Membuka Histori Naga Banda: Tradisi Sakral Raja, Sarana Menuju Swargaloka

Bali, Pulau Dewata yang memiliki segudang budaya dan tradisi, diramaikan dengan perayaan yang penuh makna dan sejarah. Salah satunya yaitu tradisi Ngaben Naga Banda, upacara pengabenan (kremasi) yang digunakan oleh Raja-raja Klungkung dengan menggunakan naga sebagai sarananya.

 

Salah satu hal utama yang dikenal dari Pulau Dewata adalah tradisi, kepercayaan, sejarah, serta budaya yang ada. Seperti tradisi yang satu ini, yaitu Upacara Ngaben yang merupakan prosesi pembakaran mayat yang dilakukan oleh umat Hindu, khususnya Hindu Bali, yang merupakan salah satu bentuk Pitra Yadnya. Pada dasarnya Upacara ini bertujuan untuk mensucikan roh (atma) untuk kembali ke alam asalnya. Dalam pelaksanaannya, upacara ini disertai dengan sejumlah sarana seperti halnya bade sebagai tempat pemandu jenazah ke kuburan atau setra (istilah Bali untuk menyebut kuburan), pada umumnya bade juga didampingi oleh petulangan (wadah pembakaran mayat yang didalamnya berisi peti) lembu baik lembu hitam maupun putih. Namun ada pula yang menggunakan bentuk petulangan lain, berupa gajah, singa bersayap, bahkan berbentuk naga.

Penggunaan petulangan dengan rupa yang berbeda-beda ini tidak terlepas dari  kepercayaan, histori dan mitologi Hindu Bali. Seperti yang dilakukan pada Puri Agung Semarapura di Klungkung. Dimana Naga Banda digunakan untuk kategori ngaben utama. Tentunya penggunaan Naga Banda ini memiliki nilai filosofisnya tersendiri. 

 

Sumber– Tatkala.co

Menilik lembar cerita yang dipercayai masyarakat, kisah Naga Banda berawal dari Raja Dalem Waturenggong  yang menguji kesaktian Ida Dang Hyang Astapaka. Pada saat itu Ida Dalem Waturenggong ingin Nyuciang Raga “Diksa” (penyucian diri), beliau meminta kepada Raja Majapahit untuk mengirimkan Pendeta Siwa Buddha untuk menjadi nabenya (guru spiritual utama), lalu yang datang adalah Dang Hyang Nirartha sebagai Pendeta Siwa tetapi Ida Dalem Waturenggong belum berkenan untuk diupacarai dengan Dang Hyang Nirartha. Dang Hyang Angsoka, kakak dari Dang Hyang Nirartha merupakan Pendeta beraliran Buddha akan tetapi dikarenakan umur Beliau yang sudah tua menyebabkan Beliau tidak bisa datang ke Bali dan mengirim anaknya yaitu Dang Hyang Astapaka.

Dikarenakan umur dari Dang Hyang Astapaka yang masih muda, Ida Dalem Waturenggong ingin membuktikan kesaktian Beliau dengan membuat bambang (lubang) yang mana di dalam lubang tersebut berisikan angsa. Dang Hyang Astapaka datang dan diminta untuk menebak apa yang ada di dalam lubang tersebut, meskipun sudah terdengar suara “guek guek” yang menandakan hewan tersebut merupakan angsa akan tetapi Dang Hyang Astapaka berkata bahwa itu adalah Naga. Mendengar hal tersebut orang-orang yang berada disana tertawa karena tahu bahwa yang ada di dalam sana adalah angsa dan bukan naga, untuk membuktikan itu digali lah lubang tersebut dan muncullah Naga yang membuat semua orang ketakutan. Naga tersebut lebih lanjut dijinakkan oleh Dang Hyang Astapaka dan setelah naga tersebut jinak, beliau kemudian berpesan kepada Ida Dalem Waturenggong bahwa binatang inilah yang akan menghantarkan arwah beliau pergi ke Swargaloka. Sejak didengarnya pesan itu, saat Ida Dalem Waturenggong dipertiwa (wafat, istilah Bali yang digunakan saat raja wafat) digunakanlah Upacara Ngaben Naga Banda, yang berlanjut hingga saat ini.

Naga Banda sendiri berwujud naga raksasa yang panjangnya mencapai 2,5 Km, terdapat tiga kategori yaitu kategori utama, madya dan nista yang itu semua terdapat kualifikasinya tersendiri. Diceritakan oleh Ida Dalem Semara Putra bahwa lama proses pengabenan ini bisa mencapai satu tahun. “Karena kan ada bikin banten segala macam, ada eteh-eteh (sarana-sarana -red) upacaranya segala macam. Nah cuma pada zaman dulu dikasi kesempatan pada mereka-mereka yang dekat dengan yang meninggal itu memberikan penghormatan terakhir, kan biasanya ada penghormatan terakhir kepada jenazah, nah itudah dan ini tergantung kepada sedikit banyaknya kerabatnya, kalau raja karena dianggap kerabatnya banyak, masyarakatnya banyak jadi agak lama, kalau dulu ayah saya malah hampir setahun, sehingga setiap purnama tilem itu masih masyarakat dapat melakukan penghormatan terakhir.” 

 

Wawancara– Ida Dalem Semara Putra saat diwawancarai di kediamannya, Puri Agung Klungkung

Melanjutkan ceritanya, beliau mengatakan bahwa makna dari digunakannya Naga Banda adalah untuk menuntun arwah raja menuju Swargaloka. “Iya karena itu tadi, apa namanya pesan dari Dang Hyang Astapaka bahwa binatang itulah yang akan menghantarkan ke Swargaloka.”  Lebih lanjut, dalam pelaksanaannya terdapat proses memanah Naga Banda oleh Pendeta Buddha yang diartikan sebagai penjinakan naga yang saat itu dijinakkan oleh Dang Hyang Astapaka, untuk menjinakkan itulah Pendeta memanah Naga Banda tersebut. Naga Banda sendiri disimbolkan sebagai pengikat atma dari unsur duniawi, maka panah disimbolkan manah, pikiran budhi yang suci, sehingga dengan dilakukannya prosesi ini akan menghantarkan atma dengan karma menuju sang Brahman. Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Dosen Antropologi Universitas Udayana, Nanang Sutrisno “Banda itu mengikat dan Naga itu adalah ular  yang sangat besar , bayangkan bagaimana kalau kita dililit ular yang sangat besar kalau kita tidak kuat ya kita akan hancur. Itu simbol dari belenggu yang demikian kuat, ya. Nah maka ketika itu dihadirkan di dalam sesi pengabenan , ya , kan Naga Banda itu ada prosesi yang namanya memanah ya , Naga Banda itu dipanah itu artinya bahwa panah itu kan sifatnya melepas. Bayangkan adik-adik digigit ular terus ularnya dipanah , terus mati ularnya hingga akhirnya ular yang melilit kita  lepas, bener gak? Logikanya semacam itu ya. Jadi artinya ketika Naga Banda itu dipanah itu artinya adalah upacara untuk membebaskan karma dari atma yang diupacarai dari ikatan-ikatan karmanya. Jadi itu adalah simbolisnya, itu adalah salah satu cara religius manusia khususnya umat Hindu untuk membebaskan  atma atau sang pitara itu dari ikatan-ikatan karmanya,” paparnya (14/7) 

Bersamaan dengan Naga Banda terdapat Bade yang mengiringi pelaksanaan ngaben ini, bade ini memiliki fungsi sebagai sarana untuk mengusung jenazah. Bade umumnya memiliki tumpang, jumlah atap tumpangnya dibuat menyesuaikan kasta orang yang akan melaksanakan upacara pangabenan, terdapat tumpang pada bade yaitu bade beratap satu, bade beratap 2, bade beratap 3, bade beratap 5, bade bertumpang 7, bade bertumpang 9, dan bade bertumpang 11, tingkatan pada bade ini menandakan kekuasaan leluhur di masa lalu, tumpang solas (11) umumnya adalah yang tertinggi dan dikhususkan bagi Raja. 

Namun hingga saat ini, terkait kategori-kategori dalam Upacara Ngaben Naga Banda yang memiliki kualifikasinya tersendiri, justru menimbulkan simpang siur mengenai pihak-pihak yang berhak atau bisa menggunakan Naga Banda ini sendiri. “Ini masih jadi berbagai opini, belum bisa kita definisikan secara pasti ada yang menganggap yang sudah bhiseka yang sudah menjadi raja ada yang menganggap semua keturunan beliau.” ungkap Ida Dalem saat diwawancarai di Puri Agung Semarapura pada Selasa (11/07). 

Terlebih lagi paradigma-paradigma yang muncul di tengah masyarakat saat ini menyebabkan timbulnya kerancuan atas penggunaan Naga Banda ini sendiri. Nanang Sutrisno menyampaikan jika ditinjau secara sosiologis hanya dilaksanakan oleh keluarga kerajaan. “Naga Banda secara muatan sosiologis, secara tradisi hanya dilaksanakan oleh keluarga-keluarga kerajaan , ya, itu bahkan kalau kita lihat perkembangannya bahwa hanya keluarga-keluarga yang memiliki, yang mendapatkan izin dari Dewa Agung di Klungkung pada masa keemasan Raja Gelgel yang boleh menggunakan Naga Banda. Karena apa? karena semuanya berhubungan secara filosofis.” Namun kini, seiring perkembangan zaman dan pemikiran masyarakat,ada masyarakat yang merasa ingin dan mampu menggunakan Naga Banda bahkan menggunakannya, meskipun hal tersebut justru bertolak belakang dengan kepercayaan awal berlandaskan sisi historis penggunaan Naga Banda. “Kalau sekarang kepingin saja walaupun bukan keturunan Waturenggong, kepingin makek Naga Banda karena mampu, kok kelihatannya wah gitu, sekarang kan orang sudah kelihatan wah kan pengen ditiru jadi itu, tapi ya harusnya sih ndak.” tutup beliau. 

 

 

 

 

Penulis : Dyana, Ogar 

Penyunting : Vitananda, Wid. 

You May Also Like