Nuansa Perayaan Galungan begitu erat dengan semarak penjor yang menghiasi setiap rumah umat Hindu yang merayakannya. Penjor yang merupakan sarana upakara wajib dalam Galungan bukan hanya memiliki fungsi sakral, tetapi juga kini bertransformasi menjadi dekorasi yang membuka rezeki bagi sekitarnya.
Hari Raya Galungan dimaknai sebagai hari kemenangan dharma (sifat baik) melawan adharma (sifat buruk) yang dirayakan setiap 210 hari atau setiap 6 bulan sekali dalam kalender Bali, tepatnya setiap Budha Kliwon Djjungulan. Perayaan Galungan tak lepas dari mitologi Hindu-Bali yang mengisahkan perayaan ini sudah dimulai sejak abad ke-9 masehi, tetapi sempat terhenti selama bertahun-tahun sehingga menyebabkan beberapa raja yang memimpin di masa tersebut berumur pendek dan pulau Dewata kerap dilanda bencana. Sampai masa pemerintahan Raja Sri Jaya Kesunu yang memulai kembali perayaan Galungan, setelah sang Raja mendapatkan wahyu dari Dewi Durga dalam pertapaanya. Oleh karena itu pula, Raja Sri Jaya Kesunu memerintahkan untuk membuat penjor sebagai sarana persembahan atau ungkapan terima kasih atas kesejahteraan yang diberikan oleh Tuhan.
Hingga kini, Penjor menjadi sarana upakara wajib dalam setiap perayaan Galungan yang menjadi ciri khas hari Raya Galungan. Umumnya, penjor akan dibuat sehari sebelum perayaan Galungan, yang dikenal dengan hari Penampahan Galungan, lalu dipasang di depan rumah, tepatnya di sebelah kanan pintu gerbang rumah atau di depan Sanggah Lebuh. Penjor terbuat dari bahan-bahan alami seperti bambu dengan ujung melengkung yang dihiasi reringkitan, biasanya dari daun janur atau enau yang masih muda. Pada bagian ujungnya digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Selain itu, pada bagian lengkungan penjor juga dilengkapi dengan pala bungkah (umbi-umbian), palawija (jagung, padi, dan sejenisnya), pala gantung (kelapa, mentimun, pisang, dan buah lainnya), kain putih dan kuning, serta jajanan. Pada bagian bawah, terdapat Sanggah Ardha Candra atau sanggah yang diisi sajen atau banten penjor.
Menariknya, kini pemanfaatan penjor semakin berkembang, tidak hanya bermakna religi nan sakral tetapi juga mulai mengedepankan unsur seni yang mempercantik penjor untuk perayaan. Situasi ini mendorong pemanfaatan penjor bukan hanya sebagai sarana upakara Galungan, tetapi juga dekorasi untuk acara seperti Manusa Yadnya dan Pitra Yadnya (Nganten, Metatah, Ngaben). Perlombaan penjor hias pun semakin marak diadakan yang melahirkan istilah pepenjoran. Berbeda dengan penjor sakral, pada pepenjoran tidak terdapat sanggah dan kelengkapan lainnya karena lebih mengedepankan unsur estetika. Hal itu dapat kita lihat dari bentuk gelungan dan sampiyan penjor yang dibuat semakin bervariasi. Selain itu, gabus atau styrofoam juga mulai digunakan dalam pembuatan penjor.
Bak bertalian, Penjor juga membawa berkat bagi perekonomian masyarakat, dengan permintaan penjor yang semakin meningkat, menyebabkan masyarakat mulai melirik usaha pembuatan penjor. Di sisi lain,masyarakat yang memilih untuk membeli penjor beranggapan hal tersebut lebih praktis. Sulitnya mencari bahan baku pembuatan penjor di perkotaan, seperti di Denpasar, juga menjadi penyebabnya. Jelaslah, penjor kini bukan hanya simbolis ucapan terima kasih kepada Tuhan tetapi juga nyala hidup bagi manusianya.
Penulis: Jaka
Penyunting: Dayu