Preservasi Kebudayaan di Desa Paksebali Melalui Perlindungan Hukum

Tradisi sebagai bagian kebudayaan masyarakat merupakan warisan yang bernilai luhur sehingga memegang peranan penting dalam keberlangsungan hidup masyarakatnya. Untuk menjaga keajegannya, perlindungan hukum menjadi salah satu sarana penting dalam upaya tersebut.  Sebagaimana perlindungan hukum yang diberikan pada tradisi Lukat Geni dan Dewa Mesraman di Desa Paksebali. 

Meletakan hukum dalam pranata tradisi dan budaya merupakan suatu hal yang esensial, mengingat perkembangan zaman memicu munculnya banyak persoalan, tak terkecuali dalam aspek kebudayaan. Seperti halnya fenomena klaim atau pengakuan atas budaya Indonesia oleh negara lain yang sampai saat ini menjadi torehan gelap dalam kebudayaan Indonesia. 

Oleh karenanya, adanya payung hukum mengenai Kekayaan Intelektual Komunal yang kemudian tertuang lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2022 tentang Kekayaan Intelektual Komunal dalam kerangka hukum Indonesia diharapkan memegang peranan penting dalam hal perlindungan hukum, khususnya terhadap pengakuan atas keberadaan suatu tradisi dan budaya melalui pencatatan dan inventarisasi tradisi dan budaya yang ada. Sebagaimana diungkapkan oleh Ida Bagus Made Danu Krisnawan, selaku Kepala Sub Bidang Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Kantor Wilayah Bali pada (17/7) “Aspek perlindungan hukumnya itu ya ketika muncul pelanggaran seperti muncul klaim terhadap kekayaan intelektual komunal atau mungkin kekayaan intelektual komunal itu dikomersialisasikan tanpa izin dari masyarakat komunal itu sendiri atau kan mungkin dikomersialisasikan melanggar dari status kekayaan intelektual komunal itu. kan ada yang sifatnya rahasia, tertutup, terbuka itu, dari itulah akan bisa dikenakan sanksi secara peraturan perundang-undangan yang berlaku gitu.” 

Wawancara – Ida Bagus Danu saat diwawancarai di kantor wilayah Kemenkumham Prov.Bali

 

Lembar Perjalanan, Memaknai Lukat Geni dan Dewa Mesraman

Menelisik lebih dalam terkait Lukat Geni dan Dewa Mesraman, Tim Konvergensi Media Jelajah Jurnalistik 2023 menjejakan kaki ke Desa Paksebali, tempat dimana tradisi dan budaya ini hidup. Pemangku Lanang Puri Satria Kawan, Anak Agung Gede Oka,  menuturkan, bahwasanya tradisi Lukat Geni sudah ada sejak dulu dan dilaksanakan secara turun temurun. Namun sempat terhenti beberapa saat karena muncul beberapa kendala dalam pelaksanaannya. “Menurut informasi yang saya dengar sebagai penerus tradisi ini, dulu sempat terhenti karena ada penyebabnya tiada lain karena pesertanya itu ada yang dari luar tempat kami, kemudian dilaksanakan upacara ritual atau tradisi tersebut menimbulkan dendam dari masing-masing kelompok tersebut, makanya terjadi bentrokan-bentrokan yang tidak diinginkan. Makanya dari itu, tetua-tetua kita mengambil inisiatif untuk diberhentikan dulu tradisi tersebut. Kemudian, kami sebagai generasi muda, kurang lebih dimulai sejak tahun 2000-an kalau tidak salah. Kami malih menggagas kaum muda untuk kembali membangkitkan tradisi tersebut. Maka kami mengumpulkan berbagai kalangan termasuk pemuda-pemudi, orang tua, untuk kembali membangkitkan tradisi tersebut.” jelas Anak Agung Gede Oka ketika diwawancarai oleh Tim Konvergensi Jelajah Jurnalistik 2023 pada Rabu (13/07).

Sumber: Bali Express

 

Dalam upaya membangkitkan tradisi Lukat Geni, penggalian akan hakikat sejati dari tradisi ini dilakukan guna menghindari kesalahan persepsi dalam pelaksanaan tradisi, “kemudian kami menggali lagi ke tetua penglingsir yang masih ada, makna dari diadakannya Tradisi Lukat Geni tersebut, kemudian beliau memaparkan juga tradisi Lukat Geni kalau dulu diistilahkan itu perang api, kemudian dicari maknanya bahwa itu dilaksanakan bukan semata-mata untuk menunjukkan keegoan kita, atau apa namanya memperlihatkan istilah kesombongan kita, karena ini bermakna untuk menyucikan Bhuana Alit (diri kita, tubuh manusia -red).” Sejak saat itu, istilah yang dulunya Perang Api diubah menjadi Lukat Geni. Lukat Geni sendiri terdiri dari kata lukat dan geni, dimana lukat berarti membersihkan, sedangkan geni (api) merupakan sarana dari pembersihan itu sendiri. Sehingga Lukat Geni tiada lain ialah pembersihan diri, yakni Bhuana Alit tersebut dengan sarana api. Mengingat Lukat Geni juga dilaksanakan setiap Hari Raya Pengrupukan, pemaknaannya bertautan dengan Pengrupukan dan Hari Raya Nyepi 

Di sisi lain, sebagai tradisi yang dilaksanakan setiap Hari Raya Kuningan di Pura Panti Timbrah, Dusun Timbrah, Desa Paksebali. Dewa Mesraman merupakan ritual yang dibawa oleh para migran dari Desa Timbrah Bugbug, Karangasem, “oh iya, penglingsir kami ada dari Bugbug dan Timbrah, dalam artian semua ada disini. Pengempon dari Bugbug ada, pengempon dari Timbrah juga ada. Delapan orang yang dulunya dari Karangasem. Dari Karangasem pindah kesini dan diberi tempat disini” cerita Komang Budiarta, selaku kelian Pura Panti Timbrah (10/7). Pernyataan senada juga diungkap oleh Kepala Desa Paksebali, Putu Suryadi, “Dewa Masraman itu memang sudah lama banget. Tradisi ini sebenarnya mengadopsi kebudayaan dari Karangasem. Jadi susunan dari pelinggih-pelinggih ataupun pralina dari dewa yang disucikan ini, itu kan memang dari Karangasem dan dilaksanakan di Panti Timbrah.” Secara filosofis, Dewa Masraman dimaknai sebagai ritual untuk memohon kesuburan alam semesta (Bhuwana Agung),  kesejahteraan persatuan dan persaudaraan serta keharmonisan manusia dan mahluk hidup lainnya (Bhuwana Alit) dengan lingkungannya yaitu alam semesta “Dewa Masraman, maksudnya pertemuan para dewa melakukan komunikasi dan ritual agar keadaan damai, sejahtera, rukun. Itu filosofinya, jadi mereka melakukan pertemuan bersama dimana agar daerah kita ini tetap tentram,” jelas Putu Suryadi.  Nilai filosofis ini tertuang dalam  prosesi pembenturan Joli (semacam tandu -red) yang diyakini sebagai perwujudan para Bethara yang distanakan di Pura Panti Timbrah.

Sumber: Kompasiana.com

Pengajuan Perlindungan Hukum 

Tradisi Lukat Geni telah terdaftar ke dalam Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) melalui perpanjangan tangan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Unud  lewat program Pengabdian Masyarakat yang dilaksanakan tahun 2022 lalu, juga bekerjasama dengan berbagai stakeholder lainnya baik itu pemerintah hingga masyarakat setempat.  Pendaftaran tradisi ini ke dalam KIK tidak terlepas dari keunikan dari penggunaan bara api sebagai sarana dalam upacara ini, “satu memang untuk melindungi budaya ini agar tidak ditiru oleh orang lain. Yang kedua kalau kita melihat pembersihan diri biasanya menggunakan air, tapi kalau menggunakan api kan unik, disitulah letak keunikannya dan juga kesakralannya. Artinya apa, sebelum mereka melakukan tradisi ini, pementasan ini, ada beberapa upacara yang dilakukan yaitu, Nyama Bratha, puasa, semedi, tapa. Artinya tak segampang itu orang melakukan proses melukat geni. Memang ada orang-orang khusus yang disiapkan untuk tradisi ini begitu. Karena menggunakan api kan, jangan sampai kita melakukan prosesi keagamaan sampai melukai orang kan ga bener juga, iya kan? Nah ini yang menjadi pemikiran kita bahwa tradisi ini sebenarnya unik kemudian sakral dan tidak langsung dilakukan oleh banyak orang,”  terang Putu Ariadi. 

Informasi – I Putu Ariadi, selaku kepala desa membagikan informasi terkait kebudayaan di Desa Paksebali

Ketua Pengabdian Masyarakat BEM FH Unud 2022,  Candra Daniswara menuturkan proses pengajuan pendaftaran Tradisi Lukat Geni ke dalam KIK tergolong cepat dikarenakan laman pendaftaran online yang sudah disediakan oleh Kantor Wilayah Hukum dan HAM Bali, “udah support banget jadi ada aplikasi pendaftaran online gitu jadi kita semakin cepat lah. Ya paling gak masalah waktu sekitar seminggu atau dua minggu atau sebulan itu saya lupa, jadi kita harus nunggu proses pengecekan.” Pengecekan ini berkaitan dengan dokumen-dokumen yang juga perlu dipersiapkan sebagai syarat administratif, “Dokumen deskripsi merupakan hal pertama yang harus disiapkan, dokumen deskripsi tidak bisa dibuat asal-asalan harus berdasarkan sejarah, pola hidup, itu semua dituangkan dalam dokumen deskripsi yang didukung oleh data foto dan video, lalu terdapat pernyataan dari maestro yang paham terkait tradisi ataupun kebudayaan itu,” papar Ida Bagus Danu.  Se;ain itu, prasyarat umum yang penting diketahui ialah budaya tersebut merupakan warisan budaya secara turun temurun. “Sebenarnya itu, sudah harus merupakan warisan budaya turun temurun. Jangan dik baru buat-buat misalnya buat upacara apa lalu dicatatkan, artinya itu tidak memperoleh pengakuan, nah seperti misalnya tradisi-tradisi yang sudah tumbuh kembang dari beberapa tahun yang silam dan itu merupakan memiliki keunikan. Ya saya bisa saja membuat tradisi agar unik ya, Nyepi bisa saya buat misalnya khusus, nah itu tidak bisa, artinya disana belum menggambarkan ilustrasi bahwa itu sudah berlaku secara turun temurun. Tidak bisa adik membuat suatu hal yang baru lalu dinyatakan sebagai KIK karena belum tentu memperoleh pengakuan” imbuh Ida Bagus Danu.

Sedangkan tradisi Dewa Mesraman saat ini masih dalam tahap pengajuan untuk dicatatkan sebagai KIK melalui program Bina Desa yang juga diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Unud. Salah satu anggota Bina Desa, Wahyu Yoga menjelaskan pengajuan tradisi Dewa Mesraman ke dalam KIK  juga tidak terlalu rumit dikarenakan tradisi Dewa Mesraman sudah tercatat dalam Warisan Budaya Tak Benda yang berada di bawah naungan Kementerian Kebudayaan “enggak terlalu berat sih karena kan sudah tetap dalam WBTB (Warisan Budaya Tak Benda -red). Jadi tidak banyak kendala mengenai deskripsi mengenai sumber-sumber prosesi. Jadinya kami dapat kemudahan di sana.”   

Selain itu, peran serta dan dukungan masyarakat untuk pengajuan tradisi Lukat Geni dan Dewa Mesraman juga menjadi faktor penting dalam upaya pengajuan. “ Kan di tempat kami pertama ada pengajuan kalau ini akan dipatenkan, dicarikan hak paten, kemudian  dirembugan lagi bersama dengan penglisir, kemudian setuju, ya boleh.  Makannya disepakati (pengajuan KIK -red),” jelas Anak Agung Gede Oka.  Begitupula upaya pengajuan tradisi Dewa Mesraman ke dalam KIK yang juga melibatkan masyarakat khususnya para pengempon pura Panti Timbrah, “ya,  kami melakukan paruman waktu itu,kami kan waktu itu sih ada kegiatan untuk mereresik, sangkep dalam artian kumpul bersama, terus saya mengundang mahasiswa Udayana yang hukum yang datang kesini saya tanyakan gimana maksud dan tujuan, untuk apa gimana gitu kan, orang disini kami tidak tau hukumnya gimana, jadi dia menjelaskan. Akhirnya kami dah tau dah gini-gini (pengetahuan tentang KIK -red) ternyata disepakati oleh krama warga kami untuk menindak lanjuti perlindungan hukum dan maksudnya disana supaya kami ga kecolongan bahwa tradisi kami dijiplak oleh orang lain yang tidak bertanggung jawab kan gitu,” cerita Komang Budiarta. 

Bercerita- Pengempon Pura Panti Timbrah menceritakan persetujuan warga mengajukan perlindungan hukum

Impak Perlindungan Hukum 

Potensi Desa Paksebali sebagai Desa Wisata merupakan peluang besar untuk menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat Desa Paksebali. Salah satu aset yang dimiliki untuk menjaga eksistensi sebagai desa wisata yaitu lewat  berbagai kegiatan kebudayaan yang ada. Hal ini diungkapkan oleh Kepala Desa Paksebali “Adanya kegiatan kebudayaan di desa Paksebali ini salah satunya menjadi sebagai hal yang kita kembangkan untuk pengembangan sebagai destinasi sekaligus ciri khas Paksebali itu adalah kebudayaan kita. Jadi kita di Paksebali ini ada beberapa kebudayaan yang sudah menjadi perhatian publik bahkan internasional, karena setiap event-event itu yang hadir tidak hanya orang lokal tapi orang mancanegara maka budaya kita di desa Paksebali ini sudah kita jadikan sebagai event kegiatan dalam mendukung destinasi pariwisata yang ada di desa Paksebali” Kebudayaan tersebut diantaranya tradisi Lukat Geni dan Dewa Mesraman. 

Komang Budiarta mengungkap, tradisi Dewa Mesraman sudah lama menjadi daya tarik wisatawan untuk menyaksikan tradisi tersebut. Senada dengan yang disampaikan oleh Anak Agung Gede Oka mengenai antusiasme  wisawatan terkait Tradisi Lukat Geni “ Jangankan wisatawan, media-media juga banyak yang meliput,” tuturnya.  Selayaknya menjaga tradisi yang diupayakan dalam bentuk sekala, keseimbangan dalam pemaknaan secara niskala juga menjadi roh yang menjiwai sebuah tradisi. Kecemasan akan kekaburan pemaknaan antara kepentingan menjaga dan komersil ditegaskan Ida Bagus Danu bahwa tidak ada salahnya suatu kebudayaan disaksikan untuk komersialisasi selama tidak menghilangkan esensi nilai kesakralannya. 

Adanya sifat dari Kekayaan Intelektual Komunal yang terbuka, tertutup, atau rahasia menjadikan esensi yang dimiliki oleh Kebudayaan tersebut tidak akan pudar. Sifat terbuka suatu kebudayaan artinya dapat disaksikan oleh para wisatawan, sebaliknya apabila kebudayaan sifatnya tertutup maka tidak dapat untuk disaksikan maupun di rekam. Pun, pelaksanaan tradisi yang dilakukan pada hari suci tertentu menyebabkan kesakralan dari sebuah budaya  akan tetap terjaga, “adanya kebudayaan ini memang tidak terlepas dari  tradisi dan keyakinan umat beragama sehingga kebudayaan ini dianggap sakral semua. Artinya tidak bisa dipentaskan suatu waktu-waktu, butuh proses untuk mementaskan ini. Sehingga pada saat pementasan ini, itu bertepatan dengan hari hari raya hindu di Bali, seperti contohnya saat hari raya Kuningan, Pangrupukan.” Serupa, Anak Agung Gede Oka juga menyampaikan bahwasannya pelaksanaan tradisi  Lukat Geni tidak ditujukan untuk kepentingan komersil, “saya terus terang ,mohon maaf ini. Karena tradisi ini pertama tujuannya untuk melestarikan tradisi yang sudah ada dan dianggap baik. Saya melaksanakan tradisi ini semata-mata untuk melestarikan bukan untuk bersifat komersil. Jadi untuk ditampilkan di suatu event, acara, kami mohon maaf. Karena ini bukan sifatnya komersil, kami melaksanakan ini harinya tidak bisa bergeser, kami melaksanakan ini harus pengrupukan dan menjelang sandikala, waktunya saja tidak bisa digeser apalagi harinya,” tutupnya. 

Kendati belum ada impak langsung yang dirasakan terkait dengan pencatatan perlindungan hukum yang ada, Wahyu Yoga selaku anggota Bina Desa di Desa Paksebali dan mahasiswa Fakultas Hukum menyampaikan pandangannya, “Perlindungan hukum itu adalah salah satu bentuk investasi. Mungkin saat ini kita mendaftarkan kita tidak mendapatkan dampak secara ekonomisnya. Dampak enggak ada terjadi apa-apa. Namun apabila seiring berjalannya waktu, perpanjangan waktu dari generasi ke generasi, hal itu akan mengalami perubahan-perubahan kecilnya.” Senada dengan pernyataan Putu Ariadi “Untuk sekarang belum ada (dampak secara langsung -red) , tapi mungkin kedepannya ada.” 

Aspek perlindungan secara hukum adalah salah satu bentuk upaya preventif sekaligus represif untuk menghindari gangguan-gangguan dari pihak eksternal. Sedangkan dorongan untuk menjaga tradisi agar ajeg dan lestari perlu dimaknai secara holistik yang tidak hanya bersandar pada kerangka hukum,  melainkan juga bertumpu pada manusianya sebagai inti hayat dari tradisi tersebut “Saya berharap tradisi ini bisa terus dipertahankan. Mudah-mudahan generasi saya bisa tumbuh lebih baik dari generasi yang sudah ada,” harap Anak Agung Gede Oka mengenai Tradisi Lukat Geni di masa mendatang. 

Penulis : Dyana, Gung Vita, Fanny 

Penyunting : Wid 

You May Also Like