Perempuan Dalam Pusaran Perjuangan Mempertahankan Ruang Hidup Warga Sangihe  

Judul                          : Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut

Nama Pengarang     : Dian Purnomo

Bahasa                       : Bahasa Indonesia

Penerbit                     : Gramedia Pustaka Utama

Jumlah halaman       : 278 halaman

Tahun Terbit              : 2023

Kota Terbit                 : Jakarta

Genre                          : Novel

ISBN                            : 9786020673004

“Keberpihakan terhadap lingkungan rasanya masih harus diperjuangkan. Kekayaan dan kekuasaan sepertinya masih menari-menari dan terus memenangkan hati sebagian penyelenggara negara. Mereka masih terus berusaha membuncitkan isi perut dengan berbagai cara, baik lewat korporasi besar maupun bentuk-bentuk kecil perusakan yang diam-diam mereka pelihara dengan cara kotor. Kemudian rakyat yang melawan karena cintanya pada alam dituding anti kemajuan, anti pembangunan.” Kutipan dari bagian awal novel ini menjadi sedikit gambaran akan kisah yang akan kita dengarkan dalam 278 halaman dari karya kedua Dian Purnomo ini.

Sebagaimana karya Dian Purnomo sebelumnya yang lantang menyerukan perjuangan dan perempuan, di novel kali ini Ia mengajak kita untuk melihat bagaimana perjuangan rakyat Sangir (Sangihe) dalam mempertahankan ruang hidupnya yang tergerus oleh tangan dan kaki kotor korporasi tambang lewat kacamata Mawu Mirah. Suara dan nyanyian perjuangan itu, Ia narasikan secara bergelora bersama Shalom Mawira dan rakyat Sangir, mengutip dari persembahan, novel ini adalah sebuah bentuk penyaluran kemarahan sekaligus pengharapan bagi semesta yang berbeda bagi perjuangan warga Sangihe memperjuangkan tanah sebagai ruang hidupnya.

Buku– Lembaran pada buku Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut, yang mengantarkan pembaca ke dalam kisah perjuangan perempuan dan warga Sangihe 

“Negara yang merusak tanahnya, tanpa sadar sedang menghancurkan dirinya sendiri, melukai rakyatnya, mengakhiri negerinya.” Prolog dari novel ini menjadi pintu awal kita pada cerita Shalom Mawira yang dikisahkan melalui rentetan peristiwa yang bersumber dari kisah nyata perjuangan rakyat Sangihe. Shalom adalah perempuan asli Sangir yang kehilangan ayahnya ketika pergi melaut. Ayahnya, tidak pernah menepati janjinya untuk kembali pulang menemui Shalom. Shalom percaya bahwa sang Ayah belum meninggal di lautan lepas, dan Ayahnya hanya sedang mencari jalan untuk kembali ke tanah Sangihe, sejak saat itu Ia berjanji menjaga dan tetap membiarkan Sangihe sebagaimana adanya agar kelak Sang Ayah dapat dengan mudah menemukan jalan pulang.

Perempuan, Tambang dan Perlawanan

Tak hanya Shalom, warga Sangihe juga turut berduka, bukan hanya untuk kepergian Ayah Shalom namun juga ancaman penghilangan atas hak konstitusionalnya yakni ruang hidup dan perampasan kekayaan alam oleh perusahan penambang emas yang oleh orang Sangir disebutnya Perusahan Biongo.

Keberadaan emas bukannya muncul dalam satu-dua tahun belakangan ini. Jauh sebelum Perusahaan Biongo tersebut berusaha mengeruknya, ketika Belanda menjajah Indonesia, warga Sangihe sudah tidur di atas hamparan emas yang tertanam jauh di perut bumi. “Bukan kita pe moyang nyanda tahu, bukan dorang bodoh. Dorang tahu di dalam ibu bumi, di tempat torang tanam kelapa, pala, dan cengkih ini, ada serbuk logam kuning yang menjadi lambang kemenangan, kekayaan, juga keserakahan dan kejahatan,” kutipan dialog Shalom. Rupanya penjajahan tak hanya datang dari Belanda, namun juga datang dari negara lewat para pemilik modal. Bagaimana negara dapat berada dalam posisi mendukung kepentingan kelas borjuis dan memposisikan rakyatnya secara tidak langsung sebagai yang ditindas.

Bagian-bagian berikutnya dalam buku ini menuturkan bagaimana kejahatan perusahaan dalam merenggut tanah untuk dilubangi dan dikeruk kekayaan alamnya. Dalam hal ini perempuanlah yang merasakan dampak paling sengsara. Bagaimana tidak, kegiatan domestik seperti memasak, mencuci, kebutuhan mandi masih harus dipenuhi oleh perempuan. Dampak tambang memang membuat rumah-rumah warga sekitar tak pernah kering “Air selalu menggenang setinggi  mata kaki dan akan naik hingga setinggi dada orang dewasa jika hujan datang.”

Sementara itu air bersih menjadi langka karena bukit yang menjadi sumber air, justru  digunduli yang berdampak pada hilangnya sumber mata air bersih dan menyisakan air sungai keruh dan pekat yang bercampur limbah tambang. Air yang dulunya mengalir secara melimpah oleh alam, kini malah warga tebus dengan uang hasil penambangan yang bahkan hanya cukup membeli kebutuhan sehari-hari, kadang kurang dan harus berhutang. Bagi yang tidak mempunyai cukup uang, mau tidak mau pergi ke tengah hutan untuk mencari air. Janji-janji perusahaan dan negara bahwa tambang emas membawa kesejahteraan warga penduduk sekitar hanya semata-mata untuk memperkaya segelintir pihak yang turut andil mempermulus pengerukan kekayaan alam Sangihe.

45 orang perempuan Sangihe yang geram akhirnya melakukan perjuangan melalui peradilan. Hasil putusan hakim yang memakan waktu berbulan-bulan itu memenangkan tuntutan Perempuan Sangihe, namun kemenangan tersebut hanyalah sementara, pihak Perusahaan diceritakan kembali melakukan upaya Banding ke Pengadilan sementara fakta di lapangan menggores ketenangan warga Sangir. Perusahaan menunjukkan tanda-tanda memulai penambangan dengan mengirimkan alat berat yang diiringi oleh kawalan polisi. Rupanya negara hadir untuk konflik warga Sangihe vs perusahaan, namun berada beriringan di sisi Perusahaan Biongo.

Warga Sangihe yang gusar, melakukan aksi protes dan perlawanan terhadap perusahaan biongo. Sempat dilanda kemenangan, lalu kekalahan, hal tersebut berulang namun akhirnya berakhir dengan kekalahan lagi, warga yang melawan ditahan dengan alasan yang diada-adakan, kriminalisasi dan intimidasi warga tak terhindarkan. Dalam kacamata Mawu Mirah, kekalahan di meja hijau tersebut menjadi pendorong warga Sangihe baik itu perempuan, lelaki, tua dan muda semuanya sepakat untuk turun ke jalanan, menyerukan perlawanan yang dituangkan dalam aksi protes untuk menyelamatkan Sangihe. Begitulah kisah-kisah warga Sangihe yang timbul dan tidak pernah benar-benar tenggelam melawan perusahaan Tambang Emas (Perusahaan Biongo-red) di tanah Sangihe.

Ancaman perampasan tanah sebagai hak ekonomi untuk keberlangsungan hidup, pengerukan tambang emas, kriminalisasi warga yang melawan dan minimnya perlindungan negara bagi masyarakat yang ingin hidup damai dan berkecukupan dari hasil mengolah alam sebelum masuknya PT Tambang Emas Sangihe (TMS) itu, menjadikan warga terbagi menjadi 2 bagian, pro dan kontra penambangan oleh TMS.

Buku ini membawa pesan tersirat untuk kita agar lebih menaruh perhatian bagi warga yang ruang hidup dan hak ekonominya atas tanah terancam dan dirampas oleh pihak-pihak yang hanya memperkaya kantong-kantong kekayaan lewat kekuasaan. Apa yang menimpa warga Sangihe juga dapat terjadi bagi siapa pun dan dimana pun, semasih segelintir pihak menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri, ancaman perampasan tanah sebagai ruang hidup dan hak ekonomi akan terus terjadi, konflik dan perlawanan juga akan berulang terus menerus. Warga masih memiliki keyakinan bahwa pembangunan ekonomi dengan merusak alam sama dengan mewariskan bencana untuk generasi masa depan, bencana untuk kita semua yang menganggap diri masih menjadi manusia.

 

Penulis : Ika

Penyunting : Dyana 

You May Also Like