Disabilitas Mental, Stigma, dan Pemilu Minim Sosialisasi

Siswa Sekolah Luar Biasa Negeri 3 Denpasar dengan disabilitas intelektual dan disabilitas mental sedang bermain di lobi sekolah, 9 Mei 2023 lalu. Persma Akademika/Komang Yuko

Spanduk calon anggota legislatif yang bertebaran di Jalan Tukad Batanghari, Denpasar, Bali membuat Luh Putu Yuniari Eka Savitri, siswi dengan disabilitas intelektual terusik. Sepanjang jalan, dia bertanya kepada  ibundanya, Ni Luh Putu Sariani tentang spanduk itu. “Kenapa banyak spanduk orang,” kata Luh Putu Yuniari pada awal April 2023.

Yuni, sapaan akrab Luh Putu Yuniari saat itu sedang diajak ibundanya keliling berjualan obat herbal sepulang sekolah. Kepada Yuni, Ni Luh Putu menjelaskan foto-foto spanduk itu merupakan calon anggota legislatif pemilihan umum dan cara mencoblos.

Ingatan Yuni tentang spanduk caleg rupanya masih melekat. Lima tahun yang lalu, di jalanan Kota Denpasar, Yuni bertanya tentang foto-foto bos ayahandanya, I Gede Suarsana yang nampang di spanduk.

Kini, Yuni berusia 18 tahun. Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penyusunan Daftar Pemilih dalam Penyelenggaraan Pemilu dan Sistem Informasi Data Pemilih, usia Yuni telah memenuhi syarat sebagai pemilih. Sari, ibunda Yuni biasa dipanggil terlihat antusias menyambut pesta demokrasi 14 Februari 2024 mendatang.

Sejak Februari 2022, Sari, 43, gencar mengurus kepemilikan KTP elektronik untuk Yuni di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Singaraja. “Ngurusnya tidak begitu sulit. Tapi, saat itu blangko e-KTP habis sehingga harus menunggu,” ungkap Sari ditemui di Sekolah Luar Biasa Negeri 3 Denpasar, Selasa, 9 Mei 2023.

Lengkap sudah persyaratan yang dimiliki Yuni, yang kini berstatus sebagai pemilih dengan kategori pemilih pemula. Daerah pemilihan Sari sekeluarga berada di kediaman asli mereka, yakni Singaraja. Meskipun kondisi sang buah hati kesulitan memahami hak pilih yang dimilikinya, tetapi Sari yakin Yuni akan mengerti perlahan-lahan.

 

Yuni menghampiri sang ibu (Sari) selepas ujian sekolah. Sari mengarahkan Yuni berpose mengacungkan ibu jari di lobi SLBN 3 Denpasar, 9 Mei 2023. Persma Akademika/Komang Yuko

Sari aktif memberikan informasi kepada Gede Diarsa, Kepala Desa Tejakula agar Yuni terdata dalam daftar pemilih. Dia juga menemui kepala dusun agar Yuni mendapatkan pendampingan saat memilih.

Yuni termasuk dalam kategori disabilitas grahita ringan, khususnya hiperaktif. Kondisi itu mempengaruhi daya tangkap Yuni terhadap pembelajaran di kelas. “Setelah umur 3 tahun terdiagnosa hiperaktif.  Kecerdasan intelektual Yuni di bawah rata-rata saat menjalani tes di bangku taman kanak-kanan,” ujar Sari.

Setelah didiagnosa hiperaktif dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata, Yuni menjalani pendidikan di SLB pada umur 7 tahun. Tak mudah bagi Sari untuk merawat buah hatinya.

Bagi Sari, kondisi anaknya bukan halangan untuk menunaikan hak pilih. Dia berharap petugas Komisi Pemilihan Umum aktif menyosialisasikan hak pilih disabilitas di sekolah.

Harapan yang sama juga disampaikan Wahyuni, 42, orang tua Suta, siswa dengan disabilitas mental. Seperti Sari, Wahyuni menyatakan Disdukcapil memberikan kemudahan kepada Wahyuni untuk mengurus KTP elektronik Suta yang tahun ini berusia 17 tahun.

Suta, siswa kelas 11 SLBN 1 Denpasar merupakan anak sulung Wahyuni yang terdiagnosa hiperaktif. Berbeda dengan Yuni, Suta memiliki kemampuan intelktual di atas rata-rata atau termasuk kategori disabilitas mental.

Masalahnya, Wahyuni menyebutkan belum mengetahui secara rinci hak pilih yang dimiliki sang buah hati dalam pemilu. Petugas KPU hingga kini belum ada yang sosialisasi di sekolah. Petugas juga belum melakukan pendataan daftar pemilih.

Mengisi waktu menunggu jemputan, para siswi berkeliling sekolah dan seorang ibu menjemput anaknya di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Denpasar. Sementara foto sebelah kanan masih di SLB yang sama, seorang ibu dan anak perempuannya menuju pulang ke rumah, 16 Mei 2023. Persma Akademika/Komang Yuko.

Dia berharap Suta dapat berpartisipasi sebagai pemilih pada pemilu 2024 mendatang. “Saya berharap Suta bisa gunakan hak pilih supaya dia tahu dan terbiasa karena anak seperti Suta dan teman-temannya harus dibiasakan. Agar mereka mengerti dan tidak merasa disisihkan,” tutur Wahyuni.

Agus Diana Putra, 33, guru SLBN 1 Denpasar menyatakan KPU belum sosialisasi hak pilih siswa dengan disabilitas intelektual dan mental yang memenuhi persyaratan menjadi pemilih.

Kepala Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Kota Denpasar, Sibro Mulissyi mengatakan lembaganya telah mengupayakan prinsip pemilu inklusif. Untuk pemilih pemula dengan disabilitas intelektual, menurut dia bergantung pada keterbukaan pihak keluarga selama proses pendataan pemilih. “Saat turun ke rumah rumah mendata, belum tentu orang tua mau melaporkan anaknya yang penuhi syarat sebagai pemilih. Kami juga tidak bisa memaksa karena ini bukan sesuatu yang wajib, melainkan  hak,” kata dia.

KPU Denpasar telah bekerja sama dengan organisasi disabilitas. Untuk SLB masih seputar siswa dengan disabilitas fisik maupun sensorik. KPU Denpasar mencatat pemilih dengan disabilitas intelektual berjumlah 42 orang dan disabilitas mental sebanyak 311 orang. Petugas KPU juga mendata para pemilih dengan disabilitas melalui Petugas Pemutakhiran Data Pemilih banjar-banjar di desa adat.

Khusus untuk pemilih pemula dengan disabilitas intelektual, KPU Denpasar baru menjajal simulasi pemilu di SLBN 3 Denpasar pada 27 Januari 2023. Kegiatan itupun terlaksana setelah KPU Denpasar menerima tawaran kerjasama media jurnalis warga Balebengong.

Ni Ketut Adi Parwati, guru bimbingan konseling dan pendamping SLBN 3 Denpasar mengungkapkan sosialisasi dan simulasi pemilu belum pernah diadakan sebelumnya. Kegiatan tersebut merupakan hal baru bagi para siswa dan guru pendamping SLBN 3 Denpasar.

Kepemilikan KTP sebagai syarat pemilih dalam pemilu turut menjadi topik sosialiasi. Sekaligus menguak tabir baru bahwa hanya dua siswa yang baru memiliki KTP dari 20 siswa yang menjadi peserta sosialisasi dan simulasi. Padahal, beberapa diantaranya telah berusia 17 tahun bahkan lebih. “Tentang kepemilikan KTP sebagian kemarin banyak yang belum punya, terus terang sebelum ada sosialiasi Balebengong itu kita benar-benar tidak tahu,” ungkap Parwati.

Media jurnalisme warga Balebengong mengajak KPU Kota Denpasar bekerja sama memberikan sosialisasi dan simulasi pemilu bagi pemilih pemula disabilitas intelektual di SLBN 3 Denpasar, 27 Januari 2023 lalu. Persma Akademika/Komang Yuko

Berdasarkan kacamata psikolog klinis terhadap pemilu bagi pemilih disabilitas intelektual maupun mental, Ida Ayu Pratitha Sudiawan menjelaskan saat memilih dan melihat foto dalam surat suara yang banyak, pemilih dengan disabilitas intelektual maupun mental mengalami kendala terhadap keputusannya sendiri. “Jika orang tua, keluarga, dan orang-orang sekitarnya membicarakan calon tersebut, maka dia akan memilih calon tersebut. Mereka sulit berkonsentrasi dan mengambil keputusan,” kata dia.

Perempuan dengan sapaan Titha ini mengusulkan pemilih pemula dengan disabilitas intelektual dan mental mendapatkan pelatihan secara khusus berupa simulasi pemilu di tempat pemungutan suara. “Kenapa milih calon itu dan apa landasannya. Kalau mereka bisa menjelaskan berarti tidak bermasalah, tapi kalau tidak bisa artinya mereka memilih dari pilihan orang lain,” kata Titha.

Ketua Pusat Informasi dan Kegiatan Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (PIK POTADS) Bali, Amelia Priscilla Munisa Fernando Siandana menyebutkan isu pemilu, khususnya bagi pemilih pemula dengan disabilitas intelektual dan mental belum menjadi topik bahasan khusus dalam komunitasnya. Dampaknya remaja dengan disabilitas intelektual down syndrome belum banyak memahami pemilu. “Saya belum dapat informasi di sekolah mereka ada edukasi tentang pemilu atau tidak,” kata Amelia.

Ketua PIK POTADS yang telah menjabat sejak tahun 2021 itu menyebutkan komunitasnya lebih fokus pada sisi penguatan keluarga dan jejaring solidaritas dari sisi penguatan psikologis. Perkumpulan orang tua dengan anak down syndrome di Bali bermula dari bertemunya para ibu di tempat terapi anak mereka.

PIK Potads Bali yang kini berjumlah 128 anggota, yang tergabung dalam grup whatsapp saling menguatkan. Amelia berharap KPU bekerja sama dengan setiap SLB untuk memberikan edukasi atau pemahaman tentang pemilu agar orang dengan disabilitas intelektual bisa menggunakan haknya.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Khoirunnisa Nur Agustyati menyebutkan perlu advokasi lebih untuk orang dengan disabilitas intelektual maupun mental karena stigma terhadap mereka masih kuat untuk memastikan pemilu berjalan secara inklusif. “Disabilitas mental maupun intelektual diasosiasikan sebagai orang gila yang tidak mampu untuk memilih. Ini cara pandang yang keliru,” kata Ninis.

Menurut dia, penyelenggaraan pemilu di Indonesia masih berputar pada tahapan prosedural, bukan substansi. Perempuan yang kerap disapa Ninis itu menjelaskan pemilu seharusnya inklusif dengan tidak boleh meninggalkan satu kelompok masyarakat.

Padahal, semua warga negara berhak memperoleh akses dn kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu, baik itu sebagai pemilih, peserta pemilu, dan penyelenggara pemilu.

Upaya memperjuangkan pemilu yang inklusif bagi penyandang disabilitas telah diupayakan sejak Pemilu 2004. Ada proses advokasi bagi penyandang disabilitas fisik.

Penerimaan dan Perjuangan Melawan Stigma

Tak mudah bagi Sari menyesuaikan perannya sebagai ibu dengan anak berkebutuhan khusus. Sari harus meluangkan perhatian dan waktunya untuk menjaga Yuni sebelum hal tak diinginkan menimpa putri sulungnya itu.

Seperti yang dialami Yuni saat duduk dibangku kelas 2 sekolah dasar. Dirinya pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru pengganti. “Awalnya ya saya nggak percaya apa benar begitu gurunya akhirnya saya tengok ke sekolah, ternyata benar anak saya dipukul sampai biru biru tangannya. Itu sudah mau naik SD kelas 3 akhirnya dia tidak mau sekolah lagi,” tutur Sari.

Kejadian pahit itu meninggalkan trauma yang membekas dalam diri Yuni, ia memutuskan berhenti sekolah selama dua tahun. Selama empat semester, Sari mengingat betul Yuni benar-benar tak ingin ke sekolah, Ia hanya ingin di rumah, bermain, dan melakukan hal-hal yang digemarinya.

Masa-masa penyembuhan dari trauma, Yuni habiskan dengan bermain bersama kedua adiknya. Kehadiran sang adik kedua adalah angin segar bagi Yuni dan orang tuanya. Sebab, keinginan Yuni untuk bersekolah merekah ketika melihat sang adik kedua mulai bersekolah dasar. Pakaian sekolah dasar dengan nuansa merah putih ternyata masih menyimpan secercah memori indah di benak Yuni untuk kembali bermain bersama teman-temannya.

Sebagai orang tua, Sari amat menyambut baik keinginan buah hatinya untuk kembali bersekolah. Akhirnya, bersama sang suami Sari pun bersepakat mendaftarkan Yuni di SLBN 3 Denpasar. Memasuki sekolah barunya, Yuni harus kembali masuk ke kelas dua sekolah dasar lantaran saat ia meninggalkan sekolah lamanya, Yuni berada di semester kedua. Alhasil, meskipun usia Yuni 19 tahun tetapi ia masih berada di kelas 1 SMA.

Masa sekolah Yuni selama di SLB Negeri 3 Denpasar tentu tak terlepas dari pasang surut. Akur dan ribut-ribut adalah hal biasa yang dialami Yuni dan kawan-kawan sebayanya. Saat bersama sang ibu, perilaku Yuni lebih terkendali. “Kalau dia diganggu dia bakal ganggu balik, kalau tidak dapat membalas tidak bisa dia,” ungkap Sari seraya menggenggam tangan Yuni yang tak sabar merogoh gawai sang ibunda.

Menurut Sari, kondisi sang anak jauh lebih baik, lantaran Yuni telah menjalani terapi sejak usia 4 tahun hingga 9 tahun. Kala itu, Sari merogoh 100 ribu rupiah untuk sekali terapi. Selama terapi Yuni melakukan aktifitas seperti meronce untuk menjaga daya fokusnya. Namun, saat usia 9 tahun Yuni ingin berhenti terapi karena bosan.

Sepanjang berdialog dengan Ibunda Yuni, Yuni hanya tersenyum dan berjalan mondar-mandir. Sesekali teriakannya menggelegar saat keinginannya tak terpenuhi. “Mak, hp makk, makkk,” teriaknya sembari menarik tangan sang ibu. Teriakan Yuni pun berlalu saat sang bel masuk kelas berbunyi. Beberapa teman Yuni sudah memasuki kelas, tetapi Yuni tetap tak beranjak. Sehingga Sari dengan sabar meminta Yuni untuk masuk ke kelas.

Tak mudah bagi Sari untuk berdamai dengan garis tangan yang harus dihadapinya. Memiliki anak dengan berkebutuhan khusus membuat Yuni harus ekstra sabar. Masa-masa terberat Sari tatkala keluarga yang seharusnya menjadi tangan pertama yang merangkulnya, justru menjadi pihak yang mengoyak jiwanya. “Anak anak kayak gini nggak usah disekolahin biarin di rumah aja. Nggak jadi apa-apa nggak bisa ngapa-apain,” ucap Sari menirukan cemooh yang diterimanya dari pihak keluarga.

Hingga saat ini cemoohan tersebut tak kunjung berhenti didapatkannya. Apalagi saat dirinya pulang kampung, ia pun mewanti wanti agar Yuni tetap berada disampingnya, sebab Sari tak ingin anaknya kembali dicemooh atau diolok-olok rekan sebayanya.

“Jujur aja kalau punya anak kayak gini, kita banyak dukanya. Soalnya kalau yang nggak ngerti lihat dan punya anak kayak gini, orang tua pasti menjauhkan anaknya,” kata dia. Sari mengungkapkan dalam lingkungan keluarga, saat mengunjungi kampung halaman sanak saudara memutuskan menjauhkan diri dari Yuni. Stigma kolot yang dilontarkan keluarga besar suaminya pun masih membekas dibenak Sari, “jangan main sama Yuni, nanti ikut nular gini-gitu”.

Sari mengharapkan pula pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas lainnya, seperti yang diterapkan Ibu Kota Jakarta, Kartu Penyandang Disabilitas Jakarta. Profesi sang suami yang hanya sebagai buruh bangunan dan dirinya sebagai sales obat-obat herbal, membuat keduanya terseok-seok mencukupi kebutuhan keluarga.

Berbeda dengan Sari, sebagai orang tua Wahyuni dan sang suami yang bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi di Bali merasa telah mampu secara finansial memenuhi kebutuhan ketiga putranya. “Saya tidak berharap untuk dapat bantuan tetapi kalau dapat ya bersyukur, kalau nggak juga nggak apa-apa,” terang Wahyuni sembari tersenyum.

Kontras kondisi keluarga Sari dan Wahyuni begitu jelas. Wahyuni membagikan kisah keluarga besarnya dan sang suami sangat aktif mendukung kesembuhan Suta yang terdiagnosa hiperaktif sejak berusia 5 tahun. “Mereka menyarankan berbagai pengobatan ke saya, terutama almarhum mertua dulu selalu membantu Suta, cucunya,” kenang Wahyuni haru.

Masih teringat dalam kenangan Wahyuni, mulanya Suta adalah anak lelaki sulungnya yang ceria. Namun, kejadian tak terduga terjadi kala Suta masih diasuh oleh sang pengasuh. Suta kecil yang kala itu berusia dua tahun terjatuh dan terguling di tangga. Dokter yang memeriksa Suta mengungkapkan bahwa tidak ada tindakan operasi yang dibutuhkan, sebab Suta tidak mengalami muntah-muntah.

Nafas lega Wahyuni harus tertahan, sebab dirinya melihat pribadi Suta yang tak seperti biasanya. “Dulu normal-normal saja, setelah 3 sampai 4 tahun terlihat hiperaktif, tidak bisa diam, dan satu per satu kata-kata yang dipelajari mulai menghilang,” aku Wahyuni. Setelah melakukan pemeriksaan secara lengkap, ternyata saat terjatuh dahulu bagian otak kiri Suta terdapat gumpalan darah yang sangat terlambat untuk dilakukan tindak operasi.

Wahyuni masih mengingat pesan dokter bahwa jalan operasi sangat berisiko memperburuk kondisi Suta. Wahyuni dan sang suami pun menerima dengan ikhlas kejadian masa lalu itu dan merawat Suta hingga kini. Sejak diagnosa itu pula Wahyuni berhenti dari rutinitas kerja kantoran dan mengurus Suta dan kedua adiknya tanpa bantuan pengasuh.

Berbagai terapi pun dilalui Suta, remaja lelaki yang tergolong ramah ini sempat berjabat tangan dengan saya. Namun, tak ada perubahan signifikan yang terjadi. Saat ini, Suta hanya melakukan kontrol terjadwal di Rumah Sakit Surya Husadha. “Suta tetap berobat, ya walaupun perubahannya tidak signifikan. Biarkan saja dia seperti ini, sambil menunggu dia sembuh semoga ada mujizat saja dari Tuhan,” ujarnya penuh harap.

Tak mudah bagi Sari dan Wahyuni hingga sampai pada tahap penerimaan dan mengikhlaskan segalanya. Keduanya melewati proses duka yang berliku. Beberapa kasus orang tua dengan anak penderita disabilitas, khususnya disabilitas intelektual maupun mental, proses duka itu nyata adanya.

Terdapat 7 tahapan dalam serangkaian proses melalui duka yang dilalui orang tua dengan anak berkebutuhan khusus menurut Doug McCulley dan Karol Hess (Gambar diambil dari buku My Special Parenting Journey karya Chyntia Poedjokerto), 14 Mei 2023. Persma Akademika/Komang Yuko

Dr. Ken Moses, seorang psikolog yang mengabdikan dirinya untuk menolong orang yang mengalami krisis, trauma, dan kehilangan. Menurut Moses, “Setiap orang tua pasti membangun impian terhadap anak-anak mereka bahkan sebelum anak tersebut dilahirkan. Disabilitas menghancurkan mimpi-mimpi tersebut. Berduka adalah proses di mana orang tua berpisah dari segala impian yang hancur tersebut dan mulai membangun impian baru.” Proses Duka ini diramu oleh Doug McCulley dan Karol Hess dalam sebuah buku bertajuk Maturity is a Choice, dalam bagan mengenai Siklus Duka.

Buku tersebut menguraikan tahapan-tahapan dari kesedihan yang sering juga dirasakan oleh para orang tua dengan anak berkebutuhan khusus menjadi tujuh tahapan. Kini, keluarga kecil Yuni khususnya Sari dan sang suami telah berada pada tahap meraih percaya diri. Sang ibunda tetap membimbing Yuni dan mempercayai Yuni mengikuti hal-hal positif yang disukainya. Seperti hobi menyanyi dan mewakili sekolahnya lomba menyanyi, serta memelihara ayam dan burung di rumah. Begitu pula Wahyuni dan keluarga, menerima penuh keberadaan Suta. Hobi memainkan komputer difasilitasi Wahyuni dan sang suami.

Perjuangan sebagai orang tua dengan anak disabilitas intelektual maupun mental tidaklah mudah. Sepanjang karir sebagai psikolog klinis, Titha memperhatikan masih ada orang tua yang kesulitan berdamai dengan keadaan. “Sempat ada orang tua yang baru membawa anaknya kesini saat berusia 15 tahun (tempat praktiknya-red), anak itu sekolah normal dari TK sampai SMP, setelah dites hasilnya disabilitas intelektual yang paling rendah,” ungkapnya.

Orang tua anak itu tidak menerima saat Titha menyarankan agar si anak dipindahkan ke SLB atau sekolah inklusi. Dia sangat mengingat alasan orang tua anak itu menolak SLB, sebab stigma bahwa SLB menampung anak-anak yang dianggap tidak ‘normal’. “Akhirnya mereka memilih sekolah inklusi,” ungkap Titha.

Kesiapan mental, fisik, dan materi merupakan tiga aspek penting menurut Titha untuk menunaikan peran sebagai orang tua. “Jadi orang tua dan pasangan itu tidak gampang. Konsultasi pra nikah dan general checkup juga termasuk penting untuk mengetahui kebutuhan tiap pasangan,” jelas Titha. Proses berdamai dengan keadaan amat dipengaruhi dukungan orang terdekat.

“Dukungan positif dari suami, keluarga, dan teman-teman komunitas adalah terapi bagi orang tua dengan anak disabilitas intelektual maupun mental,” terangnya.

Menurut data statistik nasional tahun 2021, angka kisaran disabilitas anak usia 5-19 tahun adalah 3,3%.  Sedangkan jumlah penduduk pada usia tersebut adalah 66,6 juta jiwa. Dengan demikian jumlah anak usia 5-19 tahun penyandang disabilitas berkisar 2.197.833 jiwa. Kemudian, data Kemendikburistek pada Agustus 2021 menunjukkan jumlah peserta didik pada jalur Sekolah Luar Biasa (SLB) dan inklusif adalah 269.398 anak. Otomatis presentase anak maupun remaja penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan formal baru menyentuh 12.26 persen, sangat jauh dari persentase ideal.

Semakin banyak stigma dan cemooh yang diterima Sari, semakin kuat perjuangannya membela sang buah hati. Cemooh yang datang dari saudara kandungnya sendiri, tidak mematahkan perjuangannya sebagai seorang ibu.

“Saya bilang kamu boleh menghina saya, tapi kalau kamu menghina Yuni jangan harap,” ujarnya dengan nada serius. Suratan takdir membuatnya terus berjalan pada jalan penerimaan, “mungkin karma saya seperti apa dulu, dan sekarang selalu bersabar dan berjuang”.

Informasi Terapi Disabilitas Intelektual dan Disabilitas Mental

  1. Pusat Layanan Autis dan Terapi (0361) 222268: Tautan lokasi: https://maps.app.goo.gl/JW2qCHkYMPaYRpGD6?g_st=iw
  2. Layanan Psikolog Klinis Indonesia: https://data.ipkindonesia.or.id/

Penulis: Komang Yuko

***

Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

You May Also Like