Mengais Berkah Ubi Selepas Erupsi

Melintasi pasca erupsi Gunung Agung memang tidak mudah. Awalnya menanggung petaka, selanjutnya bergelimang berkah. Begitulah Desa Sebudi mencoba bangkit. Meski terkenal dengan lahan penambangan pasir serta kemacetan truk muatan, berbagai umbi-umbian dapat tumbuh subur. Ubi dari Desa Sebudi berbeda; legit, empuk, dan gempal.

Bercerita – Sekretaris Desa Sebudi, I Nyoman Warka membagi cerita desanya selama dirinya menjabat.

Hembusan asap dan kepulan awan yang menyelimuti daerah kawah Gunung Agung, ancala tertinggi pulau dewata, menjadi suatu tanda aktifnya gunung tersebut. Hal ini kebetulan disaksikan oleh seorang pemandu lokal yang diabadikan dalam sebuah video berdurasi pendek, menampilkan situasi gunung saat itu. PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi – red) menanggapi laporan tersebut dengan menghimbau masyrakat untuk tidak panik. Gempa vulkanik pertama sejak tanggal 16 septermber 2017 juga turut mengguncang Desa Sebudi. Pada momen itu pula, pemantuan terus dilakukan baik dari pihak PVMBG maupun warga yang tinggal di sekitar kaki Gunung Agung.

Tepat pada tanggal 18 september 2017 Bupati Karangasem I Gusti Ayu Mas Sumatri, S.Sos., MAP. mengadakan rapat yang dihadiri pemangku dari tiap – tiap kecamatan hingga perangkat desa. Tidak terkecuali Desa Sebudi yang letaknya tidak jauh dari Gunung Agung. Terlebih daerah ini masuk ke dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) III dengan risiko dampak letusan yang tergolong tinggi. Pada wilayah atas Desa Sebudi, para penduduk telah menuju jalut pengungsian, salah satunya menuju Sidemen. Namun, ada pula sebagian warga tidak ingin mengungsi karena percaya bahwa erupsi di tahun 2017 ini tidak akan menimbulkan dampak yang sama di tahun 1963 yang menghilangkan banyak nyawa. Seperti penuturan sekretariat Desa Sebudi, I Nyoman Warka. “ Jika tahun 63 sebagian dari Desa Sebudi ini termasuk terkena lahar. 4.500 jiwa melayang untuk Sebudi saat itu menjadi duka sehingga kami membuatkan monumen untuk warga yang  meninggal pada waktu itu. Pada waktu itu menurut cerita orang-orang tua, saat itu memang benar seperti yang diceritakan masyarakat umum. Gunung mengeluarkan lahar dikatakan memberikan rejeki pada masyarakat,” papar Nyoman Warka.

Tidak berselang lama, pada tanggal 21 hingga 22 september 2017, pihak pemerintah telah meminta warga untuk mengosongkan seluruh Desa Sebudi. Hal ini menjadi kendala dalam mengevakuasi warga yang sempat merasakan kejadian tahun 1963 sehingga harus diungsikan dengan paksa. “Masyarakat yang tua-tua yang tahu kejadian tahun 63 banyak yang tidak mau mengungsi. Sehingga dijemput oleh koramil (Komando Rayon Militer, TNI Angkatan Darat yang berada di tingkat Kecamatan-red) dan timnya. Kejadian lucu dimana tetangga saya ada yang dijerat karena berusaha kabur, itu kejadiannya pada tanggal 23 september,” ungkapnya dengan senyum yang terukir di wajahnya, mengingat ulang kejadian itu.

Kopi – Salah satu jenis tanaman perkebunan yang dapat dijumpai pada Desa Sebudi

Sebelum paristiwa erupsi pada tahun 2017, Desa Sebudi memiliki tempat dengan banyak hutan. Salah satu lahan hutan lindung yang dimiliki Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diambil alih hutan desa. Adanya hutan desa ini menjadikan terbentuknya kelompok-kelompok usaha perhutanan sosial, salah satunya kelompok yang mengatur pariwisata. Perencanaan pada tahun 2015 untuk sektor pariwisata ini telah tersusun sedemikian rupa. Lagi-lagi, bencana tiba-tiba tiba-tiba melanda Desa Sebudi. Pengembangan wisata desa itupun pupus. Belum sempat bangkit dengan sempurna, sektor pariwisata daerah justru dihantam pandemi Covid-19. “Awalnya sudah banyak pemasukan dari tamu, wisatawan, karena situasi saat pandemi ini, macet lah jadinya,” sahut Warka, wajahnya berubah murung.

Terhambatnya sektor pariwisata di Desa Sebudi ini tidak menjadikan desa ini bertekuk lutut, melainkan tetap positif dan berusaha bangkit. Usaha untuk menggerakkan kembali roda perekonomian Desa Sebudi misalnya dilakukan olah I Gusti Made Budiarta selaku Kepala Desa Sebudi. “Kita mengarahkan ‘ayo lah tanam daripada tidak’,” ujarnya meniru ajakan kepada warga desa untuk menanam kembali komoditas yang berpotensi berkembang di Desa Sebudi. Komoditas tesebut layaknya cabe kriting, cabe besar, kopi, dan umbi-umbian.  Selain itu, warga desa diarahkan untuk mengolah limbah kotoran sapi menjadi pupuk. “Hanya itulah yang bisa kita lakukan dari desa,” tambahnya.

Di sisi lain, terbentuknya kelompok sadar wisata kemudian dialihkan untuk mengurusi ternak lebah madu. Desa Sebudi juga memaksimalkan pendapatan dari pertambangan pasir. Pertambangan ini sangat membantu lajunya perekonomian masyarakat Desa Sebudi. Bagi Warka, adanya pertambangan ini dikarenakan lahar panas yang turun dari kawah Gunung Agung menuju kaki gunung sehingga membentuk suatu lubang yang hingga kini dijadikan pertambangan dengan sebutan Galian C. Banyak dari masyarakat sekitar yang menjadikan ini sebagai ladang usaha mereka dengan menjajahkan hasil letusan erupsi yang tidak lain berupa material seperti pasir dan bebatuan. Setelah erupsi, pertanian bergelimang kesuburan.

Kebun Ubi – Lahan perkebunan yang dapat di jumpai di kaki Gunung Agung dan menjadi salah satu matapencaharian masyarakat

Salah satu hasil pertanian yang berjaya di Desa Sebudi adalah ubi. Tidak seperti kebanyakan tanaman perkebunan lain yang membutuhkan perawatan intens. Salah satu petani ubi yang juga warga Desa Sebudi, Ni Nyoman Juniati, menerangkan Ubi tergolong tanaman yang murah perawatan dan penanamannya. Ia sebagai petani hanya perlu menyiapkan lahan perkebunan dengan menggemburkan lahan dan meyiapkan ubi untuk kemudian ditanam, lalu ubi tersebut akan dengan mandirinya tumbuh tanpa pemakaian pestsisida sintetik. Hanya saja ubi di kaki Gunung Agung ini memiliki kendala pada faktor cuaca yang dalam istilah Bali disebut kamalan. Kabut hitam yang merayapi permukaan tanah dan menyelimuti tanaman ini menjadi salah satu faktor eksternal tanaman ubi tumbuh dengan baik. Kamalan yang gelap dan hanya terang di beberapa sisi ini tampak seperti jaring laba-laba. Hal ini membuat ulat terpikat dan mendiami permukaan bawah daun ubi sehingga banyak ditemukan lubang pada daun tanaman ubi di kebun.

Mengingat kejadian pada tahun 2017 ini membuat tanaman perkebunan jenis umbi-umbian yang ditanam mengalami kematian karena sulfur yang diterima tanah menjadikan sifat tanah masam dan umbi di dalamnya mati dan membusuk. Tidak hanya tanaman ubi tetapi seluruh jenis tanaman lainnya juga terkena dampak abu erupsi Gunung Agung. Akan tetapi bagi lahan ubi ini untuk pulih pasca letusan abu vulkanik ini memerlukan waktu 2 tahun lamanya untuk dapat ditanami kembali.

Berkunjung – Petani perkebunan ubi yaitu Ni Nyoman juniati yang mengunjungi lahan perkebunan ubi miliknya

Sehingga, ubi Desa Sebudi lantas begitu unik. Lebih legit, empuk, dan gempal. Adapun dari segi rasa, Ubi ini memiliki rasa asin khas berbeda dengan ubi yang dijumpai di lahan perkebunan di daerah lainnya. “Di sini unggulnya ubi kayu. Tapi akan berbeda-beda setiap lahannya,” ujar Juniati yang sore itu sedang memantau perkebunan ubinya. Panen yang ditunggu untuk tanaman ubi ini hanya menghabiskan 3 sampai 4 bulan dengan ciri daun berwarna kemerahan yang menjadi bahasa tanaman bahwa tanaman itu siap di panen. Harga jual dari ubi ini sebelum pandemi mencapai 80.000 rupiah per karung. Namun, dampak pandemi Covid-19 sekali lagi menjadi salah satu hal yang membuat harga ubi ini menjadi turun. Sayangnya, keunikan hasil panen ubi di Desa Sebudi tidak diwadahi dengan adanya kelompok tani maupun alur distribusi yang belum bersinergi dengan koperasi desa. Sehingga, sebagian besar petani ubi Sebudi ini masih menjual hasil perkebunannya kepada tengkulak. Pendapatan menjadi tidak pasti. Terkadang harga dapat tinggi, tentu dapat saja rendah apalagi harus panen paksa sebelum waktunya.

Reporter: Tara, Gangga, Yunita

Penulis:  Yunita

Penyunting: Galuh

You May Also Like