Lagi-lagi usaha pelemahan demokrasi terjadi di negeri ini. Aksi premanisme yang menimpa People’s Water Forum harus dilihat sebagai upaya nyata mempersempit kebebasan sipil dan pengosongan ruang-ruang diskusi melalui sejumlah intimidasi dan pembubaran paksa yang terjadi. Mirisnya, pelemahan ini justru dilakukan oleh sesama masyarakat yang membuat seolah-olah telah terjadi konflik horizontal antar masyarakat sipil. Kiranya benarkah demikian? Tentu kita tidak pernah lupa forum diskusi yang mengkritisi KTT G20 Tahun 2022 yang juga pernah dibubarkan di Bali.
Mengutip dari situs berita lingkungan mongabay yang bertajuk “Kekerasan di Forum Rakyat untuk Air: Kritik World Water Forum di Bali Berujung Anarkis”, disebutkan bahwa jumpa pers People’s Water Forum dengan media dan akademisi dari berbagai negara di Bali pada Senin 20 Mei 2024 kemarin diwarnai intimidasi, ancaman serta pembubaran paksa oleh organisasi masyarakat (ormas) yang menyebut diri mereka sebagai ormas Patriot Garuda Nusantara (PGN). Disebutkan pula bahwa berbagai intimidasi pelarangan kegiatan telah terjadi sejak 2 April 2024.
Padahal People’s Water Forum (PWF) merupakan ruang koordinasi bagi Water Justice Movements (Gerakan Keadilan Air) dari seluruh dunia yang memperjuangkan keadilan air baik dalam tingkatan internasional, nasional, regional maupun lokal. Dalam diskusi-diskusinya, forum ini mengangkat suara-suara masyarakat yang kehidupannya dirugikan oleh proses privatisasi dan komersialisasi air, dan melindungi air sebagai suatu kesejahteraan umum dan hak asasi manusia.
Merujuk pada laman The Peoples Water Forum, sejak dua dekade lalu, PWF senantiasa setia menjadi forum tandingan yang mengiringi dan mengkritisi perhelatan World Water Forum (WWF). Menurut laman World Water Forum, WWF adalah pertemuan internasional terbesar di sektor air yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, yang diselenggarakan bersama oleh World Water Council (WWF) dan kota tuan rumah. Forum ini diadakan setiap tiga tahun sekali dan telah berlangsung sejak tahun 1997.
Membicarakan mengenai persoalan air, masyarakat Bali sendiri sangat menghormati keberadaan air. Penghormatan terhadap air yang diwujudkan dengan berbagai upacara serta tradisi konservasi air, sumber mata air sebagai sumber kehidupan dan sumber air suci, telah mengakar dan tumbuh menjadi suluh kehidupan masyarakat Bali. Bagaimana tidak? Sejarawan sekaligus Pengamat Budaya, I Gede Arya Danu Palguna dalam laman berita Jawa Pos Group Bali Express yang bertajuk “Begini Sejarah Agama Hindu Disebut Agama Tirta” menuturkan bahwa tatkala zaman Bali Mula, agama Hindu masih dinamakan sebagai agama Dharma atau agama Tirta. Sebab dalam setiap kegiatan maupun upacaranya, unsur air senantiasa dilibatkan sebagai media vital, sebagai sumber kehidupan.
Berdasarkan pandangan masyarakat Hindu, sumber-sumber mata air atau tempat yang banyak menampung air dianggap sebagai salah satu tempat suci, terutama sumber-sumber mata air seperti kelebutan (mata air), danau, campuhan (pertemuan dua buah sungai atau anak sungai), loloan (pertemuan sungai dengan laut) dipercaya mempunyai kekuatan yang mensucikan. Oleh karena itu setiap hulu mata air di Bali, umumnya dibangun tempat untuk melakukan pemujaan dan akan sangat dijaga lingkungan sekitarnya agar senantiasa bersih dan tidak tercemar baik secara sekala maupun niskala. Karena air dari mata air tersebut akan menjadi tirta yang sangat diperlukan dalam upacara panca yadnya.
Mengingat fungsinya tersebut, masyarakat Hindu Bali senantiasa berusaha untuk menjaga agar kondisi atau kualitas sumber mata air tersebut tetap terjaga. Jadi secara sadar atau pun tidak masyarakat Hindu Bali telah melakukan penjagaan dan konservasi terhadap lingkungan mata air. Terlebih lagi bagi masyarakat akar rumput seperti halnya masyarakat Subak Bali yang kehidupannya berporos pada pengelolaan sumber daya air secara gotong royong untuk memuliakan air dengan kearifan lokalnya. Sejalan dengan itu, WWF ke 10 yang digelar tahun ini di Bali memberikan peluang bagi Bali untuk menunjukkan kearifan lokalnya dalam pengelolaan air yang dikenal sebagai Tirta tersebut.
Kendati demikian, pada realitasnya, WWF tampil sebagai forum eksklusif bagi para elit dan pihak yang terpilih seperti halnya para kepala negara, pimpinan organisasi internasional seperti perusahaan multinasional, pejabat tinggi pemerintah, pakar, cendekiawan, wirausahawan, dan ekonom terpilih yang hadir pada perhelatan WWF Pada tanggal 18 hingga 25 Mei 2024. Diluar ekslusifitas yang terjadi, WWF memang merupakan agenda global yang seyogyanya dilakukan. Pembahasan-pembahasan persoalan air untuk menghadapi tantangan global merupakan hal yang penting dilakukan, tetapi bukan artinya diskusi mengenai persoalan air ini hanya menjadi kepentingan elit semata. Oleh karena itu, forum seperti PWF hadir menggaungkan narasi penolakan dan mewadahi organisasi keadilan air dan lingkungan hidup, gerakan sosial, petani skala kecil, serikat pekerja dan pembela hak asasi manusia di seluruh dunia yang tidak dilibatkan dalam diskusi WWF.
Menyoroti hal diatas, maka pada hakikatnya pembahasan mengenai air merupakan pembahasan mengenai kehidupan orang banyak, tidak terkecuali masyarakat akar rumput. Oleh karena itu perhelatan seperti PWF yang membuka ruang-ruang kritis dan mengangkat suara-suara golongan masyarakat akar rumput perihal persoalan air tidak semestinya diberangus dan dibubarkan paksa. Bukankah tindakan-tindakan keculasan demikian justru semakin menunjukkan bahwa air adalah komoditas pasar layaknya barang mahal yang hanya eksklusif untuk orang-orang tertentu saja?
Menilik aspek demokratisnya, dalam laman berita PikiranRakyat yang bertajuk “Pembubaran Paksa PWF 2024, Bukti Nyata Menyempitnya Ruang Kebebasan Sipil”, Zainal dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menegaskan bahwa selama 26 tahun rezim otoriter tumbang namun watak-wataknya masih dijalankan. Satu diantaranya yakni masih terjadinya praktik intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat saat ini. “Kejadian ini mengingatkan kita bahwa selama 10 tahun kita dipimpin oleh rezim orang jahat, karena hanya orang jahat yang berusaha membungkam suara-suara yang kritis dan risih dengan suara kritis. Ini menunjukkan bahwa sudah tidak ada yang tersisa dari reformasi, ketika masyarakat sipil takut untuk bersuara dan menyuarakan pendapat mereka.”
Mungkinkah kita belum merdeka?
Sumber:
–https://thepeopleswaterforum.org/
–https://worldwaterforum.org/overview
https://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/view/2372/1600
Sumber Foto: YLBHI
Penulis: Vita