Ngaminang : Merajut Harmoni dalam Kelezatan Senampan Sagi

Hidangan yang tersuguh mungkin tidak selezat dan semewah di restoran, tapi karna dinikmati bersama rasanya jadi istimewa. Itulah toleransi, kebersamaan tanpa harus mahal harganya.”

 

Di tengah pergolakan SARA yang tak kunjung reda, kobaran intoleransi semakin membayangi persatuan negeri. Namun, di sini, di Gelgel sebagai kampung Muslim tertua yang berada di Pulau Dewata, harmoni dua budaya dari agama yang berbeda masih terjalin erat dalam kehangatan makan bersama melalui tradisi Ngaminang. Ngaminang sendiri mengandung arti berdoa bersama (mengamin-aminkan) sebagai wujud dari satu kesatuan pola pikir dan harapan dalam integritas jiwa masyarakat Islam. 

Keberagaman dalam Senampan Sagi

Sore itu, suasana masih lenggang ketika aku dan teman-teman Pers Akademika menjejakkan kaki di penataran Masjid Nurul Huda, Klungkung. Tatkala surya perlahan beranjak ke ufuk barat, satu demi satu warga mulai berdatangan. Beberapa di antaranya nampak wanita membawa sagi putih motif kembang yang ditutup dengan saab atau tudung saji khas Bali warna merah. 

Persiapan – Potret perempuan Kampung Gelgel membawa sagi untuk Ngaminang

Gema meriah takbiran dari pengeras suara mengiringi langkah mereka. Dalam hening, aku melihat ketika salah seorang ibu datang dengan sagi di kepalanya, bapak berbaju putih langsung sigap membantu tanpa banyak bicara. Ia mengulurkan tangan untuk menurunkan sagi lalu langsung menatanya di sepanjang teras lantai Masjid. Tindakan itu kemudian terjadi silih berganti dilakukan oleh bapak-bapak yang lain kepada para ibu yang membawa sagi. Sebuah aksi kecil ini memberikan gambaran yang harmonis tentang hal paling mendasar dari sebuah kemanusiaan di kala rasa simpati mulai terkikis individualisme. 

Aku penasaran apa kiranya yang tersembunyi di balik tudung itu. Saat kusingkap, rupanya berbagai jenis makanan tertata apik di tengahnya. Ada nasi, lauk pauk seperti ayam suwir, sate lilit, telur goreng, lawar, juga kerupuk dan beberapa gelas air. Ada pula rentetan pisang, jeruk, pun salak turut menghiasi ragam sagi. Makanan tersebut kata Kepala Desa Kampung Gelgel, Sahidin, diolah langsung oleh ibu rumah tangga di kediaman mereka masing-masing sebelum dihantarkan ke Masjid. 

Ragam makanan yang dihidangkan dalam satu wadah secara filosofis dapat merepresentasikan suatu toleransi keberagaman. Dalam kehidupan manusia banyak dijumpai berbagai macam jenis sifat, watak, pemikiran, dan karakter seseorang dimana hal tersebut dapat menimbulkan konflik maupun kesenjangan sosial. Walaupun demikian sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri maka perbedaan-perbedaan tersebut dapat digunakan sebagai sarana pelengkap antar individu. Perbedaan yang ada memang sulit untuk dipersatukan namun bukan berarti tidak dapat hidup berdampingan.

Sahidin juga menuturkan bahwa tidak ada aturan khusus mengenai makanan yang dibuat, tetapi masih harus menyesuaikan dengan norma pun kepercayaan masing-masing agama. Daging babi atau darah hewan dipisahkan dari makanan para jamaah muslim sedangkan daging sapi akan ditiadakan dalam hidangan Umat Hindu. 

Menjelaskan – Kepala Desa Kampung Gelgel saat menjelaskan Prosesi Ngaminang

“Ada saudara kita yang nggak boleh makan daging sapi, tapi tidak semuanya. Kita ambil garis tengah bahwa saat ada undangan di 10 hari kedua bulan ini, kita share kepada warga bahwa saat hidangan berisi daging sapi itu, dagingnya ya dijadikan daging ayam, ikan laut apa’lah yang bisa dinikmati oleh semua orang. Di sinilah kita saling menghormati, ya,” papar Sahidin dengan lengkung ramah dalam bilah senyumnya setelah acara Ngaminang usai (28/6) 

Sayangnya, aku berkunjung pada perayaan 10 hari ketiga Bulan Ramadhan sehingga warga yang datang hanyalah warga Kampung Gelgel tanpa mengundang tokoh lintas agama. Meskipun hanya dihadiri oleh sesama jamaah Muslim, kehangatan  masih nampak dari suasana yang tercipta. Sesederhana penataan nampan sagi oleh para lelaki dan sekelompok remaja Masjid yang saling bahu membahu telah memberikan nuansa kebersamaan yang kuat. Kesibukan dibumbui selayang canda tanpa hiruk-pikuk yang terlalu ramai sehingga memberikan kesan ‘rumah’ saat aku turut membantu persiapan. Rasanya tenang tapi juga sibuk disaat bersamaan. 

Tenggang Rasa dalam Sesederhana Makan Bersama

Ngaminang pada hakikatnya bukanlah suatu hal baru, tradisi ini telah mekar sejak 600 tahun yang lalu dan terus dirawat dari generasi ke generasi. Semua bermula ketika raja Dalem Ketut Ngulesir di masa Kerajaan Gelgel memberikan tanah kepada 40 prajurit beragama Islam di sebelah timur kerajaan sebagai ungkapan terima kasih karena telah mengawalnya. Kemudian prajurit-prajurit itu menikahi wanita setempat hingga memiliki keturunan kemudian terus berlanjut hingga berkembanglah Kampung Gelgel dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Untuk menjaga silaturahmi dengan umat Hindu, terciptalah Ngaminang yang merupakan bentuk adaptasi dari tradisi ‘megibung’ masyarakat Bali. 

Dengung suara azan bergema ketika hitam sayup-sayup menyelimuti kanvas langit Kampung Gelgel, semua warga yang hadir beriringan masuk mushola untuk segera menunaikan sholat maghrib. Aku hanya terdiam, menatap mereka dan sagi yang berjejer bergantian. Nuansa khusyuk entah bagaimana semakin tebal di udara membuat sejuk sanubari secara alami. Sepuluh menit kemudian makan bersama akhirnya dimulai ketika perut sudah saling bersahutan. 

Setiap empat orang melingkari masing-masing sagi dengan beraturan. Tua pun muda saling berdampingan. Hiruk pikuk sedikit terdengar tatkala tangan demi tangan mulai mengambil makanan. Ngaminang mengandung makna kesetaraan pun kebersamaan di tengah keberagaman. Di lingkar kecil ini, status sosial melebur ke titik yang sama tinggi dalam upaya merekatkan korelasi warga masyarakatnya pada kehidupan sehari-hari tanpa adanya disparitas. Kebersamaannya terlihat dari doa yang dipimpin salah seorang pemuka agama, memulai makan bersama, dan mengakhirinya secara serentak tanpa saling mendahului. 

Lawar – Lawar Nangka merupakan makanan yang identik di Bali turut tersaji dalam Sagi

Duduk bersama sambil menyantap hidangan ini menjadi kesempatan untuk menunjukkan diri hidup rukun. Pertukaran cerita, pikiran, perasaan, hingga guyonan bercampur di udara tanpa sekat menyela. Kedamaian terlukis jelas di setiap sudut netraku memandang. Tawa rendah sesekali terdengar, pekikan anak-anak kecil juga berbaur melingkupi suasana Ngaminang tahun ini. Sajian yang sederhana tidak menjadi masalah ketika rasa nikmat dari kebersamaan telah membuatnya berharga. 

Seperti kata Sahidin di penghujung petang kala itu, ”Hidangan yang tersuguh mungkin tidak selezat dan semewah di restoran, tapi karena dinikmati bersama rasanya jadi istimewa. Itulah toleransi, kebersamaan tanpa harus mahal harganya.”

Ngaminang telah dirawat sejak beratus-ratus tahun lamanya. Semoga keberlangsungannya tetap lestari sebagaimana harapan yang diukir dalam namanya. Pemandangan dari suasana damai kebersamaan ini jangan sampai hanya berhenti dalam memoriku saja. Anak dan cucu selanjutnya pun harus merasakan harmoni yang terjalin dari kesederhanaan makan bersama. 

Penulis : Kanya 

Penyunting : Wid 

You May Also Like