Merantau ke luar daerah menyenangkan sekaligus penuh tantangan. Senangnya, bisa mengetahui budaya asal tempat merantau, tidak enaknya kala uang simpanan semakin menipis. Masih teringat kala itu adalah awal-awal masa merantauku di Bali untuk mengenyam pendidikan di Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran. Pada waktu itu, malam semakin larut, namun diri ini kian tersungut saat perut tak bisa diajak berkompromi, bertemu dengan isi persediaan makanan yang hanya ada sebungkus mie instan bukanlah pilihan tepat, karena tak sehat. Mengingat aku yang kerap kali mengonsumsinya. Uang dari sanak keluarga di Jawa kian pas-pasan, akhirnya aku putuskan untuk menyusuri jalanan sekitar kosku dan pilihan pun jatuh pada nasi yang terbungkus daun pisang. “nasi jinggo” itulah tulisan yang terpampang di meja penuh dengan nasi itu. Hanya dengan Rp. 10.000, dua bungkus nasi jinggo pun sudah ada ditangan.
Makanan yang telah ada dalam genggaman membuat diriku semakin bersemangat dan mata pun tertuju pada berbagai penjuru arah. Ternyata banyak juga yang menjual nasi jinggo di sekitar kos yang aku tempati. Rasa ingin tahu pun kian memuncak, sebab setelah aku amati pasar persaingan sempurna terbentuk pada penjualan hidangan ini. Memangnya apa sih yang menjadikan nasi ini begitu spesial? Pikirku. Semuanya pun terjawab setelah aku tiba di kos dan mulai menyantapnya. Rasanya terbilang enak untuk nasi yang dibanderol dengan harga Rp. 5000 per bungkusnya, namun bagiku yang paling spesial adalah sambalnya, pedasnya luar biasa membuatku kian lahap menyantap nasi beserta lauknya.
Hampir setahun lebih aku merantau, nasi jinggo kerap kali hadir dalam setiap laparku. Isiannya yang lengkap seperti nasi, tempe manis, mie telur dengan sayur kol, serondeng, kacang kedelai, daging ayam suir, dan yang tak kalah penting adalah sambalnya yang pedas, dengan harga yang terjangkau membuatku memasukkan si jinggo ini pada daftar menu makanku. Asalku dari Jawa, tepatnya di Bogor seingatku tak pernah aku temui nasi jinggo ini di tempat asalku. Sejarah pemberian nama “jinggo” pada nasi porsi kucing yang terbungkus daun pisang ini pun tak pasti, namun yang paling banyak tersiar adalah kata jinggo berasal dari bahasa Hokkien yang artinya “seribu lima ratus”, sesuai dengan harga pasaran nasi jinggo kala krisis moneter belum menghantam nusantara. Versi lain menyebutkan nama jinggo berasal dari judul film “Djanggo” yang populer pada masa itu. Siul sejarah lainnya menyatakan bahwa nama Jinggo berasal dari kata “jagoan”, yaitu para pengendara motor asli Bali, yang mana nasi jinggo ini merupakan makanan favorit para pengendara motor tersebut sehabis pelesiran malam.
Dalam beberapa jurnal maupun pemberitaan, nasi jinggo mulai masif dijual sekitar tahun 1980-an. Dikatakan oleh para penjual, nasi jinggo pertama kali dijajakan di pinggiran Jalan Gajah Mada, Denpasar oleh pasangan suami istri yang berjualan dari sore hingga malam hari. Sebagai episentrum perdagangan, jalan ini pun dihiasi pemandangan yang sibuk akan aktivitas jual-beli lantaran kios yang berjejer dan yang tak kalah penting keberadaan Pasar Kumbasari yang buka 24 jam, semakin menambah keramaian. Beraktivitas dari pagi ke pagi, membuat para pedagang harus terjaga dan menjaga stamina, sehingga sebagai pengganjal perut nasi jinggo pun menjadi pilihan.
Seiring dengan berkembangnya zaman, nasi jinggo pun hadir dengan varian yang beragam namun tetap sama, dibungkus daun pisang dan disatukan dengan semat (lidi dari bambu-red). Lauk yang disajikan menjadi variannya, untuk yang boleh menyantap daging babi, babi kecap dan lemaknya siap terbungkus. Sedangkan yang tak boleh menyantap daging babi ada pilihan ayam suir dan ikan asap suir. Harga nasi jinggo pun kian beragam, semakin besar ukurannya dan lengkap isiannya harga yang tertera pun meningkat, dengan lokasi jualan yang berbeda pula, di restoran harganya tentu berbeda dengan lapak di pinggir jalan. Namun, tetap saja favoritku adalah yang berlapak di pinggir jalan, harganya pas dikantongku dan rasanya masih tetap pol.
Penulis: Devih Lestari
Penyunting: Yuko Utami