Perayaan Nyepi: Hari Sunyi Untuk Menjaga Harmoni Semesta

Berbanding terbalik dengan perayaan tahun baru masehi yang begitu meriah di hari puncaknya, euforia perayaan tahun baru Saka (Nyepi) justru terjadi sehari sebelumnya, yakni di malam Pengrupukan yang tak lepas dari arak-arakan ogoh-ogoh yang semarak. Hari puncaknya justru didedikasikan untuk menyepi dari aktivitas duniawi. Seluruh rangkaian perayaan Nyepi tersebut tidak lain adalah untuk menjaga harmoni antara manusia dengan semestanya.

 

Umat Beragama Hindu di Indonesia akan menyambut tahun baru Saka 1946 pada tanggal 11 Maret 2024. Berbeda dengan beberapa budaya lain di seluruh dunia yang merayakan tahun baru dengan perayaan dinamis dan gemerlap, masyarakat Hindu Bali menyambut tahun yang baru (berdasarkan penanggalan Saka) dengan hari yang didedikasikan untuk menyepi. Tidak hanya itu, nuansa hari raya Nyepi tahun ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, sebab di tahun ini hari raya Nyepi jatuh pada Manis Kuningan (sehari setelah hari raya Kuningan -Red).

Nyepi adalah hari di mana umat Hindu melepaskan diri dari aktivitas duniawi dalam rangka mendekatkan dan mengabdikan diri mereka sepenuhnya dengan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan), serta memohon agar disucikannya Bhuana Alit (tubuh manusia/microcosmos) dan Bhuana Agung/macrocosmos (alam semesta). Sebab, pada hari raya Nyepi yang jatuh setiap Tilem Kesanga penanggalan Saka, diyakini merupakan hari tatkala dewa-dewa membawa Tirta amerta (air kehidupan) yang berada di pusat samudra.

Rangkaian perayaan  Nyepi, dimulai dengan Melasti, Bhuta Yadnya (Tawur (Pecaruan), Mecaru, Pengrupukan) kemudian titik puncak hari raya  Nyepi serta Ngembak Geni.

Sehari sebelum hari raya Nyepi, tepatnya ketika Pengrupukan, masyarakat Hindu khususnya di Bali akan melaksanakan  tradisi ogoh-ogoh. Secara etimologisnya, ogoh-ogoh berasal dari kata ogah-ogah yang bermakna sesuatu yang digoyang-goyangkan. Ogoh-ogoh sendiri dipercaya mewakili Bhuta  Kala yang merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta material dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan serta identik dengan kekuatan negatif (memiliki sifat mengganggu).

Selain sebagai lambang Bhuta Kala, ogoh-ogoh dianggap mewakili bentuk-bentuk alam yang membentuk sifat-sifat jahat makhluk hidup. Oleh karena itu rangkaian-rangkaian perayaan Nyepi ditujukan untuk menyucikan Bhuta Kala atau nyomia (menenangkan kekuatan negatif Bhuta Kala) sehingga menjaga keharmonisan semesta. Setiap Banjar (RT/RW) di Bali biasanya membuat satu Ogoh-ogoh, yang digarap oleh Seka Truna Truni (karang taruna dalam ranah banjar-Red)

Lebih lanjut, tradisi ogoh-ogoh ini termasuk dalam rangkaian Bhuta Yadnya. Bhuta Yadnya adalah upacara yang dilakukan untuk menghalau unsur-unsur negatif melalui persembahan caru di segala tingkatan masyarakat, mulai dari masing-masing keluarga, banjar, desa, kecamatan dan seterusnya, baik melalui upacara Tawur maupun Mecaru yang kemudian diikuti dengan Pengrupukan.  Pengrupukan ini dilakukan bersamaan dengan tradisi arak-arakan ogoh-ogoh, yang mana dilaksanakan dengan berkeliling pemukiman di masing-masing rumah/keluarga dengan membuat bunyi-bunyian dan penebaran nasi Tawur. Setelah diarak berkeliling kota, ogoh-ogoh ini pun akhirnya akan dibakar. Pada tahapan inilah kekuatan negatif Bhuta Kala dinetralkan agar tidak mengganggu manusia.

Berselang dari itu, tiba lah perayaan hari suci Nyepi yang juga menjadi hari libur nasional Indonesia. Dalam menyepi, wujud pelepasan diri dari aktivitas duniawi termuat dalam Catur Brata Penyepian yang wajib dilaksanakan masyarakat Hindu Bali di hari suci Nyepi yang dimulai tepat pukul 06.00 hingga 06.00 keesokan harinya, yang meliputi Amati Geni yang berarti tidak menyalakan api, maupun sumber penerangan lainnya, Amati Karya yang berarti tidak bekerja, Amati Lelungan yang berarti tidak berpergian dan Amati Lelanguan yang berarti tidak bersenang-senang dan tidak mengadakan hiburan. Hal ini dilakukan sebagai tindakan introspeksi dan penyucian diri (bhuana alit) untuk menilai cita-cita pribadi yang ingin mereka bawa ke tahun yang baru, setelah dilaksanakannya penyucian alam semesta (bhuana agung) di hari sebelumnya.

Sepi– Kondisi jalanan di Bali saat Nyepi

Seluruh pulau menjadi gelap dan berhenti total tatkala dimulainnya Nyepi.  Menurut mitologi, setelah perayaan Nyepi, pulau ini bersembunyi untuk melindungi diri dari roh-roh jahat dengan menciptakan ilusi pulau yang tenang dan sepi. Selama hari suci ini berlangsung, seluruh pulau “ditutup”, termasuk bandara karena tidak akan ada penerbangan yang masuk atau keluar. Jalanan tidak dapat dilalui, karena semua orang diharapkan untuk tetap berada di dalam rumah selama 24 jam, pun semua restoran, toko kelontong, serta jenis toko lainnya akan tutup. Satu-satunya pengecualian terhadap hal-hal vital, kondisi mengancam jiwa dan wanita yang akan melahirkan. Oleh karena itu, rumah sakit akan tetap beroperasi. Untuk menjaga keamanan dan kedamaian pelaksanaan hari suci Nyepi, petugas keamanan setempat yang dikenal sebagai Pecalang (Polisi adat-Red) dikerahkan ke seluruh penjuru pulau untuk berpatroli di wilayah masing-masing.

Meskipun Nyepi merupakan hari raya umat Hindu, penduduk non-Hindu dan wisatawan yang berada di Pulau Bali juga turut serta merayakannya sebagai bentuk penghormatan dan toleransi kepada warga Hindu di Bali.

Daftar Pustaka

Sudiarthi, Desak Nyoman Alit. 2019. Pemaknaan Mitos Bhuta Kala Dalam Tradisi Ogoh-Ogoh Sebagai Media Pendidikan: Suatu Kajian Pustaka. Wacana: Majalah Ilmiah Tentang Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Nyepi

 

 

Penulis: Nayla Aura

Penyunting: Debi, Dyana, Vitananda

You May Also Like