Negara Kartel Sejarah: Monopoli Kebenaran dan Pikiran Rakyat
Penulisan ulang sejarah indonesia memang tidak tampak salah, malah memang diperlukan jika telah ditemukan fakta sejarah baru untuk melengkapi fakta sejarah yang sudah ada. Namun kecurigaan mulai muncul saat dirasa bukan itu alasannya ketika melihat usul ini muncul tiba-tiba dan proyeknya yang terkesan dikebut
Menteri kebudayaan yang baru menjabat menyebut bahwa penulisan ulang sejarah bukan sebuah pilihan, melainkan keharusan. Diharuskan oleh siapa? Bolehkah kami, rakyat Indonesia, yang merupakan bagian dan akan menjadi bagian dari sejarah bangsa ini bertanya alasan dan tujuannya? Walau kami bisa menebak apa yang sebenarnya negara ingin lakukan jika melihat ketimpangan yang muncul pada draft-nya dan bagaimana sejarawan serta berbagai pihak lain menentang proyek ini.Negara seharusnya membuat rakyat paham betul dengan sejarah bangsanya secara keseluruhan, dari kegigihan melawan kolonialisme hingga keterbukaan akan peristiwa-peristiwa semacam pembantaian massal 1965-1966 serta sederet peristiwa pelanggaran HAM lainnya. Bukannya malah masih terjebak akan patriotisme dan romantisme kebesaran bangsa yang sudah ribuan tahun berlalu. Negara harus mengakui, menerima dan mempelajari kesalahan masa lalu karena itu juga bagian dari sejarah bangsa, yang merupakan bekal untuk menjadi sebuah bangsa yang besar, jika memang ingin. Banyak orang bahkan tidak tertarik dengan sejarah, untuk apa memolesnya? Lagipula sistem pendidikan di negara ini masih tidak sesuai dengan karakter peserta didik, mereka hanya akan mengingatnya jika besok pagi adalah giliran ujian mata pelajaran sejarah.
Sejarah Bukan Milik Pemenang, Sejarah Adalah Milik Semua Orang
Jika mencari tahu sejarah dari sejarah, akan diketahui bahwa sebenarnya sejarah itu sederhana. Sejarah adalah peristiwa masa lalu. Tidak ada penulis khusus, tidak ada pemilik. Hanya tulisan peristiwa masa lalu manusia yang ditulis oleh manusia. Dinamika manusia lah yang membuatnya rumit, padahal sejarah tetap begitu-begitu saja.Sejarah tidak pilih kasih, seluruh peristiwa di masa lalu yang memiliki dampak bagi banyak orang adalah sejarah. Peristiwa baik maupun buruk. Sejarah juga bukan kebenaran mutlak, sejarah akan senantiasa berkembang mengikuti kehidupan manusia dan mengikuti apa yang ditemukan manusia. Bukannya merubah sejarah yang sudah ada. Sejarah terus diisi, sejarah terus terbentuk. Sejarah tidak boleh dikurangi, apalagi dicurangi.Sejarah bukanlah kebenaran tunggal atas masa lalu, sejarah hanya mencoba mengantarkan kita ke posisi yang berada sedekat mungkin dengan kebenaran masa lalu. Sejarah yang mengikuti kehidupan manusia ini, akan mengikuti pula tafsir manusia di dalamnya. Manusia bebas menafsirkan makna hidupnya, begitu pula dengan sejarahnya. Semua orang berhak atas itu. Jadi jika di suatu masa ada satu manusia atau satu gerombolan manusia menafsirkan sejarah sesuai pandangan mereka, maka manusia lain berhak pula menafsirkan sejarah sesuai pandangannya.Dalam keilmuannya, sejarah bukan hal yang eksklusif dan bukan milik salah satu manusia. Sejarah adalah milik seluruh manusia sebagai individu. Tetapi jika dalam konteks sejarah yang memiliki dampak bagi sebagian atau bahkan seluruh manusia, diperlukan seseorang yang ahli untuk memverifikasinya, yakni seorang sejarawan.
Frasa Sebuah Negara Hipokrit: Tidak Ada Bukti, Peristiwa Itu Tidak Ada.
Suatu peristiwa sejarah tidak bisa hanya berakhir pada perdebatan apakah peristiwa tersebut benar terjadi atau tidak. Sejarah punya metode untuk menggali sumber atau proof dari suatu peristiwa sejarah dan sejarah harus memberikan sumber-sumber seperti apa adanya. Fakta sejarah berasal dari sumber-sumber dan sumber-sumber berasal dari kesaksian pelaku sejarah, siapapun dan apapun kesaksian yang diberikannya. Jika ada manusia yang merupakan pelaku sejarah bisa bersaksi atas suatu peristiwa sejarah, maka peristiwa itu mempunyai kesempatan untuk direkonstruksi.Lalu jika peristiwa itu tidak dianggap nyata oleh sebagian manusia lain, maka tidak masalah. Pada dasarnya manusia tidak terlalu mempercayai apa yang tidak pernah dialaminya. Tapi jika manusia lain itu adalah negara yang denial akan peristiwa sejarahnya sendiri apa tidak masalah juga? Tentu ini masalah, serius bahkan. Jika ada kesaksian pelaku sejarah mengenai suatu peristiwa sejarah, maka untuk mencari tahu fakta sejarah akan peristiwa itu adalah tugas negara. Negara punya segala hal yang diperlukan dalam usaha mencari tahu fakta sejarah itu, tapi ada suatu negara yang memilih menjadi tukang “gaslight”. Tidak mencoba mencari, tidak mencoba mendukung penulisan sejarah yang sudah ada, dan bahkan tidak mencoba mendengar.Ketika mencoba membandingkan fakta akan adanya eksistensi tokoh bernama Gajah Mada yang merupakan patih Kerajaan Majapahit dengan fakta peristiwa-peristiwa kejahatan HAM yang tidak ingin diakui oleh negara, ternyata keduanya pun sama saja abu-abu. Mari pikirkan, apakah ada kesaksian mengenai sosok Gajah Mada? Ada, namanya disebut di Prasasti Pararaton yang penulisnya hingga kini tidak diketahui siapa. Lalu apakah ada kesaksian mengenai tragedi pemerkosaan massal Mei 1998? Ada, disebut oleh korban, pendamping korban – tim relawan dan tim kesehatan. Apakah sejarah mengakui ada tokoh bernama Gajah Mada? Ya. Lalu mengapa tidak bisa mengakui tragedi pemerkosaan massal Mei 1998?Jika ada kesaksian atas suatu peristiwa masa lalu, maka sejarah bisa ditulis. Tidak ada alasan untuk tidak menulis peristiwa-peristiwa sejarah itu. Seperti Kongres Perempuan Pertama hingga belasan peristiwa pelanggaran HAM pada masa Orde Baru yang sepertinya tidak ingin dimasukkan dalam penulisan ulang sejarah Indonesia. Jika ada alasannya, maka alasan tersebut bukan berasal dari mulut seorang sejarawan. Tapi dari mulut seorang yang takut hilang kekuasaan.
There’s No Such Thing Like “Official History”
Negara ini ingin membuat frasa baru yang aneh lagi, sudah aneh, akan menyusahkan pula. Sejarah resmi? Lebih terdengar seperti ketakutan atas pemikiran rakyat sendiri. Pemberian label sejarah resmi akan membuat tulisan-tulisan lain dengan topik sama dianggap tidak sah. Sejarah resmi ini akan disebut sebagai sejarah tunggal yang benar sehingga yang lain adalah bohong dan mungkin dianggap ulah antek asing yang ingin memecah belah. Banyak penyelewengan yang sangat mungkin dilakukan negara dalam proyek ini, yakni pemutarbalikan fakta sejarah yang ditemukan untuk kepentingan rezim yang sedang berkuasa.Tujuan penulisan ulang sejarah ini katanya untuk menghilangkan bias kolonial dan menegaskan perspektif Indonesia-sentris. Namun tujuan ini pun sudah kontradiktif dengan apa yang diklaim oleh negara, yang menginginkan proyek ini sebagai sejarah resmi.Perspektif Indonesia-sentris berarti perspektif rakyat Indonesia, bukan negara. Jika negara ingin betul-betul membentuk perspektif Indonesia-sentris, maka seharusnya keseluruhan peristiwa sejarah yang dialami oleh rakyat Indonesia harus masuk dalam penulisan ulang sejarah Indonesia. Negara tidak berhak memilah apa yang masuk dan tidak, apalagi membentuk “sejarah resmi”.Tidak ada yang bisa menjamin perspektif Indonesia-sentris di dalam penulisan ulang sejarah Indonesia itu, bias kolonial yang hilang bisa saja digantikan oleh bias negara yang tengah dikuasai para elite dan rezim yang culas. Pada dasarnya negara ini sama saja kolonialnya.Usai meragukan tragedi pemerkosaan massal, dan bahkan enggan menyebutnya, menteri baru kita itu membuat tulisan panjang di media sosial. Bukan untuk meminta maaf, tetapi membuat dusta baru yang sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan. Masih dengan denial menolak fakta bahwa tragedi itu pernah terjadi, juga secara tidak langsung menyeret nama Presiden Indonesia terdahulu, yakni B.J Habibie karena ia mengakui bahwa tragedi itu pernah terjadi dan bahkan membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) hingga melahirkan Komnas Perempuan.Selain itu, mereka juga ingin membuat kita percaya bahwa masyarakat akan diajak untuk terlibat dialog dalam upaya membangun narasi sejarah Indonesia dengan prinsip keterbukaan dan partisipasi publik. Ketika semua yang dilakukan negara selalu bertentangan dengan apa yang dijanjikan pun mereka masih dengan kepala tegak mengatakan ini.
Catatan Untuk yang Katanya Sejarawan
Seorang sejarawan sudah terjebak dengan masa lalu setiap hari, mungkin tidak sepanjang hidup, dan sejarawan telah melalui proses panjang; belajar, mendengarkan para ahli, membaca buku “membosankan”, melakukan penelitian yang kadang kala sumbernya sulit mereka temukan, tidak jarang juga jika tidak sulit, mereka akan disesatkan oleh sumber yang mereka temukan sendiri.Tapi jangan terlalu mengasihani sejarawan, mereka melakukan itu karena mereka ingin. Lagipula di kondisi bangsa yang seperti ini, hanya orang sedikit tidak waras yang memilih pekerjaan ini. Perlu diingat, hal di atas dialami oleh sejarawan sejati, bukan sejarawan karbitan yang bahkan tidak paham makna Indonesia-sentris.Kaki sejarawan adalah kaki yang dipercaya menjejaki tempat yang tak semua kaki dapat jejaki. Pikiran sejarawan adalah pikiran yang dipercaya untuk membentuk kenyataan sejarah dan tangan sejarawan adalah tangan yang dipercaya menorehkan kisah sejarah yang dipelajari dan diakui. Bagaimana jika seorang sejarawan adalah pelaku kecurangan? Jujur saja, mereka adalah pengkhianat. Sumber-sumber sejarah menunggu seseorang yang mampu membuat mereka berbicara kejadian sebenarnya, bukan seseorang yang memanfaatkan mereka untuk melakukan manipulasi sejarah semu.JAS MERAH Sukarno sepertinya hanya akan disusun atas kemeja keserakahan, celana panjang manipulasi dan dasi bentuk pembodohan yang menghasilkan satu setelan kekuasaan atas kebenaran dan pikiran rakyat.
Penulis: Elisia
Penyunting: Putri Wara
Sumber rujukan: Anggraeni, D. (2014). Tragedi Mei 1998 dan lahirnya Komnas Perempuan. Kompas

