“Apa yang hendak kamu lupakan, Lail?” Elijah kembali bertanya, pertanyaan pertama. Lail, gadis di atas sofa hijau kali ini bisa menjawabnya, meski dengan suara serak. “Aku ingin melupakan hujan,”
Ruangan 4 x 4 m2 itu menampung peralatan medis berteknologi tinggi yang tidak terbayangkan oleh manuaia sebelumnya. Alat-alat yang mampu menghapus memori ingatan manusia. Saat itu, hanya ada paramedis senior berumur lima puluh tahun, Elijah bersama seorang gadis muda di dalam ruangan. Gadis bermuka muram yang membagi satu persatu ceritanya.
Menengok ke kejadian delapan tahun lalu. Hari itu adalah hari yang tidak akan pernah dilupakan di seluruh dunia. Gempa bumi dahsyat terjadi dan hanya menyisakan sepuluh persen penduduk di dunia. Kehidupan di dunia seketika berubah drastis. Termasuk kehidupan Lail, gadis yang menjadi yatim piatu sejak hari itu kala umurnya masih 13 tahun. Nyawanya terselamatkan dari reruntuhan di bawah tanah berkat sambaran tangan seorang laki-laki berusia 15 tahun. Lelaki itu adalah Esok. Lelaki yang membawanya berlari menembus hujan di tengah reruntuhan akibat gempa bumi. Sejak saat itu, Esok yang bukan siapa-siapa Lail menjadi lebih berarti untuk Lail.
Hari-hari Lail menjadi lebih baik sejak bertemu Esok. Di mana ada Lail disitu ada Esok, dan sebaliknya. Namun kebersamaan itu tak berlangsung lama. Setahun setelah sering bersama di pengungsian, mereka harus berpisah. Lail tinggal di panti asuhan dan Esok diangkat oleh seorang keluarga kaya untuk bersekolah setinggi-tingginya. Pertemuan mereka semakin jarang. Meski begitu, Lail tetap sering memikirkan Esok. Beberapa kali Esok datang namun sering juga menghilang. Sampai pada puncaknya Lail terisak, lelah bertanya-tanya apakah Esok mencintainya atau tidak. Hasratnya untuk menghapus kenangan tentang Esok ia bulatkan. Dan sampailah ia pada ruangan kecil itu. Ruangan yang mampu menghapus memori ingatan seseorang.
Cerita tentang Lail dan Esok dirangkai dalam balutan tema science fiction. Kemutakhiran teknologi yang belum pernah ada banyak dimunculkan, membuat pembaca harus berimajinasi membayangkan suasana cerita. Problematika batin antara Lail dan Esok dibumbui dengan permasalahan dunia yang kental dengan dunia ilmiah. Tak hanya tentang Lail dan Esok, kehadiran sosok Maryam sebagai teman baik Lail menjadi cuplikan-cuplikan yang juga menarik.
Alur cerita yang maju mundur secara beriringan menjawab satu persatu teka-teki, membuat pembaca penasaran ingin membalik lembar berikutnya. Meski menggunakan bahasa yang tidak berat, bagi mereka yang kurang menyukai cerita bertema science fiction mungkin akan merasa bosan di awal. Namun seperti biasa, Tere Liye tetap pandai merangkai kata-kata bermakna yang sarat akan nilai kehidupan. Tentang kesedihan, tentang melupakan, tentang kenangan, tentang percintaan, tentang persahabatan, tentang kejutan-kejutan dalam kehidupan semua tertuang di cerita dalam novel Hujan. (Adinda)