Melintas Abad: Reminisensi Jejak ‘Nyama Selam’ di Pulau Dewata

Menembus waktu serta mengenang “hadiah” Raja Gelgel sebagai awal mula lahirnya Peradaban Muslim tertua di Bali yang sarat akan perpaduan kultur dan leburnya sekat-sekat sosial bertajuk toleransi

Pendahuluan 

Peradaban adalah bentuk yang lebih luas dari kebudayaan. Peradaban dan kebudayaan sama-sama menunjuk pada seluruh pandangan hidup manusia. Dapat dikatakan bahwa peradaban dilahirkan oleh dan demi kebudayaan. Jika kebudayaan sebagai aspirasi, peradabanlah bentuk konkretnya yang mewujud demi realisasi aspirasi itu. Interelasi antara kebudayaan dan peradaban mengungkap sekaligus membangun dualitas dan kepaduan antara dua dunia: rohani-jasmani; spirit-body; yang tersembunyi (covert) – yang terang jelas (overt); etos peraturan, dalam kausalitas yang terus berkembang (Bakker, 1998). 

Koentjaraningrat (1989) menyebutkan unsur-unsur universal dari kebudayaan terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan. Masyarakat Muslim hadir dan menambah warna harmoni kebudayaan Bali. Keberadaan masyarakat Muslim yang terlihat kontras dengan demografi masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu tidak lantas menyulut pergesekan. Hadir di kisaran abad ke-14 di Gelgel, Klungkung dengan kaitan sejarahnya yang kuat dengan Kerajaan di Bali menyebabkan terjadinya interaksi sosial secara intens. (Ardhana, 2012). Mengutip data dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, tercatat pada 30 Juni 2021, penduduk Bali sebanyak 4,27 juta jiwa dengan rincian diantaranya 3,71 juta jiwa (86,8%) beragama Hindu dan 430,92 ribu jiwa (10.08%) beragama Islam. Peristiwa historis berabad-abad lalu tampaknya meninggalkan impaknya hingga sekarang.

Hadiah Raja Gelgel

Pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir sebagai Raja Gelgel I (1380-1460) mengadakan kunjungan ke Keraton Majapahit saat Raja Hayam Wuruk mengadakan konferensi Kerajaan-kerajaan di seluruh Nusantara. Setelah konferensi tersebut, Dalem Ketut Ngelesir kembali ke Bali dikawal oleh 40 prajurit Muslim dari Majapahit. Sebagai bentuk ungkapan terima kasih, Raja Gelgel memberikan hadiah berupa tempat di Gelgel. Dari 40 prajurit tersebut, beberapa diantaranya memilih untuk menetap dan beregenerasi membentuk Kampung Muslim Gelgel saat ini yang terdiri dari 1.242 jiwa. Perjalanan sejarah ini ditandai dengan Masjid Nurul Huda sebagai masjid tertua di Pulau Bali. (Sahidin, 2019)

Disamping itu, Kusamba yang dilatarbelakangi sebagai bandar atau sentra pelabuhan menjadi daerah perdagangan dari berbagai wilayah, mulai dari Bugis (Sulawesi), Jawa, hingga Banjar (Kalimantan). Terlebih lagi, Kusamba praktis menjadi pusat pemerintahan kedua Kerajaan Gelgel yang diberi nama puri Kusanegara. 

Sekitar abad ke-17, terjadi pemberontakan yang menandai runtuhnya Kerajaan Gelgel dan dimulainya Kekuasaan Kerajaan Klungkung. Kemudian pada pertengahan abad ke-19, terjadi Perang Kusamba karena ketegangan politik antara I Dewa Agung Istri Kanya sebagai penguasa kerajaan dengan pemerintah Belanda. Perang pun dimenangkan pihak Kerajaan Klungkung. Kemenangan yang dicapai tidak lepas dari peran serta tentara Islam yang ditempatkan di Kusamba. Atas jasa tersebut, Kerajaan Klungkung memberikan tempat secara otonom di Kusamba yang saat ini dikenal sebagai Desa Kampung Kusamba. Desa ini mayoritas masyarakatnya 98.05% Muslim. Bukti sejarah keberadaan Islam di Desa Kampung Kusamba adalah Al-Qur’an tertua di Bali dan makam Habib Ali Bin Abubakar Bin Umar Bin Abubakar Al Hamid di pesisir pantai Kusamba. 

Pola Hidup Toleran Antar Masyarakat 

Persona keberagaman tampak ketika menilik pola kehidupan masyarakat Desa Kampung Kusamba dan Desa Kampung Gelgel. ‘Toleransi’, satu kata yang pas dalam menggambarkan bagaimana leburnya sekat-sekat sosial antar masyarakat. Mewariskan konsep menyama braya yang ditanamkan kepada penerusnya, bahwa tidak menjadi persoalan untuk membuka pandangan tentang perbedaan demi mencipta keharmonisan. ‘Nyama Selam’, begitulah julukan yang disematkan kepada masyarakat Muslim oleh masyarakat Hindu. Penggunaan kata nyama yang berarti saudara, mencerminkan inklusivitas atau keterbukaan masyarakat Hindu kepada masyarakat Islam. Secara tidak langsung, ikatan ini menunjukan penerimaan secara kultural oleh masyarakat Hindu. 

Kebiasaan masyarakat tampaknya tidak terlepas dari kehidupan lampau yang senantiasa tumbuh seiring zaman. Soerjono Soekanto mendefinisikan masyarakat sebagai sistem hidup bersama yang memunculkan kebudayaan dan keterikatan satu sama lain. Keterikatan ini lantas membentuk berbagai pola tingkah laku yang khas menjadi peringkat satu kesatuan manusia dan bersifat berkelanjutan. Masyarakat yang multikultural menjadi salah satu pengaruh terbentuknya adat dan kebiasaan. Kebudayaan terserap ke tiap-tiap pranata sosial serta mencakup berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia, baik dari sisi sosial, ekonomi, politik, dan lain sebagainya. Ditambah perkembangan era globalisasi yang terkomunikasi dengan berbagai sistem, menciptakan introduksi dan adaptasi nilai-nilai baru sehingga masyarakat dituntut untuk beradaptasi dengan perkembangannya (Brata, 2021).

Desa Kampung Gelgel dan Desa Kampung Kusamba tentu menyelaraskan tata pemerintahannya sejalan dengan adaptasi masyarakatnya. Seperti Desa Kampung Kusamba yang akan mencanangkan desa wisata yang berbalut religi. Walau secara legalitas belum menjadi desa wisata namun faktanya wisatawan berbondong-bondong datang untuk berziarah ke makam salah satu wali pitu, Habib Ali Bin Abubakar Bin Umar Bin Abubakar Al Hamid. Sama halnya dengan Desa Kampung Kusamba, Desa Kampung Gelgel juga banyak dikunjungi wisatawan sebagai pemukiman Muslim tertua dan Masjid Nurul Huda sebagai masjid tertua di Bali dengan ornamen khas Bali yang tetap dipertahankan.

Akulturasi Budaya Hasil Hidup Berdampingan 

Akulturasi merupakan salah satu konsep yang dikenal berfokus membahas relasi antar etnis atau interaksi dan komunikasi antara dua komunitas maupun individu yang berbeda budaya. Akulturasi tercipta kala suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing (terjadi kontak budaya), yang mana unsur-unsur budaya asing lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan unsur-unsur kepribadian kebudayaan sendiri (Koentjaraningrat, 2002). Pada umumnya akulturasi kebudayaan terjadi karena unsur budaya yang baru dinilai memberikan manfaat bagi kehidupan suatu masyarakat atau terjadi suatu kemiripan-kemiripan tindakan yang hampir sama antara dua kebudayaan tersebut (Kemendikbud, 2017). Munculnya kampung-kampung Muslim seperti Desa Kampung Gelgel dan Desa Kampung Kusamba di tengah masyarakat Bali dengan mayoritas Hindu menunjukkan sisi toleransi antar umat beragama selalu dijunjung tinggi. 

Kunci utama terciptanya pengaruh positif adanya akulturasi budaya ditengah masyarakat yang hidup berdampingan adalah adanya saling penghargaan, toleransi, dan keterbukaan antara kelompok-kelompok yang berinteraksi. Dengan adanya pertukaran budaya antara kelompok-kelompok yang berbeda, masyarakat menjadi lebih kaya dalam hal ekspresi artistik, kuliner, tradisi, dan praktek kehidupan sehari-hari. Hal ini menciptakan lingkungan yang dinamis dan menarik. Disamping menciptakan keragaman budaya, akulturasi budaya meningkatkan hubungan sosial diantara masyarakat yang hidup berdampingan. Akulturasi budaya membuka peluang untuk berkomunikasi, bekerjasama, dan berbagi pengalaman. Ini dapat memperkuat solidaritas sosial, membangun jaringan sosial yang lebih luas, dan mempromosikan hubungan yang harmonis di antara masyarakat yang hidup berdampingan. Atas dasar itulah hadirnya tradisi Ngaminang yang dilaksanakan di Desa Kampung Gelgel. 

Ngaminang Sebagai Bentuk Fisik Toleransi 

Dilihat dari aspek kebudayaan secara spesifik, tradisi dapat menciptakan kebudayaan di masyarakat itu sendiri. Kebudayaan yang merupakan hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia yang sedikitnya memiliki tiga wujud yang meliputi 1) ide, gagasan, nilai, dan norma; 2) aktivitas dan tindakan berpola; 3) wujud atau artefak yang berupa benda dari hasil karya manusia (Mattuda, 1997: 1).

Tradisi Ngaminang adalah budaya makan bersama dengan sagi sebagai alat sajinya. Dalam Sudargo, dkk (2022: 92) tradisi megibung adalah tradisi warisan leluhur Bali yang berupa tradisi makan bersama dengan cara duduk melingkar dalam satu wadah yang biasanya diikuti oleh delapan orang. Orang Bali biasa menyebutnya Tradisi Megibung dengan empat orang duduk bersila melingkari satu sagi. Tradisi Ngaminang diambil dari kata “Ngaminang” yang berartikan “Mengaminkan”. filosofis nama ngaminang ini berasal kata “Amiin” yang merupakan bentuk harapan atau agar harapan dari masyarakat Desa Kampung Gelgel dapat terkabulkan atau tercapai. Tradisi ini sudah ada sejak zaman leluhur, kurang lebih sudah dilaksanakan sejak 57 tahun lalu, tradisi ini diawali dengan bentuk akulturasi ditandai dengan adanya sedikit nuansa Hindu. Corak budaya agama Hindu dapat dilihat dari penggunaan Saap atau semacam tudung saji khas Bali.

Terbentuknya akulturasi budaya dalam masyarakat Muslim Desa Kampung Gelgel ini menciptakan sebuah budaya yang sangat positif dan tentunya menciptakan keanekaragaman dalam berbagai hal, baik sosial maupun budaya yang terbentuk. Terciptanya Tradisi Ngaminang menjadi bentuk harapan adanya persatuan, kesatuan serta kesamaan yang terjalin dalam masyarakat Gelgel dalam menjalin toleransi ditengah adanya perbedaan antar umat beragama di lingkungan Desa Kampung Gelgel.

Penutup

Peradaban dilahirkan oleh dan demi kebudayaan yang merujuk pada pandangan hidup manusia. Salah satu unsur dari kebudayaan adalah sistem religi dan upacara keagamaan yang menjadi pintu gerbang masuknya peradaban Islam ke Pulau Bali. Masuknya Islam ke Pulau Bali memiliki histori erat dengan Raja-raja di Bali, khususnya Raja Gelgel. Menerima ‘hadiah’ sebagai tanda terima kasih yang kemudian ditempati dan beregenerasi hingga saat ini. Penyematan julukan ‘Nyama Selam’ kepada masyarakat Muslim oleh masyarakat Hindu menjadi salah satu gambaran keterbukaan untuk saling menghargai satu dengan yang lainnya. Sifat keterbukaan dan saling menghargai ini kemudian menyebabkan interaksi antar berbagai kebudayaan hingga akulturasi antar kebudayaan yang terserap ke tiap-tiap pranata sosial dan mencakup berbagai struktur kehidupan manusia, baik dari sisi sosial, ekonomi, hingga politik. 

Penulis: Dian Purnami, Devi, Sarah, Cynthia

Daftar Pustaka: 

Akulturasi Kebudayaan pada Masyarakat di Wilayah 3T: Peran PKBM terhadap Perubahan Sosial Budaya Masyarakat, Jakarta: Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang, Kemendikbud, 2017. Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan ISBN: 978-602-8613-78-1

Ardhana, I Ketut. 2012. “Pendahuluan: Kerangka Teori dan Konsep Multikulturalisme”, dalam Masyarakat Multikultural di Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi, dan Integrasi. Denpasar: Larasan. 

Artini, Ni Made. 2003. Dari Magibung ke Prasmanan Perubahan Etika Jamuan Makan dalam Ritual Komunitas Hindu di Desa Karang Median dan Karang Monjok. Lombok Barat: Universitas Udayana.

Bakker, JWM. 1998. Pengantar Filsafat Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. 

Brata, Ida Bagus. 2021. Menyama Braya: Representasi Kesadaran Kolektif Lokal Memperkuat Identitas Nasional. Denpasar: PSP Sejarah FKIP Unmas Denpasar.

Fitria Amalia. 2023. Ngaminang: Adaptasi Budaya Makan Megibung Bali Pada Masyarakat Islam Di Desa Kampung Gelgel, Kabupaten Klungkung.Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. 

Koentjaraningrat. 1989. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. 

Sahidin. 2019. Profil Desa Kampung Gelgel

Soekanto, Soerjono. 1995. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.

Sudargo, Toto dkk. 2022. Budaya Makan dalam Perspektif Kesehatan. Sleman: Gadjah Mada University Press. 

You May Also Like