
Pertanian tidak cocok di Bali dan mengusulkan agar pemerintah melaksanakan program transmigrasi bagi para petani Bali. Begitulah kalimat yang dilontarkan Panundiana Khun, Ketua Apindo Bali di koran Bali Post edisi 15 februari 2012 lalu.
Pemandangan yang kini terlihat diseputaran Renon hingga daerah Panjer hanyalah kompleks ruko dan perumahan yang padat. Bangunan megah satu per satu bermunculan menghiasi gemerlap kota Denpasar. Pemandangan serupa juga terjadi di daerah Ubud, tebing-tebing pun disulap menjadi villa bernilai milyaran rupiah. Ya, lahan pertanian Bali memang dicaplok oleh iming-iming Pariwisata.
Pemerintah Bali harusnya berani mengatakan ‘tidak’ pada tawaran investor asing, bukannya malah menjual Bali. Selain itu pajak lahan pertanian yang saat ini berlaku didasarkan dari NJOP bukan dari produktivitas lahan. Sementara dilain sisi pemerintah juga masih minim usahanya dalam mempertahankan lahan pertanian di Bali. Selama ini petani tidak diberikan kemudahan dalam bercocok tanam oleh pemerintah. Bantuan pupuk dan bibit produk pertanian masih sangat jarang diberikan. Terlebih lagi tengkulak yang berkeliaran, harga gabah dibawah biaya produksi bahkan gagal panen sekalipun pemerintah tidak mau turun tangan. Ujung-ujungnya petanilah yang merana. Kalau sudah begitu bagaimana petani-petani itu tidak menjual sawahnya. Akibatnya sudah tentu harga kavling tanah yang tinggi pun akan menggiurkan bagi petani.
Pernyataan dari Ketua Apindo Bali, Panundiana ini seolah memberikan gambaran bahwa pejabat-pejabat kita yang duduk disinggasana hanya memandang bertani sebagai kegiatan yang mudah dan remeh. Bertani bukanlah soal mencangkul, membajak lalu menanam dan menuai hasil, dalam prosesnya sangat banyak nilai-nilai sosial dan kearifan lokal yang terkandung. Menjadi petani melatih kita untuk bersabar. Bersabar menuai hasil yang kita tanam. Sistem pengairan sawah yang terkenal di Bali dengan subak juga menjadi sebuah bentuk sikap berbagi dan menumbuhkan nilai-nilai keadilan didalamnya.
Tingginya Kavling Tanah
Sawah pun nantinya akan tinggal menjadi cerita oleh anak cucu kita. Pohon-pohon beton juga tak kalah menjamurnya di daerah Teuku Umar, Denpasar. Bayangkan saja, harga tanah yang kavlingan bekas sawah di tengah kota per 1 are (100 meter persegi) mencapai Rp.375.000.000,- (Sumber : http://www.rumahjualbali.com/2011/07/jual-tanah-kavling.html). Tak sampai disana saja, didaerah lahan basah yang produktif seperti Panjer juga mematok harga fantastis untuk tanah kavling yakni sekitar Rp.400.000.000,- per satu are. Tak pernah terpikirkan bahwa nantinya lahan pertanian Bali akan habis dicaplok oleh sektor Pariwisata yang selama ini diagung-agungkan.
HENNY R