DI BALIK PEMBUBARAN DISKUSI MANJI

Mutlak! Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tertera pada pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Tidak ada istilah untuk tidak mematuhi peraturan tertinggi di negara ini dengan alasan apapun. Tetapi perlu juga dicatat, setiap orang  mempunyai hak untuk berbicara dan berpendapat yang oleh konstitusi juga telah diatur di dalamnya. Apa hubungannya? Tentu saja hukum akan cacat ketika terjadi pengekangan pendapat dan diskriminasi terhadap hal-hal yang terlihat ‘berbeda’ di mata segelintir atau bahkan mayoritas rakyat Indonesia. Padahal, adanya ide atau pendapat itu dapat dijadikan sebagai refleksi atas masukan-masukan yang nantinya bisa dikonversi untuk menghasilkan suatu output yang ideal.

Kita teringat ketika penulis Irshad Manji menggelar diskusi untuk mengupas buku kontroversialnya Allah, Liberty & Love di Gedung Salihara, Jakarta, 4 Mei lalu. Pembubaran seketika dilakukan oleh sekelompok orang yang tergabung dalam ormas keagamaan yang tiada lain adalah FPI. Diskusi dibubarkan dengan dalih buku yang ditulis intelektual Muslim asal Kanada ini bertentangan dengan ajaran agama Islam karena dianggap menyebarkan ajaran gay dan lesbian. Pembubaran juga diwarnai dengan aksi kericuhan yang padahal, seperti dimuat tempo.com: Ketua Front Pembela Islam (FPI) Salim Alatas belum sempat membaca buku kontroversial tersebut ketika menggencarkan aksi pembubaran. Miris!

Tidak berhenti sampai di sana, selang lima hari (9/5) Manji kembali diundang untuk menjadi pembicara dalam acara bedah buku yang digelar di Gedung Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Acara lagi-lagi dibatalkan karena mendapat tekanan dari ormas yang menamakan kelompoknya Aliansi Gerakan Jogja Peduli Moral Bangsa, sebagaimana dilansir situs kompas.com. Mereka mengancam bila diskusi tetap berlanjut mereka akan membubarkan diskusi secara paksa.

Apa yang dialami Manji bukan saja masalah pengekangan pendapat, tetapi juga bentuk diskriminasi.  Dikatakan demikian karena acara tersebut merupakan forum diskusi yang seharusnya menjadi media untuk saling mengutarakan pendapat. Bukankah kita telah diajarkan musyawarah mufakat semenjak sekolah dasar? Musyawarah mufakat inilah yang seharusnya dipupuk agar tumbuh subur menghasilkan ‘bunga’ kedamaian. Bukan dengan membubarkan lalu mengancam keamanan. Lebih-lebih dalam sebuah forum diskusi, perdebatan secara verbal dengan kepala dingin sangat perlu tanpa harus menentang secara berlebihan hingga menciptakan suasana chaos.

Dalam kasus ini, masyarakat yang tergabung dalam ormas-ormas tertentu boleh-boleh saja bertentangan pendapat dengan Manji. Mereka mungkin berargumen bila diskusi tetap berlangsung, dikhawatirkan akan berimplikasi pada moral peserta diskusi karena buku tersebut ada membahas masalah hubungan sesama jenis. Dan argumen pamungkas mereka adalah Tuhan tidak pernah mengajarkan umatnya untuk menjadi seorang gay atau lesbian. Argumen-argumen itu kemudian berkembang hingga pada titik yang memposisikan Manji sebagai seorang pengkhianat Tuhan.

Namun demikian, penafsiran-penafsiran yang tanpa menggali keseharian Manji lebih jauh seperti itu bukanlah cermin baik untuk kita memahami dan memaknai hukum.  Justru yang terjadi adalah fitnah. Fitnah ini pada akhirnya menjadi adegan main hakim sendiri karena didasari penafsiran-penafsiran tanpa prosedur tata hukum yang jelas. Penghakiman, pemberian vonis, pengadilan, dan yang berhubungan dengan penegakan hukum wajib dilakoni oleh oknum-oknum yang tepat sebagaimana telah diatur juga dalam undang-undang terkait. Bukan oleh organisasi masyarakat yang terkadang militan dan sering main hakim sendiri. Inilah yang kemudian menjadi pekerjaan rumah bagi segenap bangsa Indonesia yang paceklik penegakan hukum.

Kasus pembubaran diskusi Manji ini juga menyisakan catatan-catatan tentang bagaimana harusnya kita membuat panel diskusi. Penting bagi kaum akademisi, pembubaran tersebut membuat kita bertanya-tanya diskusi macam apakah yang mereka anggap layak untuk kita gelar? Pada hemat saya, selama masih dikelilingi oleh tembok akademis, semua hal sah-sah saja menjadi kriteria untuk dibahas dan dicarikan jalan keluarnya. Bahkan membahas hal-hal yang dianggap tabu sekalipun. Di kalangan mahasiswa misalnya tidak perlu lagi malu mengenal seks. Pengetahuan tentang seks di kalangan mahasiswa sangat penting mengingat pada masa-masa inilah konon gejolak remajanya sangat tinggi. Lalu, apakah kemudian diskusi-diskusi tentang seks juga tidak layak untuk digelar?

Terkadang, adat-adat dan kebiasaan-kebiasan lama harus ditanggalkan sebentar ketika kita dalam lingkaran tembok akademis tadi. Intelektualitas kita perlu dilatih dengan pemikiran-pemikiran rasional. Bukan menelan mitos secara mentah-mentah. Kembali pada masalah seks, kita tidak akan pernah tahu bila tidak mempelajari seks itu bagaimana. Ini bukan bermaksud mengajarkan atau menganjurkan mahasiswa untuk melakukan seks secara bebas, justru pengetahuan akan seks seperti itu sangat penting sebagai upaya preventif dari seks bebas. Sebab, bisa jadi kasus-kasus pemerkosaan, pencabulan, dan seks bebas itu marak terjadi karena diskusi tentang seks dianggap hal yang tabu dan enggan untuk digelar.  Padahal, hikmah positif dapat dipetik dari hal-hal yang mungkin dianggap orang tabu seperti itu.

Pada akhirnya, di negeriku tercinta Indonesia ini membutuhkan pemikiran-pemikiran moderat yang menerima kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi, dan kebebasan kebebasan berpendapat seperti amanah pasal 28 UUD 1945. Indonesia adalah negara Bhineka Tunggal Ika yang sudah selayaknya menjunjung tinggi keanekaragaman. Termasuk keanekaragaman ide dan pendapat tanpa harus mengesampingkan hukum yang berlaku di negara ini.

I Wayan Widyartha Suryawan (1121105012)

*Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Udayana

You May Also Like