Memerankan Figur ‘Ibu’ Ala Krama Tamiu

Pasca peristiwa Bom Bali tahun 2002, kehadiran Krama Tamiu (warga pendatang –red) kian diwaspadai. Namun, betapa sesungguhnya warga lokal dan pendatang terlibat relasi yang unik. Seperti halnya yang terjadi di Student Center, Kampus UNUD Sudirman. Dikala minimnya kantin, pendatang yang berjualan sungguhlah bagaikan sosok ibu. Seperti apa?

Tangan sigap Ega menerima dua porsi tipat tahu dari Jumiin yang berpangkalan di Student Center Unud

 

Krama (warga –red) Bali amatlah terbuka dalam hal apapun. Orang Bali mudah memberi ampun. Entah memang pemaaf atau mereka pikun, tetapi itulah yang digemari oleh krama tamiu (warga pendatang-red). Pasca peristiwa Bom Bali tahun 2002, pengamanan pulau dewata diperketat. Sejak itu, kehadiran krama tamiu pun kian diwaspadai. Sehingga, mulailah ada syarat khusus agar para pendatang dapat lewat dan menetap. Tak ayal, hal ini memberi jarak antara pendatang dan lokal dalam berkehidupan sosial.

Namun, keterbukaan krama Bali tak selamanya menimbulkan nestapa. Dari sekian jenis keterbukaan, krama Bali amat menggemari suguhan yang disajikan krama tamiu. Bali, khususnya Kota Denpasar sangatlah erat kaitannya dengan kehadiran krama tamiu. Layaknya yang terus bergulir di Jalan DR. Goris, transaksi hangat antara pendatang yang berjualan dengan krama Bali yang membeli hidangan karya krama tamiu adalah bukti suksesnya krama tamiu memerankan figur “ibu”. Pada tempat parkir Gedung Student Center, Universitas Udayana, geliat transaksi pun mencuat. Senyum semringah Jumiin yang telah 15 tahun berjualan tipat tahu menyambut I Wayan Ega Jayananda yang membeli tipat tahu. “Ya karena lapar dan enak juga makanannya, harganya pas-lah dikantong,” tutur Ega dengan senyum yang tak kalah semringahnya (19/10).

Ega yang merupakan mahasiswa semester 3 Unud, Fakultas Ekonomi dan Bisnis ini mengaku kerap kali membeli dagangan Jumiin dan pedagang lainnya. Lelaki asli Gianyar yang kini ngekos di Jimbaran ini mengutarakan, kehadiran Jumiin dengan pedagang lainnya mampu memberi kemudahan dan kenyamanan dalam urusan perut. “Tidak hanya itu, mereka juga cari nafkah disini untuk memenuhi kebutuhan mereka,” terang Ega yang senja itu menghadiri kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Marching Band Unud. Dua porsi tipat tahu telah siaga, dengan sigap, Ega mengambilnya dari tangan Jumiin. Bagi Jumiin, ada kebahagiaan tersendiri saat melayani para pembeli yang sebagian besar dari kalangan mahasiswa. “Kadang ada yang beli 6 ribu, 7 ribu, ya ga kenapa, kan tergantung laparnya orang kan beda, belum lagi mereka ada yang anak kos ya saya kasihan,” ujar Jumiin sembari menyeka peluh di dahi keriputnya.

Menyoroti alasan Jumiin mengadu nasib di Pulau Bali, lelaki paruh baya yang berasal dari Lombok ini pun menuturkan Bali adalah daerah yang aman. Penuturan yang senada pun turut diutarakan Muhammad Aziz (40). Pedagang bakso kelahiran Jember, Jawa timur ini pun berujar, “Enak di Bali, kalau di Jawa penghasilan kecil, saat panen orang-orang baru belanja, kalau gak panen ya gak pernah beli makanan enak-enak.” Penuturan Aziz seolah memperlihatkan bahwa masyarakat Bali amatlah sejahtera. Padahal, jika benar-benar sejahtera, Bali dengan angka kemiskinan sebesar 3,91 persen yang dikeluarkan dari data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali mestinya dapat ditekan.

Bagi Aziz yang telah 10 tahun berjualan bakso di Student Center, bahwa prosedur perpindahan dari Jember ke Bali amatlah mudah, asalkan punya KTP Aziz dan perantau lainnya dapat tinggal dan berkembang di daerah rantauan. “Ya pokoknya kita sopan, orang Bali ya sopan tergantung kitanya, kalau kita urak-urakan sama aja kita dipukul,” tutur Aziz. Baik Jumiin maupun Aziz, sama-sama telah berhasil memikat hati dan rasa krama Bali untuk menghempas rasa lapar dengan membeli dagangan mereka. Ega yang berstatus mahasiswa pun tak jarang sempat merasakan kerinduan apabila tak ada kedua pedagang ini. Urusan perut agaknya terlihat remeh. Bagi mahasiswa Unud, keberadaan Jumiin dan Aziz adalah sebuah keberkahan. Jika perut kosong, otak akan bolong. Tak dapat berpikir dan memutuskan sesuatu. Kehadiran Jumiin dan Aziz sebagai krama tamiu betul adanya mampu memerankan figur “Ibu” yang menyajikan santapan lezat.

Salah Cara Menghargai Bali?

 

Agung, Mesin Kopi, dan Pelangkiran di atasnya – Tak Pernah dibanteni tetapi simbol menghargai?

 

Figur “Ibu” lainnya ada pada sebuah kedai kopi mini di pinggir Jalan DR. Goris. Kali ini peran ibu yang diusung Novi Sagitarini (33) dan Agung Indra Ganda Kusuma (28) (pemilik Kedai Kopi) lebih kekinian. Senja itu ketika sang pewaktu telah menunjukkan pukul 4 sore, sayup-sayup aroma kopi espresso menemani obrolan dengan Agung Indra Ganda Kusuma. Lelaki bertubuh kurus ini memberi asupan berupa kopi dan minuman kekinian racikannya sendiri untuk mengatasi rasa kantuk sembari bersantai menikmati suara kendaraan yang lalu lalang melewati Jalan DR. Goris.

Tatkala memulai obrolan sembari memperhatikan suasana kedai, tampak sebuah pelangkiran yang diselimuti kain putih kuning dengan bunga kamboja yang telah lama kering. Dengan cekatan, Agung pun peka dan mulai bertutur, “Dulu punya pegawai orang Bali sekarang sudah berhenti, jadi berhenti disembahyangin karena saya ga ngerti.” Agung yang berasal dari Bandung dan tidak memeluk Agama Hindu pun mengaku, meski pelangkiran tak kunjung dicabut, namun keberadaan pelangkiran bagi Agung adalah bukti menghargai Bali.

Entah bermaksud melabeli kedainya agar ramah dengan orang Bali atau memang benar menghargai Bali. Namun, sejatinya masih banyak jalan lain untuk menghargai Bali. Menurut Kadek Adya Arsa (26) yang mengunjungi kedai tersebut berpendapat, hal yang dilakukan Agung tak ada salahnya, sebab pelangkiran bersifat sementara. Adya yang pernah merantau ke Kendari sejak lahir dan kembali ke Bali saat kuliah di Unud pun memberi pesan soal menjadi krama tamiu. “Kenali dirimu, dimana kamu berada, bagaimana lingkunganmu dan kamu bisa mambaur. Kalau kamu bawa ego dari rumah, bawa kasta, bawa nama orang tua, ya tidak akan pernah berkembang di rantauan,” ujar Adya.

Jumiin, Aziz, dan Agung adalah segelintir krama tamiu yang berusaha dengan sepenuh hati membangun kepuasan pelanggan untuk mempertahankan jalan usaha. Ada sedikit kerinduan dengan pernyataan bahwa amat sulit menemukan dagang A karena ia pergi mudik ke kampung halaman, dan pernyataan lainnya yang mungkin lebih menjurus ke keluhan krama Bali yang rindu masakan krama tamiu. Kehadiran mereka bukanlah sesuatu yang horor, yang memunculkan stigma bahwa peristiwa Bom Bali II terjadi karena kehadiran krama tamiu. Sebab, mereka sesungguhnya adalah sosok “Ibu”. Sosok ibu yang mampu menyajikan sajian hangat pelepas sendu membiru, seperti halnya para pendatang yang berjualan tatkala minimnya kantin di Student Center Universitas Udayana. (Yuko/Akademika)

Editor : Galuh Sriwedari

Tulisan ini merupakan hasil Pelatihan Jurnalistik Mahasiswa (PJM) Pers Mahasiswa Akademika.

 

 

You May Also Like