Sejak Juli hingga September 2020, hasil investigasi Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) Bali mengungkapkan terdapat 16 kasus yang menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan Universitas Udayana (Unud). Selebihnya, tidak sedikit korban justru memilih bungkam. Hal ini dikarenakan payung hukum yang lemah dan ketidakseriusan penanganan kekerasan seksual di institusi pendidikan.
Bak fenomena gunung es, itulah analogi yang tepat dalam menggambarkan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, khususnya pada lingkungan institusi pendidikan. Salah satunya yang terjadi di Universitas Udayana, kasus kekerasan seksual masih menjadi persoalan tabu untuk diusut. Institusi pendidikan yang semestinya memberikan rasa aman dan perlindungan dalam bingkai pencerdasan pengetahuan dan mental, justru menjadi tempat yang berbahaya. Belum lagi tidak adanya pos pengaduan terhadap persoalan ini, membuat korban kebingungan dan mulai mempertanyakan, sejatinya dimanakah kepedulian birokrat kampus?
Miris rasanya, kepedulian dalam mengusut kasus kekerasan seksual di Unud justru datang dari organisasi ekstra (Seruni Bali). Pada webinar bertajuk “Menyoal Isu Kekerasan Seksual di Institusi Pendidikan” yang diselenggarakan oleh LBH Bali, Ufiyah Amirah sebagai narasumber yang mewakili Seruni Bali mengungkapkan data miris tersebut. Ufi yang masih menjadi mahasiswa aktif di Unud pun mengungkapkan bahwa Unud tidak memiliki kepedulian lebih dalam menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi. Penyebab utama polemik tersebut lantaran belum adanya payung hukum yang pasti sebagai acuan. “Jadi tidak akan ada penanganan kekerasan seksual yang serius di kampus tanpa adanya payung hukum yang jelas dari negara,” jelas Ufi.
Webinar yang berlangsung pada tanggal 30 September 2020 lalu, Ufi tidak sendiri. Terdapat pula figur yang getol mengadvokasi isu ini, diantaranya Luh Putu Anggreni dari LBH Apik Bali, Aryo Nugroho Waluyo dari LBH Palangka Raya, dan Joko Jumadi sebagai Akademisi dari Universitas Mataram. Pada isu yang amat krusial ini, sebagai akademisi, Joko Jumadi turut menyampaikan gagasannya perihal relasi kuasa yang menjadi pemicu lahirnya kesempatan bagi pelaku kekerasan seksual di institusi pendidikan. “Relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa, menempatkan mahasiswa sebagai pihak yang sangat rentan. Belum lagi tidak ada semacam wadah bagi mahasiswa untuk menyampaikan keresahannya. Ini jadi PR untuk seluruh dunia pendidikan,” ujar Joko yang sempat menjadi kuasa hukum untuk Baiq Nuril. Sehingga, Joko pun mewanti-wanti bahwa RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual -red) sangat genting untuk dibahas dan disahkan sebagai payung hukum terhadap polemik dalam menangani kasus kekerasan seksual.
Perlindungan Korban, Pendamping, dan Saksi
Hingga detik ini, penanganan kasus kekerasan seksual hanya sebatas dengan menggunakan dasar hukum Undang-undang Perlindungan Anak nomor 35 tahun 2014 yang merupakan perubahan atas UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002. Tetapi, peraturan ini hanya berlaku pada usia anak dengan batas umur dibawah 18 tahun. Untuk peserta didik yang berstatus mahasiswa dengan rentan umur 19 tahun keatas, tidak ada perlindungaan khusus terhadap mereka. Payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual di Indonesia hanya terdapat pada Pasal 285 KUHP tentang pemaksaan persetubuhan dengan ancaman penjara maksimal 12 tahun bagi pelakunya. Pasal ini mendefinisikan persetubuhan dengan adanya penetrasi, yang berarti jika terjadi pemaksaan persetubuhan tanpa adanya penetrasi seperti “menempelkan” kelamin, meraba bagian tubuh perempuan, mencium ataupun hal yang berbau sensual lainnya hanya didefinisikan sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan seperti yang diatur dalam pasal 289 KUHP tentang pencabulan dengan hukuman penjara paling lama 9 tahun.
Sungguh hukuman yang singkat. Terlebih, dalam penanganannya korban yang semestinya mendapatkan perlindungan, sebaliknya justru menjadi bahan gunjingan dan hujatan. Tak sedikit masyarakat yang masih melimpahkan ke cara berpakaian dan hal-hal diluar cara pandang yang tak layak terhadap korban. Selain korban, pendamping maupun saksi kerap kali tak terlindungi. Sehingga, Joko menambahkan bahwa kinerja aparat penegak hukum perlu dikuatkan lagi dalam menjaga kerahasiaan korban dan saksi. Menurut Luh Putu Anggreni, terdapat perbedaan dalam penanganan korban kekerasan seksual anak dan dewasa, “penanganan korban yang anak dan dewasa itu berbeda, di pengalaman saya terhadap anak di dalam rumah itu bisa siapa saja pelakunya bahkan di panti antara junior dan senior.” Terangnya.
Perlindungan terhadap korban maupun saksi, bagi Aryo Nugroho Waluyo (Kepala Lembaga Bantuan Hukum Palangka Raya) bahwa adanya relasi kuasa yang terus bergulir di institusi pendidikan, membuat upaya perlindungan korban tak akan berjalan mulus. “Tadi disinggung juga soal relasi kuasa jadi biasanya pelaku-pelakunya ini sampai begitu lama dia menjalankan praktik bejatnya dan dia tidak tersentuh karena dia berposisi cukup kuat di kampus sehingga dia tahu betul bagaimana sistemnya yang berlaku,” ungkap Nugroho. Sehingga, pihak kampus pun seolah tak berdaya dalam memberikan hukuman dan regulasi yang mengatur soal pemberhentian tenaga pendidik pun dilimpahkan kepada Dikti, yang menunjukkan bahwa kampus seolah tidak memiliki otonomi lebih untuk menegakkan iklim pendidikan yang aman dari kekerasan seksual.
Penanganan kekerasan seksual di institusi pendidikan mutlak berdasar pada payung hukum yang pasti. Keberadaan RUU PKS sejatinya mampu mengisi kekosongan hukum terhadap penanganan kasus kekerasan seksual. Ufi pun berpesan bahwa rakyat tidak boleh serta merta hanya menggantungkan nasib kepada pemerintah dengan berharap bahwa RUU PKS segera disahkan. Baginya, lebih baik memulai pergerakan dari bawah dengan kampanye dan pencerdasan kepada masyarakat yang masih tabu dengan isu kekerasan seksual.
Penulis: Yuko Utami
Penyunting: Galuh