Di Indonesia, tak jarang transpuan mendapatkan diskriminasi serta perilaku yang tidak menyenangkan. Hal ini diakui oleh Kimora dan Melati, salah satu transpuan saat menjadi pembicara dalam talkshow Women March Bali. Lewat talkshow bertema “Transpuan, Sudah kah Kita Setara?”, mereka memperjuangkan kesetaraan gender dan mengupayakan edukasi pada publik.
Dalam rangka memperingati hari perempuan se-dunia yang ditetapkan pada Minggu, 8 Maret 2020, Women’s March Bali mengadakan talkshow sebagai pre-event, yang mengangkat tema “Transpuan, Sudah kah Kita Setara?”. Acara yang berlangsung di Rumah Sanur Creative HUB ini dihadiri oleh tiga orang narasumber. Mereka ialah Luh Putu Anggreni, S.H (Sekretaris LBH APIK Bali), Meghan Kimorales (Koordinator Lapangan Yayasan Gaya Dewata), dan Melati (transpuan). Talkshow ini pun dipadu oleh mederator dari GSHR Udayana, Pritania Savitri, S.S. (Koordinator Studi HAM GSHR Udayana).
Meghan Kimorales, memulai pembicaraan dengan pandanganya terhadap konsep kesetaraan gender. “Kesetaraan ialah ketika masyarakat bisa menerima adanya perbedaan, tidak lagi melihat perbedaan dengan sebelah mata” ujar transpuan yang akrab disapa Kimora itu. Senada dengan Kimora, Melati berpendapat bahwa kesetaraan baginya adalah ketika masyarakat tidak selalu melihat perbedaan dengan pandangan negatif. Ia pun kemudian menceritakan pengalamannya sebagai seorang transpuan yang selalu dipandang sebelah mata dari gender yang lain, padahal baginya, para transpuan banyak melakukan hal positif.
Transpuan, sudah kah kita setara?– acara talkshow woman’s March
Women right – Karya poster dari para peserta
Lika-Liku Perjalanan Pencarian Jati Diri
Lebih lanjut, menjadi seorang transpuan adalah jalan hidup yang mereka pilih, perasaan nyaman yang tumbuh saat melakukan hal-hal feminim mulai menyadarkan mereka. Seperti yang Kimora dan Melati rasakan, sedari kecil mereka sama-sama sudah menyadari bahwa mereka lebih tertarik pada hal-hal yang berbau feminim ketimbang hal-hal yang biasanya anak laki-laki seusianya sukai. “Saya merasa hanya terlahir dengan fisik laki-laki, namun jiwa saya adalah seorang perempuan” ucap Kimora. Keinginan untuk menjadi seorang transpuan itu mereka akui mulai tumbuh ketika beranjak dewasa. Hingga akhirnya mereka berdua memilih menjadi seorang transpuan.
Memilih menjadi transpuan bukanlah jalan yang mudah. Ada gejolak dalam diri yang dirasakan oleh Kimora maupun Melati. Awalnya mereka selalu memendam perasaan tidak nyaman ketika mereka berusaha untuk menjadi seorang laki-laki seutuhnya, merasa itu bukanlah jati diri mereka. Di sisi lain, Melati juga bertutur tentang adanya penolakan yang mereka dapatkan terkait kondisi yang mereka alami. Orang tua Melati bahkan menentang ketika mengetahui hal ini, namun seiring perjalanan waktu yang panjang, dengan berbagai penjelasan yang Melati berikan kepada orang tuanya, maka mereka mulai memaklumi keadaan melati. “Pasti ya penolakan itu akan selalu ada, seringnya ketika saya jalan di tempat umum saya diliat dengan pandangan yang berbeda,” tuturnya.
Pandangan yang berbeda itu terlihat dari bahasa tubuh orang-orang di sekitar yang melihat Melati. Hal ini tentu menjadi pengalaman yang kurang menyenangkan baginya. “Dari cara mereka bisik-bisik, terus ketawa ketika melihat kita, dari sorot matanya itu kita udah tau kalo mereka nggak suka dengan keberadaan kita,” tambahnya. Situasi tersebut yan kerap membuat Melati was-was. Ia mengungkap, dirinya pun harus melihat situasi lingkungan sekitar apabila bepergian, sebab menghindari situasi yang membuatnya merasa tidak nyaman.
“Siapa sih yang ingin terlahir dengan kondisi berbeda?” tutur Luh Putu Anggreni, S.H menanggapi. Anggreni yang merupakan pegiat hukum itu memaparkan bagaimana Transpuan semestinya mendapatkan hak yang sama di mata hukum sebagai seorang manusia. Hal tersebut bukan tanpa alasan, ia kemudian menyinggung mengenai deklarasi Universal Hak – Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights yang merupakan suatu deklarasi mengenai perlindungan Hak Asasi Manusia. Pada pasal 6 tertulis, “setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada”, serta pada pasal 7 yang berbunyi “semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini”. Anggreni menegaskan, sebagai “manusia pribadi” yang ditekankan dalam pasal 6, para transpuan memiliki hak yang sama di hadapan hukum tanpa dibeda-bedakan.
Edukasi melalui Berbagai Pendekatan
Menurut Kimora dan Melati, sebagai seorang transpuan yang lahir dan bertempat tinggal di Bali, warga Bali memiliki toleransi yang tinggi dan sudah lebih terbuka dengan keadaan mereka, walaupun tidak dipungkiri belum sepenuhnya masyarakat dapat menerima mereka. Tetapi kondisi di Bali mereka anggap jauh lebih baik dari tempat-tempat yang lain. Kimora berpendapat bahwa sangat perlu adanya edukasi kepada masyarakat awam yang tidak mengenal apa itu transpuan, karena masih ada masyarakat yang menganggap bahwa kondisi mereka adalah penyakit yang dapat menular. Padahal, memilih spektrum gender apapun, merupakan proses penghayatan dalam pencarian jati diri.
“Kalau Kimora sendiri pernah punya pengalaman di Bogor, waktu lagi jalan-jalan di kebun raya bogor banyak anak-anak yang ngejek-ngejek gitu, mereka pada ngeliatin sambil ngata-ngatain aku banci, tapi aku sih nanggepinnya cuman senyum doang,” ujar Kimora yang turut menceritakan pengalamannya. Namun, Kimora tak menyerah, justru dengan kondisi tersebut ia ingin memulai edukasi terhadap masyarakat. “Saya ajak mereka ngobrol, orang tuanya yang tadinya natap-natapin akhirnya juga ikutan ngobrol, terus saya kasih tau deh cerita tentang saya, yang awalnya tidak tau mereka kan jadi tau,” tambahnya. Menurutnya, mengobrol secara santai merupakan pendekatan yang tepat untuk mengedukasi masyarakat tentang keberadaannya. “Tapi kita lihat-lihat juga, kalau orangnya yang keliatannya tidak bisa diajak ngobrol yah palingan tanggepin dengan senyum saja cukup,” lanjutnya seraya tersenyum.
Tidak Melulu tentang Waria di Pinggir Jalan
“Transpuan tidak melulu tentang waria yang berdiri di pinggir-pinggir jalan, kami juga memiliki prestasi yang bisa dibanggakan, saya sendiri sering mengikuti perlombaan-perlombaan,” ujar Kimora. Berbagai model kecantikan seperti modelling, beauty pageant, pun tak luput disebut olehnya. Selain itu, Kimora juga mengungkap, para transpuan lain juga aktif berkarya. “Banyak dari teman-teman saya yang menjadi desainer, membuat kostum buat banyak event.” akunya. Sama dengan pengalaman Melati, ia sedari kecil juga menyukai tarian dan tertarik untuk selalu melestarikan kebudayaan Bali. Perihal pesan, mereka serempak menjawab bahwa pendidikan adalah yang hal penting. Melati mengungkap, jika dirinya dan banyak transpuan lain tidak dapat menikmati bangku kuliah dikarenakan kondisi mereka yang selalu dipandang sebelah mata.
Penulis : Kausalya Ayu
Penyunting : Galuh Sriwedari