“Perusahaan dalam membangun sarana dan prasarana pariwisata alam didasarkan kepada design fisik dan masterplan yang telah disahkan, dan dilarang menebang pohon tanpa izin khusus yang dikeluarkan Dinas Kehutanan Provinsi Bali.”
Begitulah penggalan isi lampiran izin dari Gubernur Bali kepada PT. Tirta Rahmat Bahari (TRB) untuk mengadakan pengusahaan pariwisata alam di taman hutan raya (tahura) Ngurah Rai. Bagian ini merupakan akar dari polemik yang bergulir selama dua bulan terakhir. Di satu sisi, pihak PT. TRB menyatakan bagian tersebut sebagai landasan hukum dan jaminan bahwa PT. TRB tidak akan memotong pohon mangrove.
Sementara, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) berpendapat bahwa, izin khusus penebangan pohon merupakan bentuk dari toleransi untuk menebang pohon. “Tidak sesuai dengan apa yang mereka gembar-gemborkan, tidak boleh menebang pohon, titik! Tapi diizin tidak boleh menebang pohon koma!,” ungkap I Wayan Gendo Suardana, Ketua Dewan Daerah WALHI Bali.
Itulah alasan WALHI yang berpendapat bahwa izin yang fleksible ini belum bisa menyediakan jaminan apa pun mangrove akan aman ditangan pihak investor. Mangrove merupakan kawasan penting bagi pulau Bali yang sekaligus merupakan daerah yang rawan amblesan dan kawasan mitigasi bencana. “Jika sewaktu-waktu ada gempa 7,2 SR maka tanah itu sifatnya jadi seperti air. Di situ dia bisa ambles,” ujar Suriadi Darmoko, S.Ag. selaku Deputi Direktur Eksekutif Daerah WALHI Bali.
Fungsi Ekonomi
Di tengah ancaman tsunami yang rawan terjadi di wilayah kepulauan seperti di Indonesia, keberadaan hutan mangrove sangatlah penting. Secara fisik, fungsi hutan mangrove adalah sebagai pencegah abrasi dan menjaga kestabilan garis pantai. “Secara hukumnya dia (mangrove) itu Tahura. Tapi secara faktual dia adalah kawasan hutan perlindungan setempat. Dia juga adalah kawasan mitigasi bencana,” tanggap Gendo mengenai fungsi hutan mangrove.
Di sisi lain, hutan mangrove juga memiliki fungsi ekonomi. Salah satu contohnya adalah pemanfaatan sebagai ekowisata, dimana negara akan menerima devisa dari pembayaran karcis pengunjung. Hal ini juga menjamin pengunjung mendapatkan fasilitas yang memadai demi keamanan dan kenyamanannya. “Itu karena mengingat akses berupa papan tracking tidak akan selamanya layak digunakan, kita perlu dana juga untuk menggantinya,” imbuh Komang Ribek, Komisaris PT. TRB.
Terkait dengan fungsi ekonomi dari wilayah pemanfaatan Tahura ini, pihak WALHI menjelaskan bahwa tidak ada keharusan untuk membangun akomodasi di dalam Tahura. “Tahura memiliki tiga pembagian zona. Salah satunya adalah zona pemanfaatan intensif yang menjadi lokasi daerah pembangunan ekowisata oleh PT. TRB ini. Zona ini berfungsi sebagai tempat rekreasi dan wisata alam.
Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik), luas hutan di Bali hanya sebesar 22,59% pada tahun 2009. Data ini menunjukkan bahwa Bali dalam keadaan defisit dari segi jumlah hutan. Bahkan ada isu yang menyatakan bahwa pemerintah akan melakukan moratorium pembangunan akomodasi pariwisata di tahun 2013. Ini justru menjadi alasan yang menguatkan pencabutan izin proyek ini. “Udah tahu hutan kita kritis, udah tahu kita mau melakukan moratorium, kenapa dikeluarkan mengeluarkan izin ini, yang jelas-jelas di situ ada akomodasi?” tambahnya.
Isu Kepercayaan dan Politik
Ditanyai mengenai jaminan pihak ketiga akan mengikuti aturan, WALHI menyangsikannya. “Pemerintah emang bisa dipercaya? Abuse of power-nya kan besar. Penyalahgunaan wewenang dan kekuasaannya besar,” ungkap Gendo.
Kesangsian serupa juga dirasakan oleh Ida Bagus Anggapurana Pidada. “Untuk sementara, pengawasan mungkin sedang gencar-gencarnya. Jangankan sampai lima puluh tahun, sepuluh tahun saja bisa tidak diperhatikan lagi. Belum lagi jika ada “apa-apa” antara pihak ketiga dengan pemerintah,” sahut Angga selaku ketua panitia dalam diskusi Tahura yang diadakan BEM PM Universitas Udayana.
Menurut Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Vedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa III, masalah isu kepercayaan ini merupakan masalah utama ditengah budaya orang Bali yang cukup apatis terhadap politik. “Sehingga hal ini menguntungkan pemerintah yang sewenang-wenang dalam mengambil kebijakan publik,” pungkasnya.
Arya sendiri menambahkan bahwa keberhasilan proyek ini tergantung dari tiga hal, yaitu ketegasan visi, leadership dan proses politik. Polemik Tahura ini rawan akan kepentingan politik. Beberapa pihak saling menuding ditunggangi kepentingan politik. Seperti yang diungkapkan oleh Gendo yang sempat menerima tudingan ini dari Gubernur I Made Mangku Pastika. “Kami sendiri sudah pernah dapat tudingan kepentingan politik bahkan dari gubernur langsung. Tapi kan gubernur sendiri sudah mengklarifikasi. Akhirnya gubernur minta maaf,” ungkapnya lebih lanjut.
Sementara pihak PT. TRB merasa dipolitisasi dengan banyaknya pemberitaan yang salah mengenai maksud pihak PT. TRB dalam proyek ekowisata ini. “Kami ini diberitakan terlalu berlebihan. Bingung sekali. Padahal niat kami bagus, kok beritanya seperti itu?,” keluh I Nyoman Swianta, Direktur PT. TRB. Swianta juga kecewa karena pemberitaan yang dibuat tersebut tidak berdasarkan pembicaraan dengan pihak PT.TRB. “Kenapa nggak ketemu kami dulu, atau bicara dengan kami. Kenapa kami undang tapi tidak datang? Kenapa kami dipolitisasi seperti ini?” ungkapnya. (yuni & resita)