Boleh dibilang, pemandangan di Desa Ban laksana surga. Namun, tim konvergensi media harus melewati jalan terjal di antara jurang. “Takutnya ini kebanyakan ngerem malah jadi jebol,” celetuk Nico Andreas, salah satu tim Jelajah Jurnalistik, saat menyetir mobil hari itu (26/6). Suasana mendadak hening. Penumpang saling lempar senyum sepat. Berusaha tidak terlihat panik.
Sabtu (26/6), Tim Konvergensi Jelajah Jurnalistik kembali melakukan perjalanan ke Karangasem. Kali ini tujuan yang sedikit berbeda dengan perjalanan sebelumnya, sebab data-data mengenai desa ini sulit ditemukan. Daerah yang masih dalam kawasan Kecamatan Kubu itu bernama Desa Ban. Bermodalkan mobil sebagai kendaraan, mengantarkan Tim Konvergensi Media Jelajah Jurnalistik menuju desa yang terletak di kaki Gunung Agung itu. Perkara tuntunan jalan, google maps jawabannya.
Ternyata, perjalanan tidak mudah. Sinyal menjadi kendala awal. Nyoman Gede Tryadhi Putra Setiawan, Wakil Pimpinan Umum Pers Akademika yang turut serta ikut menjelajah ke Desa Ban mengungkapkan ceritanya. “Desa Ban adalah satu-satunya desa yang kita kontak tidak ada kontaknya, nggak bisa ngehubungin kantor desa, dan di sana nggak tau siapa,” ungkapnya. Namun, jelajah harus berjalan. Maka, pria yang akrab disapa Tryadhi bersama lima orang lainnya tetap teguh untuk bertandang menuju Desa Ban. Target awal adalah menuu kantor Desa Ban. Pada awalnya, pemandangan sungguh memanjakan mata. Namun, 30 menit sebelum sampai, pemukiman justru kian jarang menampakkan diri. “Kita kayak di kawasan yang nggak ada pemukimannya dan paniklah semua temen-temen yang di mobil,” ujar Tryadhi dengan antusias saat mengingat pengalamannya ke Desa Ban.
Belum cukup sampai di sana, medan jalan pun terjal diapit jurang. Nico Andreas, salah satu panitia Jelajah Jurnalistik yang bertugas menyetir mobil hari itu, tentu berkeringat dingin. “Perasaan menjadi sopir sungguh melelahkan batin dan fisik karena harus nyupir selama 2 jam dan itu capek banget. Medannya juga cukup seram, itu juga sabar banyak-banyak karena ulah pengendara lain yang barbar di jalanan,” ungkap pria berkacamata itu. Memang, jalan tiada lapang. Sering menanjak, kadang menurun. Yang paling terkenang ialah tatkala mobil yang dikendarai Nico tersangkut di sebuah batu runcing, tepat saat jalan menanjak. “Pas kita di puncak, kita mau turun, tapi jalannya kecil dan terjal dan sampai nabrak batu. Itu benar-benar pengalamann yang parah selama di jalan,” kenang Tryadhi.

Napas baru lega saat Nico berhasil melewati rintangan tersebut. Tim konvergensi media kemudian sampai di kantor Desa Ban. Namun, rasa berdebar datang kembali lantaran tidak adanya kepastian kontak yang dapat dihubungi di Desa Ban. Sesampainya di kantor Desa Ban, ternyata sang kepala desa sedang menghadiri acara di Desa Tianyar. Untungnya, Sekretaris Desa Ban dapat menghampiri tim konvergensi media. Alhasil, mereka harus menunggu selama 15 menit. Satu jam wawancara berlalu. Selama wawancara, pikiran tiada tenang. Pengalaman melalui jalur berangkat amatlah curam. Adakah jalan lainnya? “Maunya nyoba lewat Tulamben, tapi setelah dipelajarin ternyata tidak bisa,” tambah Tryadhi.
Eksplorasi bahan tulisan pun terus bergulir. Selain keterangan sekretaris desa, tim konvergensi media berusaha mendapatkan informasi kontak dusun-dusun yang barada dalam wilayah Desa Ban. Informasi seluruh kontak dusun pun didapatkan. Persoalan berikutnya; tiada sinyal untuk mengontak. Saking susahnya mendapatkan sinyal di Desa Ban, banyak bertebaran warung-warung kelontong yang menyediakan hotspot berbayar. Tidak ada stupun ponsel yang mendapatkan sinyal. Tim konvergensi media kemudian memilih untuk melipir ke salah satu warung kelontong tersebut seraya berusaha mengontak kepala Dusun Ban dan Dusun Cegi. “Ternyata saking nggak ada sinyalnya mereka berbisnis hotspot,” ucap Tryadhi keheranan. Pencarian sinyal berbuahkan hasil, kepala Dusun Ban berhasil dikontak. Misi sukses!

Walaupun banyak problematika dalam jelajah jurnalistik ke Desa Ban, banyak hal baik yang dapat dipelajari. “Saya merasa takjub terhadap pemandangan Desa Ban, karena Desa Ban memiliki pemandangan yang sangat natural. Terlebih saya memiliki pengalaman pertama menuju Desa Ban,” ucap Trisna Cintya, salah satu tim konvergensi media. Hal senada juga dikatakan oleh Tryadhi mengenai bagaimana hal tidak terduga bisa ia lihat di desa pedalaman itu. “Nah, ada pabrik mete kan di sana, tapi jalannya terjal. Akhirnya ke dusun yang ada vetivernya, itu juga ngeri,” lujarnya.
Kengerian itu nyata saat perjalanan menuju Dusun Cegi. Jalan yang sempit dan terus menerus menanjak tajam. Tiada ruang bagi mobil tim konvergensi media untuk memutar balik arah. “Ternyata sampai atas view-nya langka, benar-benar memanjakan mata,” lanjutnya berdecak kagum. Pada akhirnya, jelajah jurnalistik ke Desa Ban adalah yang paling berkesan. Meski dalams eluruh perjalanan selalu mendebarkan. Menghadapi jalanan terjal, pemandangan jurang, ketidakpastian kontak warga Desa Ban, hingga lokasi yang penuh teka-teki. “Pengalaman yang sangat menarik, aku bener-bener ngerasa kek gimana jadi junalis, turun ke lapangan seperti apa, tahu Bali lebih dalam, menarik the best.” Pujinya.

Reporter : Anjany, Cintya, Galuh, Tryadhi
Penulis : Gangga
Penyunting: Galuh