Teduhkan Diri dalam Kesunyian Aksara
Balutan filosofi nan belenggu mitologi elok terpatri dalam keyakinan masyarakat Bali dalam memaknai Hari Saraswati. Sayup-sayup nasihat dilantunkan. Jangan menulis dan membaca di kala menyambut Hari Saraswati. Begitulah katanya, lantas mengapa demikian?
Pada Saniscara Umanis Wuku Watugunung yang jatuh setiap enam bulan sekali, umat Hindu akan merayakan Hari Suci Saraswati sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan. Tahun ini, Hari Suci Saraswati tepat jatuh pada Sabtu, 8 Februari 2025. Jika membahas mengenai hari suci tersebut, maka tidak akan terlepas dari tokoh Dewi Saraswati sebagai dewi ilmu pengetahuan, yang digambarkan sebagai dewi berparas cantik. Penggambaran ini datang dari India yang juga merupakan asal muasal agama Hindu. Namun ternyata di Nusantara, khususnya di Bali, masyarakat memandang visualisasi dari Dewi Saraswati bukan hanya dari parasnya yang cantik.
Melalui wawancara yang dilakukan tim redaksi bersama Dr. I Wayan Gede Wisnu, S.S., M.Si. pada (8/02/25), menerangkan bahwa visual Dewi Saraswati secara tradisi dapat dijumpai dalam banten Saraswati, yakni berupa cecek (cicak–Red) sebagai makhluk hidup yang peka dan mampu memberikan isyarat terhadap sesuatu yang bersifat gaib atau magis. Secara filosofis, ahli-ahli sastra juga mengartikan cecek sebagai “titik”. Cecek disimbolkan sebagai dewi pengetahuan, yang selalu diawali dari sesuatu yang terlihat kecil.
“Sama seperti menulis huruf Bali, ada yang namanya cecek atau titik. Ketika menulis huruf Bali kita menggunakan pengrupak (pisau kecil runcing yang menjadi alat menyurat lontar–Red), ketika pengrupak ditancap akan muncul suara ‘cek’ ‘cek’, lalu tergoreslah aksara. Setelah selesai, aksara diakhiri dengan cecek,” papar Gede Wisnu.
Menurut tradisi, pemujaan Hari Suci Saraswati dimulai dari pagi hingga siang hari ketika matahari masih bersinar, karena kehadiran matahari dianggap mewakili energi sakti Brahma yaitu elemen api. Sementara pemujaan berlangsung di siang hari, pendalaman dan perenungan makna dilaksanakan pada malam harinya, yang kemudian berlanjut hingga pagi hari berikutnya pada saat Banyu Pinaruh (hari suci Umat Hindu Bali–Red). Filosofi yang terkandung dalam tradisi ini mengibaratkan pengetahuan sebagai aliran air yang terus mengalir, di mana energi pengetahuan yang terbangun pada malam hari diwujudkan melalui Banyu Pinaruh, yang membawa kehidupan bagi semesta.
Pembahasan mengenai Hari Suci Saraswati juga dilakukan oleh Ida Pandita Mpu Acharya Nanda dalam sebuah dharma wacana di kanal Youtube “Budayanya Bali” pada 21 Oktober 2022. Dalam pembahasan tersebut, beliau menyebutkan bahwa Hari Suci Saraswati juga kerap disebut sebagai “Brata Saraswati”, bukan perayaan. Itulah sebabnya disebut dengan hari suci, berbeda dengan Hari Raya Galungan yang identik dengan perayaan. “Saraswati bukan hari raya tapi hari suci, berarti ada upaya yang dilakukan. Bukan harinya saja yang suci, tapi bagaimana hari itu mampu memberi makna dan memberikan imbas kepada diri kita agar mampu pula menyucikan diri kita,” jelasnya.
Menanggapi penjelasan tersebut, Gede Wisnu menuturkan bahwa sejauh ini “Brata Saraswati” tidak diungkapkan secara jelas. Hanya saja ketika hari tersebut tiba, setiap umat Hindu diarahkan untuk memuliakan Saraswati melalui pemuliaan aksara Bali. Namun, pemahaman saat ini berkembang lebih luas. Dalam konteks pemujaan Saraswati, ada semacam brata atau pengekangan diri dengan menghentikan sementara aktivitas menulis. Sama halnya dengan Hari Nyepi, Umat hindu dianjurkan untuk tidak melakukan aktivitas sejenak. “Hari ini (Hari Saraswati–Red) kita diam, lupakan yang namanya belajar-mengajar, membaca, menulis, apapun kita hentikan di hari ini, itu ekstremnya. Namun dalam keterbatasan kita masih bisa memberikan toleransi-toleransi kepada umat sekalian, bahwa hal-hal yang masih bisa kita toleransi, kita bisa lakukan,” jelasnya.
Keadaan dan keterbatasan memaksa umat tidak sepenuhnya melakukan “Brata Saraswati”. Dijelaskan bahwa pada saat malam Saraswati, umat Hindu diperbolehkan untuk mengumandangkan sastra atau membaca kitab suci. Namun jika ingin benar-benar menghayati esensi Saraswati, Umat Hindu sebaiknya menghindari kegiatan menulis dan membaca. Gede Wisnu menjelaskan bahwa aktivitas membaca masih diperbolehkan, tetapi melukai/mematikan aksara tetap dilarang. Melukai yang dimaksud adalah menghapus Aksara Bali. Mematikan Aksara Bali tidak sama seperti menghapus huruf latin biasa. Penghapusan tidak dilakukan dengan mencoret, melainkan dengan menambahkan dengan Aksara Suku dan Ulu. Oleh karena itu, pada Hari Saraswati kegiatan menulis dilarang karena dianggap rentan dengan kesalahan terutama dalam menulis Aksara Bali.
Dalam upaya mengikuti “Brata Saraswati”, keselarasan antara tradisi dan keyakinan adalah fondasi utama. Kearifan/tradisi mengajarkan untuk berhati-hati melakukan sesuatu, sedangkan keyakinan membentuk pribadi dan capaian seseorang. Ketika umat Hindu telah terbelenggu dengan keyakinan, keyakinan akan Saraswati dan memaksakan diri untuk melakukan kegiatan yang sebenarnya dilarang, hal tersebut justru dapat membawa dampak negatif. Hingga kini, belum ada bukti yang menunjukkan bahwa menulis pada Hari Saraswati dapat menyebabkan umat Hindu jatuh sakit. Namun, masyarakat Bali meyakini konsep “ila-ila”, yang merujuk pada hal-hal yang dapat mengganggu perjalanan seseorang dalam dunia akademik.
Pemuliaan Saraswati sebagai dewi ilmu pengetahuan dapat dilakukan dengan cara menyucikan lingga Saraswati serta aksara. Pada intinya, Hari Saraswati adalah momen untuk merenungkan dan menghargai ilmu pengetahuan, seperti merenungkan tujuan dari ilmu pengetahuan tersebut. Hal ini bertujuan agar ilmu pengetahuan yang dititipkan kepada umat manusia tidak dipergunakan untuk merusak/menghancurkan alam semesta. Gede Wisnu menuturkan “Hari raya Saraswati atau hari raya apapun, rayakan dengan penuh pemahaman yang bersifat filosofis. Serta dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat kontekstual sehingga kita tidak terbelenggu pada hal-hal yang bersifat mitologis yang membuat kita hidup dalam suasana yang irasional,” tutupnya.
Penulis: Tegar Dwipa & Dea Cahyani
Penyunting: Gung Putri

