Mungkinkah Masyarakat Bali Akan ‘Tersedak’ Pendatang?

Bentangan gambar dengan ukuran jumbo berjejer tak beraturan. Benda itu seakan-akan menjadi saksi kemacetan lalu lintas yang terjadi sepanjang hari di persimpangan Dewa Ruci.

Kemacetan yang melanda Bali membuat Pemerintah Bali membangun jalan underpass Dewa Ruci serta jalan di atas perairan (JDP). Jalan diatas perairan merupakan jalan tol yang menghubungkan antara Benoa, Bandara, dan Nusa Dua. Bukan hanya jalan yang dibenahi, Bandara Ngurah Rai pun menjadi sasaran pembangunan fisik yang dilakukan. Tujuannya perluasan dan perbaikan utamanya untuk terminal internasional.

Dalam sebuah media online disebutkan bahwa berkat pembangunan besar–besaran ini, sektor pembangunan di Bali meningkat dari 4.92 persen pada triwulan I menjadi 6.03 persen di triwulan II. Hanya saja, bagaimana dampak pembangunan fisik ini terhadap hidup masyarakat Bali kedepannya?

Sorotan tajam ini terlontar dari penulis dan enterpreneur Bali, I Gede Aryantha Soethama. Bagi Aryantha, pembangunan fisik di Bali selatan menunjukkan pertumbuhan ekonomi Bali dan perkembangan pariwisata yang semakin baik. Bila toh kedepannya infrastruktur Bali yang nyaman tersebut terwujud, pendatang banyak yang masuk, Aryantha tidak mempermasalahkannya.

“Kita tidak bisa melarang orang untuk masuk ke daerah ini kan?” tanya Aryantha tegas. Aryantha menyebutkan pembangunan fisik yang dilakukan di Bali selatan tidak perlu dicemaskan. Apakah nantinya akan menimbulkan kemacetan lagi atau banyak penduduk yang datang. Karena tanpa pembangunan itu, pendatang pun akan berdatangan ke Bali. “Yang perlu dicemaskan adalah betapa bodohnya orang Bali,” tutur Aryantha.

Kebodohan orang Bali yang dimaksudkan oleh Aryantha dimana orang Bali sendiri tidak mampu bersaing dengan pendatang. “Orang Bali terlalu percaya takhayul dan terlalu banyak upacara,” katanya. Aryantha menyebutkan, untuk ngenteg linggih sampai dua puluh lima juta saja mampu, tetapi untuk menyekolahkan anak selalu berkata tidak ada uang. “Bukannya saya melarang upacara, tapi intensitasnya lebih diminimalkanlah,” tuturnya.

Masalah takhayul, orang Bali menurut Aryantha mudah percaya dengan hal–hal magis. “Misalnya seperti tidak boleh berdagang di setra. Tapi lihat di Setra Badung sekarang. Siapa yang banyak berdagang disana? Pendatang kan?” tandas Aryantha. Tidak hanya itu. Saat Aryantha perlu pegawai untuk percetakaan yang dimilikinya, karena pegawai Bali-nya sibuk dengan upacara di kampung, mau tidak mau Aryantha harus mencari pegawai dari pendatang.

Secara tidak langsung, imigran tersebut akan datang membawa serta anak dan istrinya. “Ini juga memicu ledakan penduduk di Bali,” ujarnya.

Senada dengan Aryantha, Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bali, I Made Arjaya pun mengungkapkan hal yang sama. “Oh tidak, tidak. Tanpa pembangunan bandara ataupun jalan tol pendatang pasti datang,” timpal Arjaya.

Arjaya menambahkan, pembangunan seperti ini akan terjadi di kota manapun dan tidak bisa dicegah. “Karena ini merupakan pertumbuhan ekonomi. Dibangun seperti demikian, juga untuk kenyamanan masyarakat Bali sendiri,” imbuhnya. Apalagi sekarang akan ditambah dengan kenyamanan infrastruktur yang diberikan oleh Bali. Sangat memungkinkan bila suatu saat nanti Bali akan digempur pendatang layaknya Jakarta. Belum apa-apa, 4 juta orang sudah menghuni Bali dan 400.000 diantaranya adalah pendatang.

Menanggapi hal tersebut, Arjaya menjawab, “Untuk itulah orang Bali harus pintar”. Pemerintah sendiri sudah menyiapkan beasiswa, fasilitas-fasilitas di sekolah, serta hal–hal lainnya yang bergerak di bidang pendidikan.

“Kita tidak punya apa-apa yang bisa diandalkan selain sumber daya manusia sendiri (SDM). Makanya SDM kita dituntut untuk pintar,” serunya. Untungnya, bila disandingkan dengan pendatang lokal, masyarakat Bali sudah mampu bersaing. “Sekarang banyak kok orang Bali jadi manajer hotel, punya hotel juga. Jadi kalau dengan pendatang masih dalam negeri, orang Bali tidak kalah saing,” jelas Arjaya.

Sampai saat ini belum ada orang Bali yang berani menanam investasi, selain karena pengetahun mereka mengenai bisnis masih belum memadai, mereka juga terbentur masalah modal. “Nah inilah pentingnya pendidikan, misalnya saja kapal pesiar. Jadi pembantu di kapal pesiar, balik-balik bawa modal untuk buka warung, supermarket misalnya,” tandas Arjaya.

Dengan cara ini diharapkan nantinya masyarakat Bali mampu bersaing dalam ekonomi global. Lantas, bila suatu saat nanti Bali benar–benar digempur pendatang apakah pembangunan yang menimbulkan kenyamanan infrastruktur patut disalahkan? Atau ketidakmampuan Sumber Daya Manusia Bali bersaing dengan pendatang yang ada harus disalahkan? Jawaban hanya pada waktu. (Eka Apsari)

You May Also Like