Desa Besakih menjelma salah satu simbol desa spiritual di Bali lantaran terdapat Pura Besakih. Berbagai kisah merespons marabahaya Gunung Agung tersimpan di dalamnya. Yang pasti; warga desa terikat keyakinan tinggi terhadap leluhur Besakih yang dianggap memiliki posisi penting secara spiritual setiap mara bahaya mengahadang.
Kesakralan Pura Besakih sungguh tersohor di Bali. Pura Besakih yang letaknya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang ini juga menjadi sebuah kebanggan bagi Karangasem. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, pura ini menjadi salah satu ‘tameng’ dari amukan sang pemuntah lahar Gunung Agung. “Kalau di Besakih melebihi mitos yang ada di tempat itu karena besakih dari kawah Gunung Agung adalah barat daya dan berdirinya Pura Besakih itu sangat aman, baik itu dari letusan Gunung Agungnya sangat aman,” ujar Jero Mangku Widiarta selaku Bendesa Adat di Desa Besakih. Bagi Mangku Widiarta, leluhur Desa Besakih telah memikirkan segala kemungkinan dampak letusan bagi Pura Besakih. Oleh karenanya, daerah pura hanya terkena hujan abu.
Kala erupsi di tahun 2017 bahkan, banyak yang bersikukuh untuk tidak mengungsi. Sebab, “seperti pengalaman letusan Gunung Agung tahun 1963, 1908 itu sudah ada alur-alur ceritanya, dan tetua kami menyebutkan tidak akan separah tahun 1963,” lanjut Mangku. Selain berdasarkan perbandingan pada peristiwa 63, ketidak-khawatiran tersebut juga dilandaskan akan terpotongnya Gunung Agung sebesar 142meter pasca letusan. “Sekarang sudah ada kaldera dan kawahnya kan lebih ringan,” tambah pria yang sedang mengenakan baju adat tersebut.
Sisi kelam dari sang gunung yang kerap kali berhubungan dengan Desa Besakih karena letaknya yang cukup dekat, walaupun memang karena medan yang ada, maka lahar tidak mengenai pura yang ada di desa ini. Namun tetap saja beberapa daerah yang ada di Desa Besakih berdampak terhadap letusan gunung. Bahkan mitos mengenai sang gunung yang katanya meletus setiap 100 tahun sekali kerap masih dipercayai warga meskipun data lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Terkait bencana gunung yang terjadi, mitigasi tetap dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Besakih. “Ketika ada bencana kita langsung terima perintah dari dari kabupaten, diteruskan ke kecamatan dan desa untuk menindak lanjuti, kita selalu koordinasi di semua desa terutama desa kami yang rawan bencana, langkah apa yang kami lakukan, dan yang paling penting itu pemetaan pemindahan warga,” ungkap I Nyoman Ada, Kepala Desa Besakih. Meski warga menjunjung referensi pengungsian berdasarkan pertimbangan cerita tetua, pengamatan secara ilmiah tetap berjalan. “Memang kita selalu menunggu, karna pengamatan Gunung Agung kebetulan dekat di rendang, kita selalu update data melalui bagian kegunungan di teknologi tempat disana (PVMBG) juga,” sambungnya.
Kendatipun ada mitigasi yang terstruktur, berada di daerah rawan bencana membuat masyarakat selalu merasa was-was akan sesuatu yang muncul. Bahkan untuk tidur kala erupsi 2017 lalu, rasanya sulit dan penuh ketakutan. “Saat malam diprediksi akan meletus di bulan September 2017, yang dipastikan malam itu akan meletus, malam itu masyarakat turun serentak,” ungkapnya. Untung saja, letusan tak terjadi. Esok pagi, warga memberanikan diri untuk kembali ke kampung halaman, terlebih yang memiliki ternak. Lebih lanjut Nyoman Ada menjelaskan, kondisi perekonomian sungguh terpuruk. Banyak yang menjual cepat ternak mereka dengan harga cuma-cuma. Bahkan, seekor kambing dihargai hanya 50 ribu rupiah.
Sakral di Tengah Bencana
Setiap bencana datang, Pura Besakih tetap ajeg berdiri tak tergoyahkan. Bahkan patung-patung pratima yang ada di Pura tidak ikut diungsikan sekalipun warga mengungsi. “Tidak perlu, kalau pratima (bagian dari suatu bentuk, gambar, maupun rupa dimana menggambarkan dewa untuk menunjukkan kemahakuasaan Tuhan dalam Agama Hindu -red) Ida Betara itu sampai ikut diamankan kan siapa yang akan menempati. Di Besakih semakin ada pratima, semakin kita sakralkan. Berarti beliaunya ada di sekitaran situ,” ungkap Mangku. Pengungsian pratima ialah hal yang mustahil baginya. Oleh karenanya warga desa kukuh mempertahankan pratima agar tetap di Pura Besakih. “Pratima masih aman utuh di tempat pelinggih masing-masing di pura besakih,” tambahnya.
Warga Besakih percaya, leluhur memberkati mereka. Hingga saat ini, dampak-dampak letusan tidak parah menerpa. Oleh karenanya, kesakralan area pura sungguh dijaga. Sebagai salah satu daya tarik wisata, terdapat beberapa syarat masuk menuju Pura Besakih. “Demi menjaga kesucian pura, tamu yang masuk ke besakih tidak boleh masuk kecuali orang yg akan sembahyang sesuai dgn tatanan busana adatnya,” papar Mangku. Sulitnya pengungsian warga Desa Besakih juga diakui oleh Mangku, alasannya masih sama; pertimbangan dampak letusan di tahun 1963. Lebih lanjut, pengungsian akhirnya berhasil dilakukan dengan menggunakan pendekatan melalui aparat kemanan. “Kita selalu dituruti oleh masyarakat, kalaupun ada saat itu yang begitu (tidak mau mengungsi -red) akhirnya ikut ngungsi saat itu,” jelas Nyoman Ada.
Bencana lain yang datang
Bukan hanya musibah gunung dan alam yang mengitari Desa Besakih, namun setelah erupsi 2017, desa ini kembali terkena dampak dari pandemi Covid-19. Rasa bertubi-tubi melalang buana, bencana yang tiada henti berdatangan silih berganti. Namun tetap, masyarakat dan pemerintahan desa bersinergi mengatasi hal ini, agar keterpurukan bukan menjadi alasan untuk tetap terpuruk. Ekonomi yang berangsur juga dipulihkan menjadi membaik dan berusaha bertahan di balik keterpurukan bencana. “Kita doakan pandemi Covid-19 segera berlalu, Sehingga perekonomian kedepannya pulih sesuai dengan harapan dan tentu masyarakat kita lebih sejahtera dari sekarang.” Tutup Mangku.
Reporter : Yunita, Tara, Gangga, Yuko, Ratih, Iyan, Utami
Penulis : Gangga
Penyunting: Galuh