Pembangunan pariwisata terdahulu yang tidak berkelanjutan dan bertabur polemik di Desa Adat Serangan, Denpasar, Bali, membuat rentan seluruh aspek kehidupan hingga kini. Terlebih, adanya pandemi Covid-19 dan ketiadaan pemberdayaan sumber daya alam bahari seolah memperburuk keadaan. Inilah secangkir kisah keterpinggiran masyarakat Serangan.
Di atas kursi lonjer kayu dengan cat biru yang memudar, nelayan-nelayan Desa Serangan yang tergabung dalam kelompok Cipta Karya itu duduk berselonjoran. Hari-hari biasanya, mereka bersigap untuk menunggu wisatawan yang ingin diantar menyelam, berselancar, maupun sekadar memancing. Di tengah pandemi Covid-19, mereka hanya mengobrol untuk menahan kantuk tengai tepet (tengah hari -red). Lesunya pariwisata di Bali akibat pandemi, membuat kondisi nelayan setengah pariwisata dan pesisir itu kian terhimpit. Yang bikin tambah gulana, disaat seperti ini, mereka terkenang tiada lagi kejayaan sumber daya laut di era 70 hingga 90-an. “Dulu, sekitar tahun 70-an sampai tahun 90-an, ramai ikannya!” kenang Made Arum, salah satu nelayan kelompok Cipta Karya, memecah hening di tengah teriknya Pantai Serangan pada akhir bulan Mei lalu. Seketika, rekan nelayannya yang lain mengangguk setuju seraya ikut bernostalgia tentang kekayaan bahari Serangan.
Hasil laut sedikit, kini sepi wisatawan pula. “Sejak ikan makin sepi, kami mulai menjadi nelayan sampingan, sehabis melaut kadang-kadang angkut tamu untuk surfing, diving, snorkeling,” tutur Arum menyinggung fenomena transisi profesi nelayan di Desa Adat Serangan. Sayangnya dua pilihan pekerjaan itu dengan mudah terkadaluarsa saat pandemi Covid-19. “Melaut 3 kali paling dapat sekali, lagi dua kali kosong,” keluh Nyoman Suwita membalas penuturan Arum. Hasil yang tak menentu kian membuat Suwita merana, sebab ongkos melaut yang kian maut. Paling sedikit bensin seharga Rp150 ribu, belum lagi umpan, dan bertaruh nyawa di tengah ekstrimnya cuaca yang tak dapat ditawar. Paling disesali dari kondisi ini adalah minimnya kesadaran masyarakat Serangan untuk menggalakkan program pemberdayaan terhadap kekayaan bahari. Suwita dan rekannya pun mengakui, selama ini tak ada program peberdayaan berkelanjutan untuk merawat kekayaan bahari Serangan. “Kita sebagai nelayan tidak pernah naruh benih, tapi mesin penangkap sudah canggih, jadi hasil tangkapan terus berkurang,” papar Suwita sembari tertunduk lesu. Namun, bagi Arum, benih tak bisa ditaruh sembarangan, ia pun mengungkapkan bahwa ikan kecil yang berenang di laut dapat dimakan oleh ikan lainnya, apalagi menaruh benih ikan yang teramat mungil?
Arum, Suwita dan rekan mereka yakni I Ketut Jasa, Nyoman Dana, dan Wayan Dapat kian beradu dalam argumen sembari terhanyut dengan kenangan mereka. Hanya satu yang mereka sepakati, layunya bahari Serangan tak dapat dilepaskan dari kisah pilu reklamasi di Pulau Serangan. Dengan tatapan mata yang tajam Suwita pun melanjutkan penuturannya yang bernada cukup geram, “pantai ini direbut paksa oleh PT BTID (Bali Turtle Island Development), dilemahkan angkatan senjata, nelayan senjata dayung dia (angkatan) pakai senjata api,” kisahnya bak seorang dalang pewayangan. Bersenjatakan dayung, itulah cara Suwita melukiskan betapa tak berdayanya nelayan Serangan menghadapi penindasan aparat dimasa lalu. “Lebih baik diam, daripada…” bisik Suwita, ia tak melanjutkan kalimatnya.
Babak Awal Pembangunan Pariwisata Pulau Serangan
Nostalgia para nelayan akan hasil laut yang begitu berjaya era tahun 70-90an itu bukan tanpa sebab. Hasil liputan penulis saat tahun 2016 yang diterbitkan dalam buku ‘Teluk Benoa: Magnet di Kaki Pulau Bali’, musabab itu berkaitan dengan adanya reklamasi di Pulau Serangan yang kala itu masih terpisah dari Pulau Bali. Hal ini berdampak signifikan pada kehidupan masyarakat Desa Adat Serangan; dampak ekologis, sosial, ekonomi, dan lainnya. Bemula pada tahun 1990an, Pulau Serangan sudah direncanakan untuk direklamasi. Rencana ini berasal dari sebuah perusahaan bernama PT. BTID (Bali Turtle Island Development). Sebenarnya mengetahui rencana ini, warga Serangan tidaklah hanya berdiam diri. “Kami sangat menolak adanya reklamasi kala itu,” ungkap salah seorang Bendesa Desa Adat Serangan yang saat itu menjabat di tahun 2016. “Tapi mereka membeli tanah Serangan dengan negara. Tameng yang mereka gunakan adalah ABRI,” tambahnya. Tiada yang berani mengunjukkan gigi, bahkan nelayan-nelayan tangguh pun diam tak berkutik.
Lebih lanjut dalam liputan awal penulis dalam buku, tanah-tanah masyarakat Serangan dibeli oleh KODAM Udayana. Seorang pengurus (prajuru) Desa Adat Serangan menceritakan saat itu warga Serangan diintimidasi, ditakuti, dan tanahnya dibeli dengan harga murah. Ada yang sampai lari keluar rumah saking takutnya dengan ‘si tameng negara’. Tanah warga yang awalnya sekitar 20-15 are dipaksa untuk dijual dan diberikan tanah seluas 5 are sebagai gantinya. Setelah tanah-tanah itu dimiliki lalu diberikan tanah itu kepada PT BTID. Pada tahun 1996, mulailah proyek itu menjajaki tanah Serangan. Mesin-mesin pengeruk menjarahi setiap tempat yang akan direklamasi. Dikeruknya tanah dalam laut, lalu mesin itu akan membawa tanah ke daratan dan menimbun tanah daratan. Ada pula truk-truk yang membawa bahan penimbun berupa tanah kapur. Maka, luas tanah daratan pun makin bertambah. Mesin-mesin itu tak lelah untuk melakukan hal yang sama. Hingga akhirnya Serangan yang berluaskan 112 Ha, menjadi daratan kapur seluas 491 Ha. Tahun 1997, sebuah jembatan dibangun untuk menghubungkan daratan Bali dengan pulau Serangan. Tujuannya adalah untuk memudahkan akses masuk ke Serangan. Kemudian, pembangunan mandeg karena dilanda krisis ekonomi pada 1998. Pulau Serangan bahkan sempat dijuluki sebagai pulau terlantar.
Habis era orde baru, terbitlah era reformasi. Bersama para aktivis lingkungan, warga Serangan terus berjuang menuntut hak agar memadainya kehidupan. Hal ini yang berbuah sebelas poin kesepakatan dengan pihak PT. BTID. Sebagai sesama nelayan Serangan, Made Yatna yang semasa hidupnya pernah menjadi prajuru desa (pengurus organisasi desa- red) pun menambahkan dari 11 poin kesepakatan itu masih ada poin-poin yang diingkari pihak BTID. “Poin yang hilang itu kita kejar terus, karena baru baru ini ada penyerahan tanah sesuai dengan MoU, terkait seritfikat sudah, ada kesepakatan yang belum dilunasi itu masih kita awasi terus,” jelas Yatna. MoU itu dua diantaranya ialah pemberian tanah sebanyak 6,5 hektar pada masyarakat Serangan dan terserapkan tenaga kerja lokal sebanyak 45%. “Kita diberikan 7,3 hektar. Terus itu (tanahnya digunakan) untuk penyediaan parkir Pura Sakenan. Terus sekarang kan kita menunggu sisa sisa yang tertuang dalam MoU aja,” ungkap I Wayan Loka yang juga menjadi salah satu prajuru Desa Adat Serangan.
Tahun ini, PT BTID Kembali membangun tanah reklamasi yang sempat terlantar tersebut. Diakui Loka, hal ini dikarenakan pemerintah yang menuntut penggunaan hak guna bangunan, sebab sudah hampir kadaluarsa akibat tidak ada aktivitas pembangunan.pihak pengembang pun mulai membangun sarana prasana, beberapa bagian ruas jalan ditutup dengan pagar bambu-jerami. Alat-alat pemberat mulai kembali memasuki kawasan Serangan. “Terus proyek proyek sementara ini ya kita sudah di rekrut beberapa orang lah cuman sistemnya tidak transparan,” ucap Loka dengan raut wajah serius. Ketidaktransparanan itu terindikasi dari adanya kerjasama antara pihak pengembang dengan investor lainnya yang tidak melakukan pemberitahuan terhadap masyarakat Desa Adat Serangan selaku pihak yang paling berkepentingan.
Di sisi lain, perekrutan tenaga kerja lokal belum mencapai 45%. “Direkrut hanya seperti satpam 25 orang beberapa orang karyawan kantor sedikit ya itupun posisinya bagian bagian bawah ya, kemudian gardener sekitar 20-25 orang,” papar Loka. Dalam proyek sarana prasarana yang kini sedang dilakukan pihak PT BTID, sebanyak 500 orang pekerja yang terlibat dan hanya kisaran 20-25 orang lokal yang terlibat menjadi tenaga kerja. Lebih disayangkan, menurut Loka, tidak ada pemberitahuan tentang perekrutan tenaga kerja di proyek tersebut secara massif.
Setengah berbisik, Loka berujar, “kondisi nya seperti ini (pandemi -red), kita tidak tahu ya percaya atau tidak, setiap BTID melakukan kegiatan pasti ada bencana ya. Mungkin yang di atas berkehendak lain,” ia kemudian tertawa sinis. “Ya mudah-mudahan tetap berjalan karena nasi sudah menjadi bubur,” tambahnya.
Sang Penyelamat di Tengah Polemik Distribusi Bantuan
Kehidupan terus berjalan. Meski menurut Loka pemasukan dari usaha olahan laut di Serangan merosot 95% karena pembatasan kegiatan, masyarakat Serangan masih terselamatkan. Apalagi kalau bukan karena kekayaan bahari laut Serangan. “Serangan dengan adanya potensi laut ini ya lumayan cukup membantu, yang di PHK dan dirumahkan kalau disini masih bisa bernafas,” ucap Loka seraya menunjukkan pesisir pantai. Hal ini terutama menyelamatkan warga Serangan sebagai pekerja pariwisata yang memilih kembali pergi melaut untuk menyambung kehidupan.
Memang, setiap sore bila laut surut, tepi Pantai Serangan akan dihiasi oleh hiruk-pikuk warganya yang mengais pasir untuk mencari kerang laut, kepiting kecil, dan rumput laut. Bukan untuk dijual, namun itu semua murni untuk memenuhi gizi sehari-hari. Di sisi lain, daya beli masyarakat akan hasil laut menurun di pasaran. Seringkali para nelayan saling berbagi ikan pada sanak saudara untuk menyambung hidup. Gotong royong dalam menunjang kehidupan bersama menjadi situasi yang hangat di Serangan. Tidak hanya warga Serangan, warga di sekitar wilayah Pulau Serangan pun berbondong-bondong menelusuri pesisir. Loka berujar, kondisi tersebut mulanya sempat menimbulkan pelarangan dari pecalang (polisi adat Bali) yang berjaga. “Sempat dilarang, tapi bantuan dari pemerintah lambat mau makan apa mereka, akhirnya diizinkan asal tidak berkerumun,” tutur Loka.
Keterlambatan bantuan sembako untuk warga Serangan khususnya yang terdampak dan dalam kondisi kurang mampu diakui oleh Lurah Desa Serangan yakni I Wayan Karma. Karma pun mengungkapkan dukungan dana dari pemerintah terkait dengan COVID-19 ini sudah ada namun ada beberapa hal yang harus diselesaikan. “Dana niki sebenarnya wenten nggih pang ten iwang, cuma terlambat pendanaannya karena dana itu sudah klop di masing-masing desa adat dan kelurahan untuk infrastruktur, pembangunan adat, dan lain sebagainya, tidak untuk menangani terkait wabah COVID nika,” jelas Karma lantang. Karma pun melanjutkan penuturannya perihal menggeser anggaran desa tak semudah membalikkan telapak tangan. Persetujuan walikota atas perintah gubernur lalu pengesahan dari kementerian pun harus dilalui. Sengkarut birokrasilah yang menjadi alasan Karma atas keterlambatan bantuan untuk warganya.
Rumitnya birokrasi tak menghalangi Karma dan pengurus desa serta satgas COVID-19 Serangan untuk bersurat dalam hal meminta bantuan kepada perusahaan-perusahaan. Dari bantuan yang diberikan perusahaan itulah, Karma mengaku warga Serangan terbantu atas sembako yang diberikan. Sumbangan dari perusahaan mencapai 400 bungkus sembako, adapun sebanyak 450 bungkus berasal dari desa adat. Jumlah keluarga di Desa Serangan mencapai 1003 KK, tetapi yang didahulukan menerima sembako adalah warga kurang mampu dan terdampak pandemi Covid-19. Meski mengacau keasrian Serangan, pihak PT BTID tetap memberi bantuan 2000 bungkus sembako dan sejumlah 1003 bungkus telah didistribusikan ke seluruh keluarga. “Sisanya ini nanti tanggal 5 Juni tahap ketiga kita distribusikan agar mencapai juga 1003, niki baru 900 sekian. Kita juga bantu petugas kita pecalang, diberikan sembako, biar semangat,” jelasnya. Tak hanya sembako, bantuan dari pemerintah berupa subsidi pembayaran listrik bagi masyarakat yang berlangganan dengan daya 450-900 VA telah terlaksana dan bantuan dana dari pemerintah pun ada yang telah disalurkan, hingga kini Karma dan jajaran kelurahan serta desa adat Serangan masih berjibaku mengumpulkan data masyarakat Serangan agar bantuan dana tepat sasaran.
Banyaknya bantuan nan menggiurkan yang disebutkan Karma nyatanya tak tersentuh oleh warga Serangan secara keseluruhan. Pasalnya, Suwita mengaku dirinya tak mendapat satu pun bantuan yang disebutkan Karma. Hal ini pun berkaitan dengan pernyataan Karma yang mengungkapkan lambannya warga Serangan dalam memenuhi administrasi guna kelancaran pemberian bantuan khususnya dalam bentuk dana. “Contoh kayak BST (Bantuan Sosial Tunai -red) kemarin, kita kasi data cepat, akhirnya banyak yang tidak masuk, sebenernya dia layak dapat akhirnya tidak berhak karena tidak masuk datanya dia, yang kaya juga ada yang dapat, data itu kan tahun 2011 ini kejadian karena kita diminta data cepat itu masalahnya,” keluh Karma dengan suara yang meninggi. Meski demikian, semestinya tanpa adanya pandemi ini pun perbaharuan data mutlak dilakukan lembaga pemerintahan desa agar disaat seperti ini desa telah siap dengan data yang terbaru. Karma pun menyadari bahwa idealnya perbaharuan data dilakukan selama setahun atau dua tahun sekali, namun entah angin apa yang membuat Karma dan jajaran tak melakukannya, ia hanya dapat menjawab dengan senyum tipis. Ia kembali menyudutkan ketergesa-gesaan pemerintah dalam meminta data serta menyudutkan keterlambatan masyarakat dalam mengumpulkan persyaratan administrasi penerimaan bantuan yang diumumkan oleh Kepala Lingkungan Desa Serangan.
Ketergantungan Masyarakat Serangan pada Sektor Pariwisata
Persoalan pemberdayaan kekayaan bahari Serangan, Karma menuturkan sejak dulu hingga saat ini pemberdayaan sudah ada dan masih dilakukan. “Masih kita berdayakan namun pemasarannya masih belum maksimal, namun adanya Covid ini kelabakan buyar pikiran masyarakat, bingung,” jelasnya. Ia menambahkan, “prinsipnya ketika ini sudah membaik, ini mengandalkan pariwisata aja, kalau pariwsata tidak jalan bagaimana kita bisa menata potensi kita.” Pemimpin Serangan benar-benar mengandalkan pariwisata, ketika dipertanyakan soal ketahanan pangan, Karma menjelaskan hal tersebut telah diberlakukan melalui kelompok budidaya hewan laut seperti ikan kerapu, rumput laut, terumbu karang, dan lain sebagainya. Namun, lagi-lagi Karma mengatakan bahwa budidaya itu belum maksimal karena pandemi ini.
Menanggapi hal ini, direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali, I Made Juli Untung Pratama dengan tegas mengkritik. “Sebenarnya model pariwisata di Bali ini harus dievaluasi besar di tengah pandemi ini yang pertama itu. Mengapa saya katakan evaluasi besar? Karena industri pariwisata itu bisa lumpuh dia,” ujarnya saat ditemui di kantor Walhi. Lebih lanjut pria yang akrab disapa Topan itu menyebut evaluasi ini ditujukan pada pariwisata Bali yang berorientasi pariwisata massal. “Pariwisata massal tujuannya untuk menaikkan devisa, tanpa memperhatikan lingkungan hidup, malah semakin memperparah. Karena yang diutamakan setiap tahun harus ada sekian investasi yang sudah masuk ke Bali. Tidak pernah berbicara apakah lingkungan hidup ini mampu investasi sekian, tidak pernah,” paparnya seraya menggelengkan kepala.
Lebih lanjut menurutnya, evaluasi itu dapat dimulai dengan konsisten dengan peraturan perundang undangan yang dibuat. Topan mengungkap, seringkali erjadi inkonsistensi pada penegakan peraturan yang seringkali diubah untuk mengakomodi investasi. “Contoh misalkan reklamasi Bandara Ngurah Rai awalnya tidak bisa dilakukan di kawasan konservasi, namun saat ini kawasan konservasi diubah menjadi kawasan kemanfaatan, seperti itu. Awalnya tidak ada rencana pembangunan jalan tol serangan-pelabuhan benoa, namun pada revisi DPRD malah diakomodir.” pungkas Topan memperingatkan.
Kembali dengan nelayan-nelayan dalam kelompok Cipta Karya. Ditanya perihal recana bertahan di tengah pandemi, mereka menjawab sambil berkelakar. “Gimana mau berencana, pantai hanya segini saja, tempat gak ada!” ujar Dana disambut tawa garing nelayan lainnya yang masih terduduk di atas kursi lonjer kayu itu. Serangan yang indah nyatanya menyimpan gejolak tersendiri di dalamnya, entah soal akar pembangunan yang tidak berkelanjutan, luka ingatan masyarakat akan tindakan kekerasan aparat, rumitnya birokrasi di tengah pandemi hingga minimnya pemberdayaan kekayaan bahari. Maka, apabila penanganan pemberdayaan komponen kehidupan Desa Adat Serangan lalai, jangan salahkan kekayaan baharinya kian terkulai.
Penulis: Galuh Sriwedari dan Yuko Utami