Sebagai pulau yang terkenal akan tradisinya, Bali menawarkan wajah yang mempesona di mata dunia. Ajeknya ritual dalam balutan tradisi yang masih diwariskan hingga saat ini menjadi faktor utama mengapa Bali begitu mempesona. Namun, apakah ajeknya tradisi selaras dengan pemuliaan terhadap alam Bali?
Sepanjang musim hujan, banjir menjadi suasana lumrah di beberapa daerah di Bali. Keyakinan bahwa Bali aman dari terjangan banjir, kini bisa dibantah. Sejumlah wilayah di Bali Selatan seperti Kuta menjadi daerah langganan banjir. Selain itu, beberapa titik di Denpasar dan Gianyar juga tidak terhindarkan dari terjangan air. Kedepan, apakah mungkin Bali akan tenggelam?
Menjawab Bali dan Tantangannya
Sebagai pulau yang terkenal akan tradisinya, Bali menawarkan wajah yang mempesona di mata dunia. Ajeknya ritual dalam balutan tradisi yang masih diwariskan hingga saat ini menjadi faktor utama mengapa Bali begitu seksi. Keseluruhan ritual tersebut dijalankan untuk menjaga harmonisasi manusia dengan Tuhan, alam dan sesama manusia sebagaimana filosofi yang melekat dalam diri Bali, yakni Tri Hita Karana.
Alam dengan segala isinya bukan hanya memancarkan pesona, tetapi juga menjadi penopang kehidupan masyarakat Bali. Oleh karenanya, rangkaian ritual dilaksanakan masyarakat Bali sebagai bentuk syukur terhadap Tuhan. Namun, pelaksanaan tradisi perlulah mendapat refleksi. Apakah tradisi yang berjalan juga beriringan dengan pemuliaan masyarakat terhadap alam? Jangan sampai rasa syukur terhadap Tuhan hanya berhenti melalui upakar, melainkan juga harus menyentuh akar tattwa-nya sebagaimana yang disampaikan I Ngurah Suryawan dalam buku yang berjudul Saru Gremeng Manusia Bali. Apabila ritual menyentuh akar tattwa-nya maka akan terhayati hingga ke sanubari dan melekat kuat menjadi suluh kehidupan.
Namun demikian, pelaksanaan ritual justru terkadang semakin menjauh dari esensi yang sesungguhnya. Tak jarang kita temui momen seusai upacara yang meninggalkan sisa-sisa sampah. Misalnya seusai pelaksanaan upacara melasti. Upacara yang dilaksanakan dengan pengambilan tirta suci di tengah samudera atau sumber mata air di sebuah pantai ini dimaknai sebagai pembersihan alam semesta. Namun dalam pelaksanaanya, sering ditemukan sampah anorganik seperti botol minuman dan tas plastik yang ditinggalkan masyarakat begitu saja seusai upacara. Saat perayaan Pengrupukan pun demikian, sampah-sampah plastik bisa ditemui di sepanjang jalan seusai mengarak ogoh-ogoh. Lantas, dimana esensi terhadap pembersihan alam secara (sekala) dielukan? Persoalan tersebut baru sebagiannya, sebagian lainnya Bali juga harus siap menerima ulah dan limbah dari persoalan pariwisata.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), provinsi Bali menghasilkan 915,5 ribu ton timbulan sampah sepanjang tahun 2021. Ini menjadikan Bali sebagai provinsi penghasil sampah terbesar ke-8 di Indonesia. Tak hanya dari masyarakat saja sampah juga ditimbulkan dari ulah para penikmat tempat wisata yang kurang sadar diri.
Jika hal ini terus dibiarkan, jumlah sampah di Bali akan terus melonjak dan pencemaran lingkungan pun tak akan dapat dihindari.
Berkaca dari hal tersebut, sudah semestinya seluruh stakeholder termasuk masyarakat mampu membuka mata dan tergerak dalam aksi nyata. Kembali menata alam Bali yang asri dan jauh dari pencemaran. Ketegasan aparat berwajib juga tak kalah pentingnya. Jika seluruh lapisan mampu bergerak sesuai perannya, persoalan sampah rasa-rasanya tak akan sangat mengkhawatirkan. Namun sebaliknya, jika kita abai, Bali yang berjulukan pulau surga ini akan tenggelam dalam lautan sampah dan pencemaran.
Sumber:
Penulis Gung Putri
Penyunting: Day