penyakit lainnya (Wahyudi et.al., 2020). Dampak tersebut tentu rentan dirasakan oleh orang yang terlibat didalamnya yaitu, pedagang, penjagal, vendor, dan konsumen.

Berkenaan dengan perdagangan daging anjing yang berkorelasi erat dengan momok penyakit rabies yang mendera Bali sejak tahun 2008, A.A Istri Inten Wiradewi, Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali yang dilansir dari Detik Bali, menyatakan bahwa kasus rabies pada tahun 2022 tercatat sebanyak 690 kasus. Angka tersebut mendulang rekor tertinggi di Bali yang mana sepanjang tahun 2008-2022 telah tercatat akumulasi 3.098 jumlah kasus rabies di Bali.

Selain itu, menurut data World Organisation for Animal Health (OIE), dalam setiap 15 menit manusia di dunia meninggal akibat rabies. Isu ini tak seharusnya dipandang sebelah mata, pasalnya populasi anjing di Bali pada tahun 2022 diestimasikan mencapai 619.846 ekor, sedangkan jumlah vaksinasi antirabies (VAR) hanya mencapai 78.000 atau 12,58% saja.
Di samping ancaman berlapis bagi kesehatan masyarakat akibat over populasi dan belum meratanya vaksinasi, perdagangan daging anjing merupakan tindakan yang melanggar hukum dan bertentangan dengan Animal Welfare atau kesejahteraan hewan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009, Undang Undang Nomor 18 tahun 2009, dan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Kesejahteraan hewan memiliki tiga aspek penting, yaitu: science atau mengukur efek pada hewan dalam situasi dan lingkungan yang berbeda dari sudut pandang hewan; etika terkait cara memperlakukan hewan; dan hukum mengenai bagaimana manusia harus memperlakukan hewan. Hal ini selinier dengan konsep Five Freedom of Animal Welfare yang terdiri atas bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, bebas dari rasa takut, serta bebas untuk mengekspresikan tingkah-laku alamiah.
Melalui investigasi nasional yang telah dilakukan oleh Dog Meat Free Indonesia, ditemukan bahwa penjualan daging sarat akan kekejaman dan kebrutalan yang dilakukan pada saat penangkapan, distribusi, dan penjagalan daging anjing. Anjing konsumsi berasal dari hewan peliharaan yang dicuri dan sebagiannya dipungut dari jalanan. Tangan-tangan kotor pedagang dengan lihai memasukkan anjing ke dalam kandang maupun karung yang sempit, dibawa dalam perjalanan jauh menggunakan transportasi yang penuh sesak untuk dikirim ke rumah jagal. Bahkan sering terjadi kematian anjing dalam perjalanan akibat lemas, dehidrasi, maupun heatstroke. Bagi mereka yang selamat, tinggal menunggu antrian tuk dijagal dengan cara yang tak mengindahkan Animal Welfare.
Kendatipun bahaya pada aspek kesehatan begitu nyata, tetapi upaya yang dilakukan untuk menghentikan perdagangan daging anjing bukanlah hal yang mudah karena menyangkut dimensi sosial, ekonomi, dan budaya dari suatu masyarakat. Agra pun juga menerangkan bahwa ada beberapa alasan orang mengonsumsi daging anjing, yakni antara lain: kepercayaan sebagai obat atau menyembuhkan penyakit tertentu; festive dish atau makanan perayaan; serta dikonsumsi sebagai daging alternatif untuk masyarakat yang tidak mampu membeli daging hewan ternak.
“Kami, Seva Bhuana ketika edukasi dan sterilisasi ke beberapa desa di Bali banyak juga yang masih bercanda, ‘buat apa divaksin, toh nanti bakal dipotong dijadikan sate,’ kayak gitu. Kalau di penjual itu, rentang harganya Rp10.000-20.000, kalau sate dapat 5 tusuk biasanya, sama nasi,” tambah Agra sembari terkekeh saat ditanya kisaran harga daging anjing yang pernah ditemuinya.
Sebelum tahun 2017 dan dikeluarkannya surat edaran gubernur, perdagangan daging anjing masih marak di Bali dan para pedagang pun masih berani terang-terangan memasang plang warung RW (daging anjing). Lalu, pada tahun 2018 sebanyak 44 warung ditutup serentak dan sisanya sejumlah 33 warung masih membangkang. Warung yang masih beroperasi tersebut tersebar di 5 daerah di Bali, yakni Badung (7 warung), Karangasem (5 warung), Denpasar (6 warung), Jembrana (6 warung), dan Buleleng (9 warung).
Berkaitan dengan budaya, mengonsumsi daging anjing sebetulnya bukanlah bagian dari budaya atau tradisi masyarakat Hindu Bali. Terdapat lontar Dharma Pamulih Buron yang berisikan cara memuliakan dan mengembalikan hewan mencapai alamnya, mereka juga layak untuk didoakan saat masih hidup hingga mati. Pemotongan anjing di Bali pun biasanya hanya digunakan untuk keperluan sebagai sarana banten caru (kurban suci) dalam upakara keagamaan, yakni asu bang bungkem (anjing dengan badan berwarna merah dan moncong berwarna hitam), setelah selesai pun anjing tersebut tidak dikonsumsi.
Selain itu, umat Hindu Bali juga mengenal hari suci bernama Tumpek Uye atau Tumpek Kandang yang jatuh setiap 210 hari sekali pada Sabtu (Saniscara) Kliwon wuku Uye. Tumpek Kandang sendiri merupakan perwujudan rasa syukur dan terima kasih kepada hewan yang telah memberikan penghidupan serta kemudahan dalam berbagai aktivitas manusia.
Mengutip artikel dalam situs Sekretariat Daerah Pemerintah Badung (2018), dua mahasiswa pascasarjana Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Drh. Maria dan Drh. Ni Putu Vidia melakukan penelitian terkait perdagangan daging anjing yang mengambil sampel di Badung, Gianyar, Tabanan, dan Denpasar. Dari total 28 responden penjual daging anjing, 64% percaya bahwa mengonsumsi daging anjing bukanlah bagian dari budaya Bali. Adapun 35% responden merupakan pedagang beragama Hindu, sedangkan 65% sisanya beragama Kristen yang sebagian besar berasal dari Indonesia bagian timur.
Mayoritas pedagang mempercayai bahwa mengonsumsi daging anjing dapat menyembuhkan penyakit, walaupun tidak ada dasar medis yang mendukungnya. Selain itu, 64,2% responden tidak mengetahui tentang peraturan yang berkaitan dengan pelarangan perdagangan daging anjing dan pelanggaran terhadap kesejahteraan hewan. Hal inilah yang kemudian menjadi PR besar bagi seluruh lapisan terkait untuk terus menggencarkan tindak pencegahan dan penanggulangan guna meningkatkan kesadaran masyarakat terkait kesejahteraan hewan.
Aksi Kolektif Dalam Penumbuhan Kesadaran
Tak ada pekerjaan yang tidak sukar, segalanya memiliki risiko dan mengharuskan kita cukup gigih dalam menghadapi tiap batu sandungan yang menjegal tiap langkah. Pun, semua orang begitu getolnya bekerja keras untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk ditinggali semua makhluk hidup di dalamnya. Kendatipun harus terseok-seok dan diserang letih, tim Seva Bhuana tetap memilih jalan panjang yang berliku; pencerdasan masyarakat melalui edukasi kesejahteraan hewan.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Seva Bhuana dalam menekan jumlah penularan rabies dan overpopulasi. “Kami rutin mengadakan sosialisasi ke masyarakat agar masyarakat paham bahwa mengonsumsi daging anjing tidaklah baik bagi kesehatan dan jual beli daging anjing pun merupakan tindakan melanggar kesejahteraan hewan,” tukas Agra.
Rupanya, persoalan ini pun turut menuai perhatian pemerintah. Berkat input dari berbagai pihak seperti organisasi Animals Australia, komunitas pencinta hewan, instansi kesehatan, akademisi, dan para ahli, Pemerintah Provinsi Bali pun mengeluarkan Instruksi Gubernur Bali Nomor 524/5913/DISNAKKESWAN/2019 tentang Pelarangan Peredaran dan Perdagangan Daging Anjing.
Berbagai pihak lantas mulai bersinergi dalam mendukung upaya tersebut, termasuk akademisi dan sejumlah instansi di Bali. “Kami Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana mendukung upaya dalam meminimalisir kasus rabies di Bali, salah satunya melaksanakan sebuah program pembebasan rabies di Kuta Selatan yang bekerja sama dengan Animals Australia. Saat ini juga sudah ada Tim Taspos yang terdiri dari Dinas Pertanian Provinsi/Kabupaten Kota, Satpol PP, Polda, Babinsa, serta aparat desa dengan tujuan memantau dan mengedukasi masyarakat terkait larangan mengonsumsi daging anjing,” jelas Prof. Suardana. Lebih lanjut, ia mengungkapkan setelah dikeluarkannya instruksi tersebut dan adanya bantuan dari berbagai pihak, penjual daging anjing di Bali bisa ditutup sejumlah 75 dari total 79 warung RW pada tahun 2019.
Di samping itu, kesejahteraan hewan merupakan tanggung jawab bersama, tidak eksklusif hanya untuk salah satu pihak saja. Agra pun melontarkan harapannya bagi para pemuda terkait kontribusi kepada lingkungan. Baginya, mahasiswa juga memiliki peran untuk berkontribusi dalam menghentikan itu, karena tingkat paparan sangat tinggi terhadap informasi dan isu.

Sumber: (Dokumentasi BEM FKH Unud)
Mahasiswa patut didorong untuk lebih sadar terhadap isu-isu di masyarakat guna mengaplikasikan perannya sebagai agen perubahan dan kontrol sosial.
“Kalau kita lihat anjing lokal, terutama anjing Kintamani yang sudah diakui dunia, berbanggalah kita dengan cara melindungi mereka. Kita memang tidak bisa memaksa semua orang untuk mencintai hewan, tetapi selalu ada pilihan untuk tidak menyakiti. Tri Hita Karana yang selalu kita gencarkan, membentuk harmonisasi dengan lingkungan, sesama manusia, dan tanggung jawab kepada Sang Pencipta, jangan sampai itu tidak diimplementasikan. Kami selalu menekankan, lingkungan yang sehat itu selalu dicirikan dengan hewannya yang sehat,” tutup wanita inspiratif lulusan Universitas Pendidikan Ganesha tersebut.
Menumbuhkan kesadaran memanglah hal yang sukar karena berkenaan dengan kondisi sosial-budaya yang melekat pada karakter seseorang. Bak membabat hutan, mengubah perilaku seseorang menghabiskan begitu banyak tenaga, waktu, dan kesabaran; tidak instan dalam memperlihatkan hasil namun bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan. Melalui edukasi, sedikit tidaknya muncul pemahaman dari masyarakat bahwa hewan pun dapat merasakan sakit, takut dan terluka, sama seperti manusia. Apa yang kita tanamkan hari ini merupakan langkah kecil untuk menuju perubahan yang besar; perubahan dari dalam guna melanggengkan hidup berkesadaran dalam menjejaki jalan panjang yang berkelanjutan.